Kembali

169 25 35
                                    

Melbourne, Victoria, 08.00 PM

Livia meluruskan kakinya di atas sofa empuk berwarna navy, ditemani dengan televisi yang sedari tadi menyala. Padahal ia malah bermain ponsel, bukannya menonton. Hanya untuk meramaikan suasana saja, mungkin.

Ia baru saja pulang sehabis gym bersama Aneth, teman sekolahnya yang berambut ombre. Hal rutin yang selalu dilakukannya di akhir pekan. Livia pulang lebih awal karena merasakan hal tidak baik akan terjadi. Dan firasatnya itu tidak pernah salah.

Drrrtt..drrrtt...drrrtt...

Dulu suami mama's calling

See?
Firasatnya tidak salah, bukan?
Bagi Livia mendapat telepon dari papanya saja sudah termasuk hal buruk. Livia menggeser tombol berwarna hijau pada dering kelima dengan malas.

"Papa mau kamu balik ke Indo sekarang, Livia." Ini sudah kesekian kalinya Kalvin meminta anak keduanya untuk balik ke Indonesia. Dan jawaban Livia masih sama, engga akan.

"Papa udah tau jawaban Livia, kan?"

"Mama kecelakaan, Livia. Jangan egois, setidaknya datang untuk mama kamu." Livia terdiam sejenak. Kalvin bilang dia egois? Ia hendak protes namun bukan hal itu yang terpenting saat ini.

Mama?

Kecelakaan?

Firasatnya benar-benar tidak salah, bukan?

Dengan segera Livia memasukkan beberapa lembar pakaian ke dalam koper lalu memesan e-ticket melalui ponselnya. Mengunci pintu apartemen dan segera menuju ke bandar udara Tullamarine. Ia bahkan tidak memperdulikan langit yang sudah gelap disertai hujan yang turun membasahi Victoria.

Rasa bersalah terus menghantui pikiran Livia. Jika saja dia tetap tinggal di Indonesia dan menjaga mamanya, Dianita mungkin tidak akan mengalami kecelakaan. Entah memang itu murni kecelakaan atau memang ada orang yang sengaja mencelakai mamanya. Jika opsi kedua adalah kenyataannya, Livia tentu tidak akan tinggal diam.

Memilih tinggal di Melbourne karena tidak tahan melihat Kalvin, papa yang sangat dibanggakannya sejak dulu, memutuskan untuk menikah lagi dengan wanita yang bahkan tidak Livia ketahui asal-usulnya. Sementara Dianita, terus berpura-pura ikhlas mengetahui suaminya mencintai wanita lain, padahal Livia tahu bagaimana hancurnya Dianita kala itu.

---------------Liviari

Jakarta, Indonesia

Livia menatap lurus jendela transparan ruangan tempat Dianita berada. Matanya sedari tadi tidak lepas dari wanita berumur 35 tahun yang sedang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Wajah yang dilihatnya 3 tahun lalu, tetap memancarkan ketenangan bagi Livia hingga saat ini. Ia sangat rindu dengan wajah itu, memandanginya tanpa sadar membuat air mata Livia jatuh.

"Papa seneng liat Livia balik lagi," senyuman Kalvin tidak pernah pudar sejak kedatangan Livia tadi. Meskipun untuk melihat dirinya sekilas pun Livia mungkin tidak akan sudi, "kamu gak usah khawatir. Kata dokter, mama ga ada luka serius. Mending Livia ke rumah aja istirahat, Livia pasti capek." Lanjutnya.

"Home isn't home without mother." Kalimat yang pertama kali diucapkan Livia semenjak tiba dirumah sakit membuat senyum Kalvin memudar seketika.

Livia berjalan meninggalkan Kalvin yang masih mematung didepan pintu. 3 tahun bukan waktu yang cukup bagi Livia untuk melupakan semuanya.

Livia menghempaskan tubuhnya ke kasur. Memejamkan mata diharapkannya bisa menghentikan waktu walau hanya sebentar. Rasa lelahnya bahkan tidak sebanding dengan melihat Dianita terbaring dirumah sakit.

Liviari [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang