Cold

12 1 0
                                    

Beberapa tahun sudah ku lewati, sekarang aku bekerja di perusahaan milik temanku. Cukup jauh dari kota tempat tinggalku, sekarang aku tinggal sendiri di kontrakan yang tidak terlalu besar dan megah.

Ku rapikan map yang berserakan diatas meja kerjaku. Bosan rasanya menjalani hari yang dipenuhi kelelahan ini. Oh iya, aku juga sekarang menjalani rutinitasku sebagai pasien di dokter psikologis. Aku tak mempercayai siapapun kecuali Dokter. Ketenanganku hanyalah obat penenang, dan sekarang juga hampir setiap hari aku menjalani terapi di tempat itu oleh Dr. Darius.

"Sore dok," Aku duduk sambil menjabat tangannya,

"Eh iya, duduk, duduk, gimana sekarang, baikan?"

"Ya, kayak biasa aja dok, masih harus pake obat penenang itu, apalagi kalo udah marah, hehehe,"

"Oh, tapi kalo boleh saya tahu, mbak Acha itu punya trauma gak sebelumnya?"

"Trauma sih nggak ya dok, tapi begitulah yang saya ceritakan dulu. Bener bener saya tuh gimana ya, kayak yang gak bisa buka hati lagi buat orang lain aja, ya saya maunya sama Arya terus,"

"Gak ada trauma ya? Eh bentar, saya jadi dokter cinta gini nih, hahaha,"

"Hahaha, iya dok, gak apa apalah siapa tau semua orang jadi datang kesini,"

"Hahaha, eh tapi ini serius ya, mbak Acha gak bisa pindah kelain hati gitu?"

"Iya dok, tapi yang paling pentingnya itu," Aku menghelakan nafas,

"Hmm, saya ngerti. Ya sudah lah, lanjut terapi aja, ya?"

"Iya dok, lagian saya juga kalo udah beres di terapi suka merasa tenang aja," Aku tersenyum kecil,

Aku keluar dan berjalan menuju jalan raya, ku perhatikan setiap angkutan kota yang lewat. Aku tak suka bila di dalamnya hanya ada satu atau dua orang, jadi aku lebih baik menunggu angkutan kota yang penuh dengan muatannya, dan sekarang aku duduk di dalam angkutan kota yang salong berdesakan.

"Khmm," Tiba tiba seseorang di sisi kiriku batuk dan muntah begitu saja tepat di kaki ku. Semua pandangan teralih kepadanya.

"Ya ampun mas, mas kenapa? Ih," Aku  menjauh darinya,

"Mas, mabuk ya?" Sambung seseorang di dalam angkutan kota,

"Kiri, kiri bang," Dia terlihat sesak,

Supir angkot pun memberhentikan perjalanannya. Semua ricuh saat orang itu turun. Aneh aneh saja dia, muntah di kaki orang lain. Tidak sopan. Sekitar 50 meter dari situ, orang yang bergaya serupa turun dari angkutan umum sambil memperbaiki rambutnya keringnya. Menurutku mereka segeng, namun mereka tak saling kenal.

"Neng, ati ati copet," Ibu-ibu mencolek lututku dengan gaya bahasanya yang serius,

"Hah? Copet?"

"Iya neng, biasanya yang gitumah modus doang,"

"Oh gitu ya bu, eh, kiri bang. Ibu ibu,  makasih ya, ayo bu, duluan," Sayangnya aku tidak menkontrol tasku dan langsung beranjak pergi ke rumah Adinda yang sedang berkumpul dengan teman temanku yang lainnya.

"Adinda?" Aku mengetuk pintu Arsha sambil mengacak ngacak isi tasku,

"Eh Acha,"

Aku semakin panik karena dompetku benar benar hilang.

"Cha?"

Aku stress, aku menangis

"Cha??" Adinda menggoyang goyangkan badanku dan semua menjadi gelap.

"Acha," Semua teman temanku mengelilingiku dan merangkulku satu persatu.

"Aku pingsan?"

"Kamu kenapa sih Cha? Stress banget," Tanya Viona yang kemudian disenggol oleh Ghina,

"Tas aku?" Aku langsung teringat sesuatu,

"Tuh di Dion, kamu tenang dulu. Ceritain semuanya,"

"Ini udah malem ya?"
Akupun menceritakan semuanya sambil mencoba untuk lebih tenang meskipun susah. Dan mereka menjelaskan saat aku tak terkendali.

"Itu, obat penenang aku masalahnya. Aku baru ambil tadi. Nih, handphone aku disimpen di saku celana. Tapi uang, kartu kredit, sama obat aku ada di situ,"

"Emang berapa harga obatnya?"

"Satu tabletnya delapan puluh ribu. Aku beli satu botol yang isinya 30. Masalahnya, ini tuh tanggal tua. Apalagi uang aku abis semua," Aku menangis menutup wajah,

"Udah Cha, sabar,"

"Buat aku, sebagai pekerja, uang segitu tuh lumayan lho, nyari uang itu gak segampang yang aku kira sebelumnya, aku harus gimana tanpa obat aku," Aku berbicara sambil menangis,

"Nih kamu pake uang aku dulu aja," Tawar Adinda,

"Enggak! Aku susah lagi nyarinya. Udah deh, aku mau coba bertahan aja dulu buat satu bulan ini,"

"Gak apa apa Cha, masalah gantinyamah gampang,"

"Enggak, makasih Da," Aku kembali tersenyum dan menghapus air mataku,

"Ih daripada kamu kayak tadi, ngamuk ngamuk gak jelas. Udah, terima aja," Sambung Fenny,

"Iya, kamu tadi kayak orang kesurupan ih. Nyakar aku," Kata Ella,

"Oh ya? Ya ampun, maafin aku. Aku gak tahu, sumpah,"

"Iya, tenang aja kali ah,"

kaleidoscope of memoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang