Bab 3-2 Rasa yang Tumbuh Perlahan

4 0 0
                                    


Pulang kuliah, lari Nindya berhenti mendadak karena teriakan seorang gadis yang dikenalnya. Langit sore kembali mendung, Nindya sebenarnya ingin segera melaju ke parkiran dan masuk ke mobilnya. Jujur, dia anti hujan-hujanan. Tugas makalah di tangannya perlu diselamatkan. Tapi seorang gadis yang memanggilnya lantang dan terlihat berlari menyusulnya menghambat kakinya untuk melaju.

"Ada apa sih Sya, mau hujan tuh! Aku nggak bawa kantong penyelamat buat makalah-makalah ini."

"Ih, bentar aja. Gue mau minta kartu nama cowok kemarin. Kamu kan yang bawa."

"Iya, ini di dompet. Hayoo, napa minta-minta? Mau kamu godain? Katanya nggak suka!"

"Ih, apaan sih! Mau aku kerjain lebih tepatnya. Udah ih, sini, keburu hujan makalah loe ntar jadi lembek macam krupuk kena kuah soto."

Walau dengan perasaan tidak enak, Nindya akhirnya memberikan kartu nama itu. "Jangan diapa-apain lo ini anak orang."

"Yee, emang ada yang bilang ini anak kucing!"

"Ih." Nindya melengos. "Udah ya duluan, keburu hujan. Ingat pesan aku, jangan cari gara-gara!"

"Iya-iya aku juga lebih suka cari uang ketimbang cari gara-gara."

Nindya memasang wajah geram sambil mengacungkan tangan yang siap menjitak kepala Ansya. Ansya langsung menghindar dan berlari menjauh dengan tawa ceria.

Nindya melanjutkan lajunya, tapi setelah beberapa langkah dia berhenti lalu berbalik badan, menatap gemas pada Ansya yang sudah berjarak jauh darinya. Diantara rasa penasarannya akan tujuan Ansya meminta kartu nama itu, dia juga baru menyadari satu hal. Dia belum menyimpan nomor telepon laki-laki tanvam itu. Oh My GOD. Nindya mencak-mencak sendiri. Nindya kan juga ingin gangguin itu anak orang.

<<aulya>>

Sore itu, Ansya senyum-senyum sendiri di teras depan rumahnya. Di tangannya terselip kartu nama berwarna biru muda.

"Elzein Arrayyan Annuillah." Ansya merapal nama itu lirih. Senyum licik terpancar dari sudut bibirnya. Baru saja dia selesai melancarkan rencana yang telah dia gagas kemarin. Rencana yang sudah difixed-kan itu mempunyai visi dan misi untuk menganggu ketentraman hidup Elzein Arrayyan Annuillah. Entah kenapa gadis itu sampai mempunyai rencana tidak penting seperti itu. Yang diketahuinya hanya satu, dia hanya ingin melakukannya, dan keinginan itu harus dituntaskan.

Jam dinding di ruang tamu berdenting sebanyak 4 kali. Berarti sudah pukul empat sore. Di atas sana di ujung cakrawala matahari masih bersinar dengan cahayanya yang kemerahan dan awan yang mulai menutupi sebagian cahayanya. Angin semilirpun mulai menampakkan kefungsiannya, menerpa lembut wajah kemerah-merahan itu dengan begitu hangat. Jilbab yang tergerai menutupi dada terlihat menari mengikuti angin. Ansya termenung, masih lekat menatap lama screen handphone yang dipegangnya. Benda itu tetap diam. Harapannya bahwa laki-laki yang baru saja di-misscall-nya akan balik menelepon tidak jua terwujud. Digesernya lagi nomor Rayyan. Lalu ditempelkannya ke daun telinganya.

Terdengar nada sambung sebanyak tiga kali sebelum akhirnya panggilan itu terjawab.

"Assalamualaikum."

Ansya tersentak sendiri. Segera dimatikan sambungan telepon itu. Disentuhnya dadanya pelan. Pelan sambil beristigfar. Ini aneh? Kenapa rasanya seperti habis melihat penampakan singa yang siap menerkam? Ansya melirik takut screen lempengan tipis itu. Tetap tidak bereaksi. Rayyan masih belum membalas meneleponnya.

"Kenapa cowok satu ini begitu upnormal. Tak biasanya orang dimiscall beberapa kali nggak balas nelepon, atau setidaknya smslah, whatapps-lah, menanyakan siapa ini? Ada perlu apa?Ada yang bisa saya bantu? Dasar cowok aneh! Napa juga aku penasaran sama cowok nyebelin ini?"

Ansya masih menunggu. Satu menit, dua menit, tiga menit, tapi benda itu tetap diam. Akhirnya digeletakkanlah handphone itu di atas meja. Menyerah sudah! Hatinya dongkol—merasa rencananya tak berjalan seperti yang diharapkan. Berulang kali diliriklah handphone itu. Tidak ada yang berubah. Ansya jadi gemas sendiri. Ingin rasanya mengambil HP itu dan langsung mengigitnya secara bertubi-tubi atau kalau perlu langsung ditelan saja sekalian.

Apa menjadi seorang penganggu juga membutuhkan kesabaran? Kenapa susah sekali jadi penganggu dadakan?

Ansya memijiti kedua tepi keningnya.

Tiba-tiba terdengar bunyi klakson dari depan rumah. Ayah pulang. Perhatian Ansyapun teralihkan. Gadis itu segera berlari menuju ke pagar rumahnya untuk membuka pintu pagar. Perlahan mobil ayahpun memasuki halaman rumah. Baru saja Ansya mau menutup pintu pagar terdengar lagi bunyi klakson, tapi kali ini bunyi klakson sepeda motor. Keningnya langsung mengkerut. Ansya menatap postur tubuh pengendara sepeda motor itu. Seorang laki-laki, memakai baju koko, celana kain hitam dan jaket bermodel mirip jas berwarna hitam, dengan wajah tertutup helm. Ansya merasa mengenali perawakan pengendara itu. Tapi siapa? Ansya mulai penasaran. Lebih penasaran lagi ketika dilihatnya Sasya, adik perempuannya itu berada di boncengan sang pengendara. Tumben, bukan hanya karena hari itu harusnya jadwal ayah yang menjemput Sasya di TPA, tapi juga tidak biasanya Sasya mau dijemput orang yang tidak dia kenal. Setelah laki-laki misterius itu memarkir motor di garasi rumah Ansyapun segera menghampirinya.

"Assalamualaikum adikku sayang! Kangen nih!" sahut laki-laki misterius itu sambil membuka helmnya. Ansya terkejut bukan main. Tapi detik selanjutnya terukir senyum lebar di bibir tipisnya. Laki-laki itu ternyata seseorang yang sangat dirindukannya beberapa bulan ini. Laki-laki dengan senyum manis, berbadan tegap tinggi, berwajah tampan dan berkulit bersih. Laki-laki itu tak lain adalah kakak satu-satunya yang sudah lebih dari dua bulan tidak mengunjunginya. Ansya semakin girang saja setelah tangan lembut laki-laki itu mencubit manja pipi cubbynya.

"Waalaikumsalam warohmatullohiwabarokatuh kakak! Ansya hampir saja tidak mengenali kakak. Tambah kurus sih. Hehe."

"Yee, sama kakaknya yang terganteng sedunia kok nggak kenal! Keterlaluan!"

Ucapan Hakim membuat Ansya mencibirkan bibir. Dari dulu kakak sepupunya tidak pernah berubah. Terlalu Ke-PD-an, walau tak dipungkiri tetap saja menyenangkan.

"Kim makasih ya dah mau jemput Sasya. Yuk masuk! Ayah kangen sama kamu, bunda juga sudah sangat kangen sama putra laki-lakinya yang ganteng ini. Ansya, ajak kakakmu ke dalam gih! Sasya, ayuk ayah gendong. Waktunya mandikan? Huh, tambah cantik saja putri ayah yang manja ini!"

Sang pemimpin keluarga yang paling bijaksana itu menghampiri dan merangkul pundak Hakim penuh sayang, kemudian dengan sisa tenaga yang dimiliki ayah meraih tubuh mungil Sasya dan mengendongnya. Diciumnya pipi menggemaskan Sasya berkali-kali. Gadis kecil itu hanya mampu mengeliat manja. Walau sudah terlihat sangat lelah ayah masih saja kuat mengendong Sasya. Memanjakan putri kecilnya itu dengan kasih sayang yang seakan tak pernah habis walau sudah diberikannya selama bertahun-tahun.

<<aulya>>

Intidzar For Love (Penantian Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang