Seseorangnya Bagas

7.7K 221 6
                                    


"Mamayukero saya harus ke club. Kenapa bocah ini malah kemari."

Mau apa lagi Bagas di sini? bukannya pulang dia malah kemari padahal saya sengaja meninggalkannya agar bisa segera ke club. Saya perhatikan dari atas hingga bawah masih dengan setelan tadi ditambah tangan kanannya membawa plastik yang saya tebak berisi makanan.

"Ada perlu apa kamu kemari?" Tanya saya seramah mungkin meski merasa sedikit terganggu dia kemari. Bagaimana tidak? Sudah seharian ini saya menghabiskan waktu dengannya dan menahan napsu, saya bahkan baru saja mastrubasi sambil membayangkannya.

Bagas menatap saya lurus. Tidak ada adegan garuk tengkuk kikuk yang dia tunjukan. Malah dia mengikis jarak antara kami. "Biarkan saya masuk Pak," katanya dengan nada perintah. Saya menahan tubuhnya dan balas menatapnya tenang. Mana mungkin saya biarkan dia masuk dan melihat gaun malam yang sudah saya siapkan untuk pergi.

"Ini di luar jam mengajar saya. Pulanglah, saya gak punya banyak waktu jika kamu mau bertamu." Saya sudah bersiap untuk menutup pintu tapi tanganya menghentikan pergerakan tangan saya dengan menggapai dan mengangkatnya ke atas kepala saya. Sungguh tidak sopan, Bagas mengintimidasi saya.

"Saya mau minta maaf ke Bapak, jadi tolong biarkan saya masuk," tuturnya lembut. Saya menahan diri untuk gak mutar bolak mata sebab itu sangat banci dan seorang pria gak begitu kan? Keculi kalo dia pria gay seperti saya yang juga banci. Cara Bagas minta maaf lebih mirip mau ngajak saya 'nganu', saya bisa hilang fokus dan malah tergoda buat senderan di dada bidangnya nanti kalo dia gak juga menjauh.

"Minta maaf? Bagas, mungkin kamu terbentur. Ini bukan cara minta maaf yang baik." Saya tau paling tidak dorongan kali ini membuatnya menjauh, saya giring dia ke ambang pintu. "Saya sudah maafkan kamu. Pulanglah." Bagas gak merespon sedikitpun, saya yakin dia mengerti jadi senyum simpul saya berikan sebelum menutup pintu. Namun kali ini lebih gila, Bagas masuk begitu saja setelah menahan pintu. Saya jantungan, jika dia melihat gaunnya. Tunggu? Bukankah saya letakan di dalam kamar. Setidaknya saya bisa bernapas lega.

Ingin saya meneriaki di depan wajahnya untuk pergi sebab club sudah menunggu saya. Kali ini kesabaran rasanya sudah di ujung ubun-ubun, tanpa peduli siapa dia saya tahan tangannya dan menghentikan langkahnya yang tadi bergerak santai masuk. "Saya gak bisa toleransi sifat tidak sopanmu ini. Keluar dari kediaman saya sekarang juga."

"Saya khawatir yang saya lakukan di mall tadi membuat Bapak marah jadi saya kemari dan membawa makanan." Pemuda gila! Pulanglah, teriak saya dalam hati sebab begitu kesal dan hari mulai sore.

"Jangan dipikirkan berlebihan. Saya baik-baik saja, jika kamu khawatir besok kita bicarakan ini setelah saya selesai mengajarmu." Wajahnya terlihat tidak suka dengan penegasan saya kali ini. Apa boleh buat, saya punya bisnis.

"Bapak akan pergi ke mana?" tanyanya meneliti saya atas-bawah. Ohh, saya baru ingat belum berpakaian dengan layak sejak tadi.

"Urusan bisnis," jawab saya dingin tak ingin ada percakapan lebih sebab jika dibiarkan saya malah akan meminta pemuda ini untuk tidak pergi.

Saya pikir Bagas akan pergi dengan wajah murung dan berpamitan dengan sopan tapi nyatanya dia malah mendekat. "Mau saya antar?" tawarnya dengan mata mengisyaratkan persetujuan. Yaa mana mungkin saya 'iya kan' tawarkannya.

"Saya punya mobil dan motor sendiri." Kali ini dia benar-benar menyerah dan berjalan menuju pintu. Tidak ada raut wajah kecewa yang dia tampilkan sebaliknya, senyum tengil tak lepas dari bibirnya entah apa maksud senyum itu.

"Saya pulang Pak," ijinnya sambil menyerahkan kantong yang katanya berisi makanan sebagai permohonan maaf. Belum saya membalas dia lanjut bicara. "Jangan buka pintu untuk orang lain dengan pakaian seperti itu kecuali saya Pak," katanya lembut kemudian menjauh dari pintu apartment sedang saya terpaku mendengar ucapannya yang terdengar posesif.

Banci dan Murid HotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang