"Ya Allah, afwan mbak." Seorang laki-laki berbaju koko beige berjongkok di samping Ansya. Wajahnya pias. Dia takut kecerobohannya berujung celaka bagi oranglain. "Mbak, nggak papa kan? Afwan saya benar-benar tidak sengaja."
Ansya tidak merespon. Gadis itu masih mengumpulkan kesadarannya atau mungkin menempelkan kembali otaknya yang nyaris berceceran. Laki-laki itu menunduk, mencoba mencari wajah yang terlihat terunduk. Erangan gadis di depannya setidaknya menyampaikan satu hal pasti, bahwa semua tidak baik-baik saja.
"Mbak, apa perlu saya panggilkan—"
"Loe sengaja?!" Ansya mengeluarkan suaranya. Begitu lirih nyaris tidak terdengar oleh lawan bicaranya. Bibir laki-laki itu terantup. Dia kebingungan, bagaimana mungkin gadis ini berpikiran dia sengaja melakukannya? Baru saja laki-laki itu ingin menyanggah, tapi gadis di depannya lebih dulu menegakkan wajahnya dengan marah. Dia tertegun tanpa alasan. Gadis itu jelas terlihat marah, tapi laki-laki itu seperti menangkap satu sorot berbeda di mata gadis itu.
"Af-wan, afwan ukhti saya nggak sengaja njatuhin buku saya, afwan ya ukh-ti, af-wan!" Laki-laki itu mencoba menjelaskan dengan terbata-bata setelah untuk beberapa detik hanya mampu mematung diri.
Sesaat yang lalu, Ansya ingin menumpahkan sumpah serapahnya. Ya, dia sangat marah. Tapi entah kenapa, saat ini dia seakan kehilangan alasan untuk menumpahkan kekesalannya pada laki-laki ini.
Tapi kemudian, sakit di kepalanya lagi-lagi menyapa. Ansya meringis. Nyatanya ia masih merasakan kesakitan yang tidak bisa dia tahan. Ansya kembali mendapatkan nyalinya yang sejenak lalu lenyap. Ditatapnya tajam wajah laki-laki itu.
"Afwan, bakwan maksud loe? Dengan afwan loe itu kepala gue nggak akan sembuh!"
Sentakan Ansya yang ketus kontan membuat wajah laki-laki di depannya berubah. Tak dipungkiri, dia dibuat tak enak hati oleh kata-kata gadis di depannya.
"Sebelumnya maaf ukhti. Saya sudah minta maaf dan saya rasa itu sudah cukup. Sekarang urusan ukhti mau memaafkan saya atau nggak, yang penting tugas saya untuk minta maaf sudah saya tunaikan. Maaf saya masih banyak urusan yang harus saya selesaikan. Jika nanti terjadi sesuatu dengan kamu, kamu bisa hubungin saya di sini. Maaf sekali lagi." laki-laki itu mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar kartu kecil. Dia meletaknya di pinggir rak.
"Eh, enak aja kamu mau melarikan diri, kamu harus tanggungjawab!" Bola mata bening itu menyorot tepat ke wajah sang laki-laki di depannya tanpa sedikitpun rasa segan atau enggan.
Laki-laki itu menarik nafas lelah. Sebenarnya dia tidak ingin bertindak kasar, tapi perilaku gadis galak ini memberinya satu alasan bahwa dia tak harus lebih lama lagi berada di dekatnya. Selain itu dia memang benar-benar sedang sibuk. Perkataan, dia sedang ada urusan sungguh bukan alasan yang sengaja dibuat-buat untuk melarikan diri dari tanggungjawab.
"Ada apa sih kok ramai-ramai gini? Sya ada apa lagi? Kamu jangan cari gara-gara terus dong, malu atuh Sya." Tiba-tiba Nindya muncul dari belakang laki-laki itu.
"Tuh gara-gara dia!"
Ansya seenak tangannya menunjuk wajah laki-laki di depannya. Ajaibnya, bukannya marah laki-laki itu malah seolah menahan geli. Ingin tersenyum tapi takut makin menyinggung. Sekali lagi ditataplah wajah Ansya yang merah padam dengan tangan kiri yang mengelus kepala. Baru pertama ini dilihatnya adegan se-natural itu. Lugu, polos, lucu dan marah bercampur jadi satu.
"Siapa? Dan kenapa kepalamu?"
"Maaf sebelumnya, tadi saya nggak sengaja menjatuhkan buku saya ke kepala mbak ini. Saya benar-benar nggak sengaja, kalau nanti ada apa-apa saya mau tanggung jawab."
Mendengar suara lembut mendengung di gendang telinganya, Nindya langsung memalingkan wajah menghadap asal suara. Laki-laki itu memandang wajah Nindya ramah, berharap Nindya dapat mengerti dan membuat keadaan sedikit berpihak padanya.
"MasyaAllah ya Allah inikah keajaiban dunia ke-10 itu? Ganteng bangeeet."
Nindya mengoceh tanpa sadar. Dia menatap wajah laki-laki itu lekat dengan mulut melongo. Ekspresi gadis yang sekali lagi membuat bibir sang laki-laki ingin tertawa.
"Heh keajaiban dunia ke-10 apaan sih? Hey sadar, jangan malu-maluin dong. Masa temen sendiri didzalimin kamu malah kaya gitu! Hoyy!" teriak Ansya tepat di telinga Nindya. Sebuah cubitan tak lupa melengkapi teriakan itu. Nindya kontan gelagapan.
"Eh..ya..ya, maaf bukan maksudnya kayak gitu. Hehe." Nindya cengengesan. "Tapi menurut aku mas ini nggak usah tanggung jawab. Lagian kamu nggak terlalu parah kan?"
Mendengar perkataan Nindya, wajah laki-laki itupun sedikit menampakkan kelegaan. Sementara Ansya, desahan panjang penuh kekecewaan terdengar jelas memenuhi ruangan pendengaran dua lawan bicaranya.
"Kata siapa aku nggak parah, lihat nih kepalaku! Benjol, puyeng, pusing, cenut-cenut, berkunang-kunang,—"
"Huss!"
Nindya mendesis sambil mengeryipkan mata, seolah menyuruh Ansya diam dan dengan ikhlas menyetujui apa yang baru saja dikatakannya. Ansya merengut menahan jengkel.
"Sebelumnya sekali lagi mohon maaf ukhti berdua, terus terang sekarang saya benar-benar ada kepentingan yang harus saya selesaikan, jadi kalau diijinkan saya mohon diri. Nanti kalau terjadi sesuatu dengan mbak—siapa?" Sang laki-laki memandang Ansya penuh tanya.
"Ansya." Nindya menjawab dengan lemah lembut.
"Ya kalau terjadi sesuatu dengan mbak Ansya tolong hubungi saya, nanti InsyaAllah saya akan bertanggung jawab." laki-laki itu menunjuk kartu nama yang tadi diletakkannya di pinggir rak. "Disini ada nomor Hp saya, jadi nanti kalian bisa hubungi saya lewat nomor ini."
"Iya, akhi. InsyaAllah Ansya nggak akan apa-apa. Wong masih dua buku sekecil ini." Sekali lagi Nindya menjawab dengan jawaban tak masuk akal-nya. Ansya mendelik, MasyaAllah dua buku kecil?. Gadis itu ingin menyela, tapi remasan tangan dan desisan ular milik Nindya membuatnya terpaksa menutup mulut.
Laki-laki itu mengangguk, mengucap salam lalu berlalu dengan langkah cepat.
<<*aulya*>>
Afwan ukhti : Maaf mbak (saudara perempuan).
KAMU SEDANG MEMBACA
Intidzar For Love (Penantian Cinta)
Non-FictionPenantian untuk beberapa orang diartikan sebagai suatu hal yang begitu gamang, tapi untuk beberapa orang dirasa sebagai suatu yang mengasyikkan, mendebarkan bahkan kadang menyakitkan jika dijalani tanpa kepastian akar. Ketika sebuah cerita cinta sel...