Apa Kata Orang Tua

31 0 0
                                    

Tibalah saatnya hari pertemuan kedua keluarga. Sekarang sudah pukul 9 pagi, satu jam lagi Adi dan kedua orang tuanya akan mengunjungi kediaman Pak Burhan.

"Kak, cepetan!" Adi baru saja selesai mengancingkan kemeja batiknya. Tanpa menjawab apapun, ia langsung keluar menuju garasi dengan tekat yang sudah bulat.

Di sisi lain

"Assalamualikum, Yah."

"Waalaikumussalam, kenapa dek?"

"Aku kayaknya pulang telat. Ini antrean buat ke kasirnya panjang banget. Ayah sama kakak mau dibeliin apa lagi? Mumpung aku masih di supermarket. O iya, kasih kabar aku ya Yah gimana pertemuannya," di tempat yang berbeda, ayah sedang mendengarkan Olfi lewat telepon. Ia mengangguk tanda mengerti, yang pasti tidak akan Olfi ketahui.

"Iya enggak papa. Langsung pulang aja kalo sudah bayar, enggak usah beli apa-apa lagi. Hati-hati pulangnya," ada nada sedikit kecewa dari ayahnya. Padahal ia berharap putri keduanya dapat berkenalan dengan calon suaminya.

"Oke, assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," tit suara sambungan telepon berakhir. Tak lama kemudian, suara bel rumah terdengar. Ayah berpikir keluarga teman mendiang istrinya telah sampai. Ia segera membuka pintu rumahnya untuk menyambut kedatangan mereka.

"Assalamualaikum, Kak!" Kata yang pertama kali bunda Adi lontarkan ketika pintu terbuka dan menampakkan tuan rumah.

"Waalaikumussalam, apa kabar nih keluarganya Tuan Ahmed!" Kata ayah Olfi mengacuhkan Tiana. Dan yang namanya disebutkan malah mengikuti permainan ayah dengan menyambut tangannya untuk berjabat tangan.

"Iih Kak, aku yang salam loh bukan suami aku. Kok aku yang dianggurin sih! Udah ah, ayo mas langsung masuk aja!" Dengan santainya, seperti rumah sendiri, Tiana memasuki rumah itu tanpa dipersilahkan masuk terlebih dahulu oleh sang tuan rumah. Jangan berpikir yang tidak-tidak terlebih dahulu. Tiana memiliki kondisi yang sedikit istimewa dengan Burhan, yaitu mereka adalah sepupu jauh namun, karena suatu alasan Tiana dititipkan kepada keluarga Burhan ketika balita. Mereka pun tumbuh besar bersama. Setelah keduanya telah memiliki pasangan masing-masing, keduanya jarang menghubungi walaupun sekadar menanyakan kabar karena kesibukan masing-masing. Barulah dua tahun yang lalu, mereka dipertemukan kembali lewat almarhumah istri Burhan sebelum beliau meninggal. Para orang tua telah paham cerita kuno itu, hanya saja tidak mereka ceritakan kepada semua anak mereka. Hingga saat ini hanya kakak Olfi yang mengetahuinya. Tidak heran jika ekspresi Adi saat ini tak karuan bentuknya. Entah heran, takjub, ataupun malu dengan sikap bundanya.

"Eh, Tante udah dateng! Pagi Om!" Kinanti bercipika-cipiki ria dengan Tiana kemudian menyalimi tangan Ahmed.

"MashaAllah, tambah cantik aja kamu! Udah berapa bulan ini? Seneng deh habis ini bakalan punya cucu," kata bunda sambil mengelus perut Kinanti yang sudah membesar.

"Hehe enam bulan tante. Eh, sampai lupa. Duduk dulu Om, Tante, Dek, biar aku bikinin minum dulu. Silahkan dimakan kuenya, ini bikinan adek aku loh!" Ucapnya sambil beranjak ke dapur. Mereka dan ayah pun duduk di sofa ruang tamu dengan suguhan berbagai kue dalam toples yang ada di meja.

"Dimulai dari mana ini? Pake basa-basi apa langsung nih?" Kata ayah.

"Om, boleh saya dulu yang berbicara?" Setelah perdebatan panjang dengan batinnya, ia pun angkat bicara walaupun sedikit takut dengan reaksi yang dikeluarkan namun ia rasa ini perlu. Sedangkan, ayah hanya memberinya isyarat untuk berbicara.

OKE SAYA TERIMA KAMU (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang