Keterlaluan

63 14 36
                                    

"Lo beneran ga ikut?" tanya Livia sembari mengikat tali sepatunya.

"Ngga, males," Arya mengecup kening adik satu-satunya itu sekilas, "hati-hati, kalo terjadi sesuatu langsung telepon gue."

Sebenarnya, Arya ingin mengikuti perkemahan itu agar bisa menjaga Livia di sana. Hanya saja, ia takut akan kelepasan jika terus-menerus melihat Ari yang seperti sedang mencoba untuk mendekati adiknya. Atau, mungkin itu hanyalah kekhawatirannya saja.

"Jangan rindu, berat." Ujar Livia dengan nada bicara yang dibuat semirip mungkin dengan Dilan. Kemudian berlari kecil keluar dari gedung apartemen.

Cuaca yang cerah membuat mood gadis itu jauh lebih baik dibanding kemarin. Ada bagusnya juga mengikuti kegiatan itu, setidaknya lebih baik daripada harus melakukan hal-hal membosankan di apartemen.

Setibanya di pekarangan sekolah, Livia langsung memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Kesibukan terlihat jelas di sana, para panitia berlalu-lalang memasukkan sejumlah barang ke dalam bus.

Livia bersyukur karena datang sedikit terlambat, ia jadi tidak perlu menunggu persiapan terlalu lama.

"Daritadi ditungguin, malah diem di sini!"

Suara yang terdengar familier membuat Livia memutar badannya, dan mendapati Widel yang sudah siap dengan sweater dan jeans biru tuanya.

"Lo ga kasian sama telinga gue? Bisa budek kalo deketan sama lo mulu."

"Seriusan? Padahal udah gue usahain biar ga kenceng-kenceng amat," Widel melirik sekilas orang-orang yang sudah mulai masuk ke bus, "eh cepetan, udah mau jalan." Lanjutnya sambil menarik lengan Livia.

Keduanya langsung mengambil tempat duduk pada jejeran kedua di sebelah kanan. Widel berkata jika itu adalah tempat yang disediakan khusus untuk mereka berdua, dari Ardin tentunya.

Sebanyak lima belas bus melesat menuju hutan Amarilis yang dijadikan tempat perkemahan kali ini. Perjalanan mereka diiringi dengan menyanyikan berbagai macam lagu, ada juga yang lebih memilih untuk tidur.

"Kenapa?" Tanya Livia saat melihat perempuan yang duduk di sampingnya hendak berdiri.

"Alden sakitnya kambuh, mau ke belakang bentaran." Jawab Widel yang langsung mendapat anggukan dari Livia.

Sejak kemarin, bertambah satu hal yang diketahui Livia. Alden adalah sepupu sahabatnya itu. Seseorang yang pernah Livia kenal dekat saat masih duduk dibangku sekolah dasar.
Satu fakta yang tidak boleh terlupakan, dia adalah cinta pertama Livia. Orang-orang mungkin akan beranggapan itu hanya cinta monyet anak kelas enam SD saja. Tapi yang jelas, Alden menjadi alasan mengapa Livia tidak pernah serius saat berpacaran selama beberapa tahun lalu. Sampai pada satu titik dimana ia memilih untuk berhenti, melupakan semua hal yang memang seharusnya ia lupakan.

Entah bagaimana bisa, Livia tidak mengingat dengan jelas teman kecilnya itu saat pertama kali bertemu. Ia memang sempat berfirasat jika dirinya seperti tidak asing dengan Alden, namun pemikiran itu ditepisnya segera.

Beberapa detik setelah kepergian Widel, seseorang yang selama beberapa hari ini terus menerobos masuk di pikiran Livia, langsung menduduki tempat di samping gadis itu.

Livia melepas earphone-nya, "Ngapain?"

"Duduk?" Jawab Ari yang lebih terdengar seperti pertanyaan.

"Maksud gue, ngapain duduk disitu?"

"Oh, kursi gue dipinjem Winda. Terus disuruh pindah ke sini."

"Widel, bukan Winda."

"Sama aja. Lo ga suka kalo gue duduk di sini?"

"B aja."

"Oh, yaudah."

Liviari [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang