Kejutan Pertama

13 5 0
                                    


Dua hari kemudian aku kembali ke Jakarta, setelah memastikan Ibu berangkat ke Bali dan tiba dengan selamat. Aku pun segera menuju hotel. Sepertinya Jessika harus di tenangkan, berhubung kepergianku yang diam-diam pasti membuatnya kewalahan menghadapi klien-klien ku yang membahas saham dsb. Aku mengejar lift yang hampir tertutup dan berhasil masuk tepat waktu. Di dalam lift hanya ada aku dan dua orang karyawan hotel. Tunggu, bukannya aku naik lift yang khusus untuk atasan? Kenapa ada karyawan biasa di dalam sini, pikirku.

"Ehem... kalian gak salah masuk lift?" aku bertanya pada dua karyawan itu. Mereka hanya melirikku sebentar, salah satunya menjawabku

"Akhir-akhir ini karyawan udah sering banget pun mbak naik lift ini. Lumayan lah waktu lift lain penuh, secara kan hotel Queen's Art ini kan rame kliennya, jadi lift karyawan juga penuh terus mbak. Mumpung pimpinan gak ada jadi kita manfaatin aja mbak, hehe." Aku terkejut mereka bahkan tidak mengenalku. Apa aku salah ya selama ini menyembunyikan wajahku?

"apa kalian tidak takut dimarahi sama mbak Jessi?" aku bertanya lagi.

"Mbak Jessi kan baik mbak, kadang heran aja kok gak mbak Jessi aja gitu pimpinan hotelnya. Udah ya mbak kita duluan kita turun di lantai ini, mbak mau kemana? Mau ngelamar kerja ya mbak?" aku hanya membalas dengan senyuman. Biarlah mereka berpikir apa yang mereka mau. Aku bergegas ke ruanganku, mungkin Jessika sudah menunggu di sana.

"pagi jess, maaf aku telat." Aku masuk dan langsung menyapa Jessika. Aku terkejut saat melihat Jessika sedang duduk bersama seseorang yang sangat ingin aku lupakan. Jessika terlihat bersalah padaku. Dia menghampiri dan berbisik

"Maaf ya non, aku sengaja gak ngasi tau dia ke sini, dia tiba-tiba banget soalnya, lagian kamu harus selesaikan baik-baik non." Jessika menangkupkan kedua tangannya lalu setelah mengangguk sebentar dia meninggalkan aku berdua dengan "dia". Aku melemparkan tas ku ke meja dan duduk sambil bersedekap dan memasang muka datar. Aku harus terlihat kuat di depannya. Dia tersenyum dan menanyakan kabarku.

"Seperti yang kau lihat, aku hidup dengan baik dan bahagia. Buat apa kau ke sini?" aku menjawab ketus. Jujur, aku sangat ingin memukul dengan menggunakan sepatu ku padanya. Tapi, itu bukan sifatku.

"Aku yakin kau akan baik-baik saja. Aku ke sini ingin meminta maafmu emily. Aku tau aku salah, tapi waktu gak akan bisa di ulang kembali emily."

"Hhhh... sudahlah aku tidak mau membahas hal ini lagi. Semua akan hilang dibawa waktu seperti kisah kita dulu, jadi kau hanya harus membiarkan aku sendiri dan jangan membuat ku ingat akan hal itu lagi. Berbahagialah bersamanya. Mungkin dia jauh lebih berarti dibanding kebersamaan kita selama ini." Aku menjawab sambil meremas ujung baju ku berusaha menahan perih yang tiba-tiba datang begitu saja. Dia diam sebentar kemudian melanjutkan omongannya yang ku rasa seperti semakin lama semakin panjang

"Aku tau kau wanita yang kuat, aku sangat mengenalmu emily. Karna itu kalau kau ingin marah silahkan, marah lah padaku emily jangan hanya diam saja seperti ini. Kau tau shifa juga tidak bersalah dalam hal ini, bahkan dia yang memintaku untuk datang menemuimu berharap kau mau berjumpa lagi dengnnya."

"ha! Kalau dia tidak meminta berarti kau tidak akan datang, begitu?" aku refleks menyanggahnya

"bukan begitu maksud ku, aku mohon jangan seperti ini aku datang ke sini bukan untuk berantem lagi emily, aku hanya ingin kita bisa menjadi teman tanpa ada dendam. Kasihanilah shifa emily, dia bahkan selalu menangis kerana perasaannya padamu."

"bagus bila dia merasa bersalah" laki-laki itu terperangah tak percaya dengan reaksiku, aku tau dia menahan geram

"Ini yang tidak aku suka dari mu emily, kau sangat egois dan keras kepala. Kau tau? Kalau sebentar saja kau mau meluangkan waktu untukku dan bukan hanya memikirkan pekerjaanmu mungkin kejadian ini tidak akan terjadi. Kenapa aku bisa tidak dipercaya dengan keputusan ku dan orangtua ku memilih mempertahankan perjodohan anak mereka kalau kau mau sedikit membantuku berusaha meyakinkan orangtua ku emily, jadi jangan hanya menganggap ini semua salahku." Dia berteriak dan berdiri dari kursinya. Aku sadar mungkin itu benar, tapi ini bukan saatnya dia menyalahkan aku. Harusnya ini menjadi waktuku untuk menumpahkan semua kesedihanku padanya dan mengurangi rasa sakit itu. Aku ikut berdiri dan membalas teriakannya.

Good Bye Kim Na RaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang