Dua wanita muda itu melangkahkan kakinya menuju pintu masuk sebuah kafe. Yang satu berambut pendek dan yang satu berambut panjang.
Si wanita berambut panjang membuka pintu kafe dengan tulisan 'booked' tertempel disana, sehingga menyebabkan bel kecil di atas pintu berbunyi nyaring. Sudah banyak orang di dalamnya. Ah, benar juga. Acara reuni kan selalu ramai.
Kafe bernuansa vintage itu memang memiliki ukuran cukup besar, kira-kira cukup untuk reuni salah satu jurusan di SMA. Kafe itu di dekorasi sedemikian rupa. Sebuah meja panjang berdiri di ujung ruangan. Isinya, beberapa kue dan makanan ringan lainnya.
"Lea, kamu duduk dulu ya!" Si wanita berambut panjang menepuk pundak temannya.
Azalea, wanita rambut pendek, mengangguk. Lantas, gadis bertubuh mungil itu berjalan menuju sebuah bangku di dekat jendela. Sudah jadi kebiasaannya jika ia datang ke sini untuk mengerjakan tugas dan naskah maupun sekadar ngopi dan bersantai melepas penat.
Wanita berusia genap duapuluh tahun itu berasumsi bahwa, jika ia terserang writerblock atau kurang inspirasi atau sejenisnya, maka duduk di dekat jendela adalah solusinya. Dari jendela yang lebar itu, ia bisa melihat orang-orang yang berlalu lalang. Dari jendela itu, ia bisa melihat pemandangan laut yang memantulkan cahaya langit senja yang kemerah-merahan.
Azalea menopang dagunya dengan menggunakan tangan kanannya. Jari telunjuk tangan kirinya mengetuk meja beberapa kali. Sesekali ia menoleh ke arah keramaian teman satu jurusan dimasa SMA nya itu. Azalea memang tidak terlalu di kenal dalam angkatannya. Namun, namanya menjadi buah bibir di grup chat kelasnya, ketika puisinya berhasil dimuat dalam surat kabar. Tapi, bodohnya wanita itu tetap saja tak tahu bagaimana caranya menyapa salah satu dari teman SMA-nya.
Mata berpupil cokelat milik gadis itu menangkap sosok seorang laki-laki sebayanya berdiri di dekat meja bartender dan di kelilingi oleh beberapa orang laki-laki dan perempuan. Ia merasa familiar dengan sosok lelaki yang baru saja dilihatnya di antara keramaian.
Azalea mengerutkan dahinya, mencoba mengingat siapakah gerangan laki-laki itu. Ah, wanita itu hanya mengingat beberapa laki-laki di dalam hidupnya. Ayahnya, adik laki-lakinya, 'Muse'nya, dan ah, apa dia laki-laki itu?
Nampaknya, si lelaki tinggi itu menyadari jikalau dirinya sedang di perhatikan. Ia segera bangkit dari duduknya dan, ya, ia berjalan ke arah tempat Azalea berada.
"Azalea?" Tanyanya.
Azalea yang masih belum mengingat siapa gerangan lelaki yang kini duduk di hadapannya hanya tersenyum kecil sembari menganggukan kepalanya.
"Ingat aku, ndak?" Tanya laki-laki itu.
Azalea hanya terkekeh pelan.
"Wah, jahat juga ya kamu," laki-laki itu ikut terkekeh.
"Aku ini Hosea loh! Yang dulu sering kamu bantu bikin tugas bahasa," lanjutnya.
Ah, benar. Ternyata laki-laki itu. Laki-laki yang ia temui di perpustakaan beberapa tahun lalu. Laki-laki yang sering ia bantu dalam mengerjakan tugas bahasa Indonesia nya.
"Long time no see," ucap Hosea.
"Haha, iya. Maaf ya sempat lupa. Pangling," balas Azalea.
Hening di antara mereka.
"Kuliahmu bagaimana, Hos?" Tanya Azalea.
"Bulan depan sidang skripsi," jawab Hosea.
"Setelah lulus, langsung kerja atau lanjut S2?" Tanya Azalea lagi.
"Pengennya sih langsung kerja. Tapi, ibu pengennya aku lanjut S2. Eh, tapi ndak tahu ah," Hosea terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menunggu Kemarau
Fiksi RemajaSemuanya menyukai musim hujan. Penyair suka hujan,anak kecil suka hujan,hingga para orang tua suka hujan. Hingga mereka terkadang melupakan adanya kemarau. Bagaimana bisa sebuah bunga setia menunggu datangnya kemarau yang bisa jadi membunuhnya? Baga...