RINDU yang PERTAMA

95 15 14
                                    


HUJAN
\./
1. Titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan.
2. Sesuatu yang datang dan sebagainya banyak-banyak.

-------------------------------------------------

Bogor, Juli 2007

Udara dingin kota Bogor menyambutku tepat ketika mobil merahku berhenti di depan sebuah rumah bernuansa klasik. Rumah yang tak pernah lagi ditempati sejak setahun yang lalu. Menurut masyarakat sekitar, rumah ini milik sebuah keluarga kaya yang kini telah bangkrut. Oleh karena itu, rumah ini dijual. Dan … aku membelinya.

Maksudku … bukan aku yang membeli rumah ini. Tapi, bundaku. Katanya, untuk investasi sekaligus kado ulang tahunku yang ke 16.

Aku tak pernah memiliki alasan kuat untuk memilih rumah ini. Yang aku tahu, rumah ini jauh dari rumahku yang lama.

Setelah memarkirkan mobilku, aku berjalan ke arah gerbang dan mengintip ke dalam dari sela-selanya. Ada seorang pemuda mengenakan kaus oblong berwarna putih yang sedang menyapu halaman. Ia menoleh sedikit ke arahku, lalu tersenyum.

Tak lama, gerbang terbuka. Pemuda itu menyambutku dengan sangat ramah. "Kamu Vina yang beli rumah ini, ya?" tanya pemuda itu sambil mengajakku masuk.

"Saya Vani, Mas. Bukan Vina. hehehe." Aku mengoreksi. Dapat kulihat pemuda itu terkekeh kecil dan menggaruk tengkuknya dengan malu.

Pemuda itu mengulurkan tangan kanannya padaku seraya memperkenalkan dirinya. Aku pun menyambutnya dengan senang hati. "Saya Andrakan Mahardika. Orang-orang di sini biasa manggil saya Rakan."

Dia mengajakku keliling rumah sambil terus menjelaskan apa saja yang ada di rumah ini. Sementara aku, hanya menanggapi seadanya. Entah, pikiranku sedang tidak fokus.

"Kamu beli rumah ini untuk tinggal sendiri?" tanya Rakan setelah kami sampai di sebuah ruangan besar di lantai dua, yang ia sebut kamar.

Kepalaku menoleh sedikit ke arah Rakan yang berdiri di belakangku. "Ya … gitu. Mau ngelupain sesuatu." Jawabku santai.

Jemari kecilku menyusuri dinding sambil terus berjalan mengililingi kamar ini. "Rumah ini udah nggak ditempati selama setahun. Tapi kamu tenang aja, di sini nggak ada hal mistis yang iya-iya, kok." Ujar Rakan yang berhasil menghentikan langkahku.

"Dari mana kamu tau?" tanyaku penasaran.

Rakan terkekeh sebentar. "Saya punya Mamang--maksudnya, paman--yang … ehm, bisa 'ngeliat'. Dan katanya, di sini nggak ada."

Mendengar penjelasan Rakan, aku hanya mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum. Lalu, ia kembali mengajakku ke taman belakang. Rakan menjelaskan padaku, bahwa dulu ada rumah pohon yang tidak terlalu besar di taman ini. Ada juga kolam renang. Dan aku dapat melihat sebuah kolam kosong yang lantainya berwarna ungu muda.

Dari cara bicaranya, dapat kusimpulkan bahwa usia Rakan hanya terpaut dua sampai tiga tahun di atasku. Tetapi dari wajahnya, dia seperti dua tahun di bawahku.

"Terus, rumah pohonnya sekarang di mana?" tanyaku. Semakin lama, aku semakin suka mendengar Rakan berbicara.

Rakan duduk di pinggir kolam dan menepuk-nepuk sebelahnya. Menyuruhku agar ikut duduk di sana. "Dulu, rumah pohonnya dibuat buat anaknya yang masih kecil. Pas anaknya udah besar, dibongkar gitu." Jawabnya setelah aku duduk di sebelahnya.

Udara dingin kota Bogor semakin menusuk kulitku. Salahku sendiri yang tidak memakai mantel. Tapi, Rakan yang hanya memakai kaus oblong saja, seperti tidak merasa kedinginan. Mungkin karena sudah terbiasa.

"Kamu awalnya tinggal di mana?" tanya Rakan yang tengah mengayun-ayunkan kedua kakinya.

Aku menoleh sedikit, lalu kembali melihat ke depan. Melakukan hal sama seperti yang Rakan lakukan. "Di Jogja."

Rakan hanya ber-oh-ria, lalu mengajakku untuk masuk kembali ke dalam rumah karena langit mulai mendung. "Masuk, yuk. Mau hujan, padahal bulan Juli."

Langkah kaki Rakan yang besar-besar memaksaku untuk berlari-lari kecil. Kami duduk di kursi yang ada di teras. Benar kata Rakan, tak lama hujan pun turun lumayan deras.

"Mobil gue!" rutukku pada diriku sendiri. Bisa-bisanya aku melupakan mobilku yang aku tinggal di depan gerbang sana. Kalau kehujanan, Faren--kakak laki-lakiku yang sangat hobi membuat tato di tubuhnya itu--bisa marah. Karena ia baru saja mengecat ulang mobil itu.

Rakan yang sedari tadi diam langsung menoleh ke arahku. "Biar saya bawa masuk ke garasi. Mana kuncinya?"

Aku mengernyitkan dahiku bingung.

"Nggak akan saya bawa kabur mobil kamu, kok. Tenang aja." Ujarnya meyakinkan. Wajahnya yang bersih terlihat berkali lipat lebih tampan jika dilihat dari dekat seperti ini.

"Oh, tadi saya bingung aja. Kenapa kamu mau masukin mobil saya." Ucapku sambil merogoh saku--mencari kunci mobil, dan memberikan padanya. Rakan tersenyum simpul, lalu berlari menembus hujan menuju mobilku.

Dari sini, dapat kulihat Rakan menutupi kepalanya dengan satu tangan agar tidak kehujanan. Padahal, pakaiannya sudah basah kuyup.

Setelah berhasil membawa masuk mobilku ke dalam garasi, Rakan kembali dan memberikan kunci mobil padaku. Ia duduk di sebelahku sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Ia kedinginan, dan aku jadi merasa bersalah.

"Nggak perlu liatin saya kayak gitu." Ujarnya tanpa sedikit pun melirik ke arahku.

"Eh?" tanyaku terkejut. Dia bisa tahu aku melihatinya sedari tadi itu, bagaimana caranya?

"Kamu ngerasa bersalah karena saya kedinginan, kan?" tembaknya langsung. Aku jadi semakin merasa bersalah.

Malu, aku hanya menyengir lalu menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali.

📖📖📖

Jakarta, Maret 2018

Suara ketukan pintu yang sangat brutal membangunkanku dari tidur nyenyakku. Pagi-pagi buta sudah bertamu. "Iya … sebentar!" teriakku dari dalam kamar. Entah si pengetuk pintu mendengar atau tidak, aku tidak peduli.

Setelah duduk di pinggir ranjang, aku mencepol asal rambut panjangku dan diam sebentar sambil mengumpulkan nyawa.

Kepalaku masih sangat pusing sekali karena tiba-tiba mendengar suara ketukan pintu. Dasar tamu tak berperiketiduran! Aku jadi tidak bisa tidur lagi, kan.

Dengan malas, aku berjalan gontai ke luar kamar dan membukakan pintu untuk si tamu sialan itu. "Lama lo!" ujar tamu itu sambil menerobos masuk ke dalam rumahku. Tanpa berdosanya, tiduran di karpet dengan kedua kaki naik ke atas sofa. Benar-benar tidak sopan!

"Gangguin orang tidur aja, sih!" kesalku sambil menyingkirkan kedua kaki besar milik Faren--kakakku--yang tak lain adalah tamu sialan itu.

Tanpa berdosa, cowok itu malah terkekeh dan mencubiti lenganku menggunakan jari-jari kakinya. "Marah-marah mulu, lo. Nanti cepet tua!"

"Bodo! Van mau tidur lagi. Kalo mau makan, ada sarden di kulkas. Masak aja." Ujarku sambil merebahkan tubuh di atas sofa. Kalau sudah mengantuk, tidur di mana pun bisa.

Namun, saat aku ingin memejamkan mata, Faren mengatakan hal yang membuatku ingin segera menendangnya. "Kalo rumah yang di Bogor ada yang minat, gimana?" katanya.

Segera, aku duduk dan melemparkan bantal sofa ke arah kepalanya. "Nggak ada yang jual, gimana bisa ada yang minat? Gila lo, Mas!" ujarku dengan kesal. Lagipula, aku tak pernah menjual rumah penuh kenangan di Bogor itu.

"Kalo nggak dijual, lo bakal terus-terusan ke sana. Gue capek liat lo sedih mulu setiap kali ke sana. Gue tau, Van. Gue tau seberapa banyak kenangan lo sama Rakan di sana. Tapi, gue nggak bisa biarin lo sedih kayak gini." Ujar Faren tanpa melihat ke arahku. Ia malah memejamkan matanya sangat dalam. Nada suaranya sangat datar, seperti tak ada gairah.

Aku menghela napas pelan, lalu duduk di sebelah Faren. Memeluknya dari samping dengan wajah yang kusembunyikan di lekukan lehernya. Aku tak berkata apa-apa. Hanya membisu, sampai akhirnya sebulir air mata luruh dan aku menangis dalam diam.

Kebohongan di Bawah Kerinduan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang