Biarkan Kami Berpikir

10 0 0
                                    

Hari ini adalah hari Sabtu. Sekolah Olfi menggunakan sistem sekolah lima hari sehingga akhir pekannya menjadi dua hari tidak seperti ketika ia masih duduk di bangku SMP dan SD.

"Dek," panggil ayah Olfi yang baru saja duduk bersebelahan dengannya di sofa.

"Kenapa Yah?" Sahutnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari komik yang ia baca.

"Iih kakak kenapa sih?!" Gadis ini kesal dengan kakaknya yang tiba-tiba mengambil komik dari genggamannya. Sedangkan yang ditatap dengan sebal oleh Olfi berbalik menatapnya dengan lebih tajam sambil menggerakkan kepalanya ke arah ayah mereka untuk memperhatikan sang ayah ketika ia berbicara. Olfi pun menghembuskan napasnya untuk menurunkan amarahnya.

"Dek, kamu ingat pesan terakhir mama enggak?" Kata ayahnya setelah semua mata tertuju padanya.

"Masih, yang katanya aku mau dinikahkan dengan pilihan mama kan? Memang kenapa yah?" Olfi mulai gusar terhadap percakapan mereka yang menurutnya masih terlalu dini untuk dibahas.

"Gini, kalo ta'arufnya dipercepat kamu mau enggak?" Tanya ayahnya sedikit ragu.

"Lah, kok gitu? Masa aku nikah sekarang? Ayah yang bilang sendiri loh kalo aku ini masih bau kencur, anak kemarin sore, abg labil." Tak ada jawaban dari ayahnya.

"Kenapa enggak anak ayah yang lain aja, kan anaknya enggak cuma aku. Memangnya orang yang mau dinikahkan sama aku bersedia sama yang masih bau kencur?"

"Enak aja kalo ngomong. Suami kakak mau dikemanain? Ya kali Mas Guntur pulang dinas aku punya suami lagi. Kalo boleh menikah lagi pun aku enggak mau sama yang berondong," Olfi masih merasakan panasnya jitakkan saudara satu-satunya ini. Ia sampai lupa bahwa kakaknya telah menikah dan tengah berbadan dua.

"Sudah-sudah. Anaknya masih sekolah juga kok, kakak kelas kamu malahan," jawab ayah Olfi santai sambil meminum air madu hangat buatan anak pertamanya.

"Hah? Ayah enggak salah kan mau nikahin aku sama anak yang masih sekolah juga? Mau nafkahin aku pake apa nanti? Memangnya dia sudah bekerja?" Olfi memang tak masalah dengan rencana pernikahannya. Sebut saja dia seperti kucing pada masa kawin. Toh, tak sepenuhnya salah karena ia iri dengan kawannya yang sudah memiliki pacar dan bermesraan. Ia juga paham bahwa pacaran itu dilarang agamanya. Karena itulah ia ingin segera memiliki pasangan yang halal di mata tuhannya agar dapat memadu asmara dengannya. Oke, memang Olfi masih bau kencur.

"Kata orang tuanya sih sudah punya penghasilan sendiri. Tapi, kamu beneran mau nih? Kalo si calonmu ini jelek atau jarang shalat gimana?"

"Iih ayah enggak banget deh ngasih doanya, masa iya mama milihin yang enggak-enggak buat anaknya." Sergahnya dengan tatapan horor kepada ayahnya.

"Bercanda, sayang. Kamu bener. Mama enggak mungkin memberikan sesuatu bukan yang terbaik untuk anaknya. Jadi, beneran mau kan? Kalo iya berarti minggu depan keluarganya akan ke sini untuk membahas lebih lanjut."

"Terserah ayah sih kalo yang itu," si bungsu langsung menyahut komiknya yang saat ini tengah dibaca oleh kakaknya.

Di sisi lain

"Kak, kamu dinikahin sama anak teman bunda mau gak?" Tanya bunda Adi ketika keluarganya tengah kusyuk sarapan di meja makan.

"Ha- uhuk uhuk uhuk" Adi langsung menenggak air minumnya.

"Bunda ngomong apa sih? Ini udah pagi loh Bun, mending Bunda tidur lagi aja deh biar ngantuknya hilang," Adi khawatir dengan bundanya, sepertinya bundanya ini masih kecapekan karena tadi malam bunda dan abinya Adi baru pulang dari Medan.

"Kakak pikir bunda kayak kakak yang kalo capek ngomongnya ngaco dan gak nyambung" ejek adiknya. Adi langsung mencubit kedua pipinya.

"Kakak gak mau Bun, titik." Keputusan finalnya. Memang anak pertama dari pasangan Tiana dan Ahmed ini kalau sudah membuat keputusan tidak ada yang bisa mengganggu gugat, bahkan abinya yang notabene adalah seorang kepala keluarga. Salah satu sifat calon kepala keluarga yang baik adalah teguh pendirian.

"Kak, anaknya cantik loh, pinter lagi. Dia juga adik kelas kamu," kata bunda yang diangguki oleh abi Adi.

"Astaghfirullah, Bunda kayaknya memang butuh istirahat deh. Masa aku disuruh cepet-cepet nikah, calonku masih sekolah lagi."

"Ya gak papa dong kak, harusnya kakak seneng nanti sudah bisa pegang-pegang cewe kan sudah halal. Kalo mau kencan juga gak perlu mikir dua kali buat ngeluarin duit bayarin doi, secara udah jadi tanggung jawab kakak buat menuhin kebutuhan istri. Kakak juga udah punya uang sendiri kan," timpalan adiknya ini membuat telinganya panas.

"Nah, tumben Sasha bener. Udah, mau ya jadi manten?" Kata bunda yang membuat Sasha tersenyum dan sedetik kemudian memajukan mulutnya tanda tak terima dengan perkataan bunda.

"Ogah." Adi langsung pergi meninggalkan meja makan. Abinya hanya diam sedari tadi, tak ingin mengusik rencana istri tercintanya ini. Biarlah tuhan yang mengatur sisanya.

"KAK, PIKIRIN LAGI YA?? MINGGU DEPAN KITA KE RUMAHNYA. SETELAH ITU BUNDA GAK AKAN BAHAS LAGI! KAK!" Terikan bunda mengiringi langkah Adi hingga sampai di kamarnya pun suara bundanya masih terdengar. Gue gak mau batin Adi sambil mengacak-acak rambutnya.

^^^

Lima hari telah berlalu. Namun, kedua manusia ini masih belum mengetahui siapa calonnya. Hanya mengetahui bahwa ada hubungan senior junior di antara mereka.

Olfi tetap bersikap seperti biasanya. Toh memang akan terjadi, walaupun terlalu cepat. Si cantik ini selalu menatap para kakak kelas bergender laki-laki bila ada kesempatan. Mungkin saja dia akan menemukan pencerahan tentang siapa calonnya. Ia tak menyadari apa yang dilakukannya membuat orang lain, apa lagi yang ditatapnya, salah paham.

Sedangkan, Adi tidak dapat berkonsentrasi baik di rumah maupun di sekolah. Persetan dengan siapa calonnya. Yang ia pikirkan saat ini ialah bagaimana cara menolak secara halus rencana itu esok hari. Dia frustasi. Bingung. Sudah lima hari tapi tak ada ide yang keluar dari otak encernya. Apa gue nginep di kosan gue aja? Gak gentle banget lu, Di batin Adi tampak putus asa.

Tbc.

OKE SAYA TERIMA KAMU (slow update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang