Bab 3-1 Rasa yang Tumbuh Berlahan

5 0 0
                                    


Siang itu matahari begitu terik. Panas yang begitu menyengat membuat beberapa mahasiswa di Fakultas Kedokteran menjadi malas untuk keluar dari ruang kuliahannya. Gazebo-gazebo yang sengaja dibangun di bawah pohon pun telah penuh dengan anak kuliahan yang duduk santai sambil bercanda dengan teman-temannya.

Sementara itu, di sebuah masjid di sebelah utara kampus juga telah penuh dengan ikhwan dan akhwat yang duduk dipisahkan sebuah hijab. Siang itu ada Rapat anggota SKI (Seksi Kerohanian Islam) untuk membahas acara BAKSOS yang akan diselenggarakan di sebuah kawasan pinggir kota. Sebuah kegiatan rutin dimana mahasiswa dapat menyalurkan rasa kepeduliannya terhadap sesama. Dimana melalui wadah kegiatan itu juga mereka dapat memberikan sedikit kontribusi mereka untuk masyarakat. Bukankah sebuah semboyan memberitahukan bahwa "Jangan bertanya apa yang dapat diberikan negeri untukmu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada negeri ini". Semboyan inilah yang kemudian menumbuhkan suatu tekat dalam diri mereka untuk melakukan sumbangsih tersendiri, walau mungkin besarnya tak seberapa.

Rapat itu berjalan lancar dan memutuskan acara Baksos akan dilaksanakan satu bulan lagi. Begitu rapat berakhir, satu persatu dari mereka meninggalkan masjid untuk meneruskan kegiatan mereka masing-masing. Tinggallah dua laki-laki dan tiga perempuan duduk di depan masjid. Diantara mereka ada dua sosok gadis yang tak lain adalah Ansya dan Nindya.

"Ansya, kamu nggak pulang?" tanya Nindya sambil mengipas-ipaskan buku yang dibawanya.

"Aku kan pulangnya sama kamu Nindya, lagian habis ini ada Rapat BEM. Gimana sih!" Tangan kanan Ansya mengikuti alur tangan Nindya, melambai mengipas-ipaskan sebuah buku tipis ke depan wajah.

"Sya, pulang ntar sama aku saja ya!"

Seorang laki-laki yang duduk di depan Ansya, dengan sedikit keberanian yang dipaksakan mencoba menawari kebaikan. Seperti biasa Ansya menolak ajakan kakak kelasnya sekaligus ketua BEM itu dengan halus. Tapi kelihatannya laki-laki itu bersikeras dengan kebaikan yang dia tawarkan kepada Ansya, sampai saat seorang gadis yang begitu dia segani menengahi penawaran dan penolakan diantara dirinya dan Ansya.

"Sudahlah kak Risky, biar ntar Ansya pulang sama aku dan Nindya saja. Memang bahaya kalau sampai ada yang nggosipin kalian. Gosip itu bagai senjata yang siap melukai tubuh kita kapan saja. Walau nyatanya kak Risky tidak ada apa-apa sama Ansya tapi kalau anggapan orang sudah seperti itu otomatis akan menimbulkan hibah dimana-mana. Apalagi bagi reputasi kita sebagai aktivis SKI. Sampeyan adalah ketua BEM, jadi harus lebih hati-hati dalam bertindak. Nanti dikira kakak tidak bisa jadi contoh yang baik, gawat kan kalau sampai kaya gitu?"

"Ya udah deh, kalau Tiafa udah angkat bicara, aku tidak bisa apa-apa lagi."

Risky pasrah. Rata-rata anak SKI memang paling menyegani Tiafa, salah satu gadis yang paling istiqomah dalam berdakwah. Dia membusanakan dirinya dengan busana yang begitu sopan, dengan jilbab lebar menutup dada, bahkan melebar hampir ke pinggang. Gadis berlesung pipit itu mengambil jurusan Kebidanan. Tapi meskipun bukan sebagai calon dokter, tekat dan semangatnya dalam menuntut ilmu tak kalah dengan para mahasiswa kedokteran. Kearifannya dalam memberikan nasihat selalu membuatnya menjadi muara segala kesedihan teman-temannya. Ketegasan dan kecerdasannya dalam menghadapi segala persoalan mewujudkan gadis ini sebagai sosok yang begitu berwibawa di mata siapapun yang mengenalnya.

"Mending kita sholat dulu Ris, nanti pukul 14.00 WIB kita ada rapat di SC, anak-anak BEM juga mau ngadain BAKSOS kan?"

Laki-laki satunya yang bernama Johar mencoba memberi anternatif yang lebih berfaedah daripada berdebat dengan topik 'mengantarkan Ansya pulang'. Risky yang menyadari dirinya belum menunaikan ibadah sholat zuhur langsung meng-Iyakan ajakan itu. Sepeninggal Risky dan Johar, Ansya dan dua sahabat karibnya masih saja duduk di depan masjid, berbincang-bincang sambil menunggu waktu rapat berikutnya.

"Eh, kemarin gimana acaranya? Katanya ke ALKA BookStore ya? Dapat buku apa aja?" tanya Tiafa membuka perbincangan. Ditatapnya bergantian dua teman di depannya. Respon keduanya sangat berbeda jauh. Ansya terlihat langsung cemberut, sebaliknya Nindya langsung sumringah.

"Nggak dapet buku tapi malah ketiban dua buku besar, sakit banget rasanya. Kalau saja hari ini nggak ada pre-test aku pasti nggak masuk." ucap Ansya dengan nada emosi.

"Ya Allah, kok bisa? Terus sekarang gimana keadaan kamu? Emang kejadiannya gimana sih?"

Tiafa jadi penasaran dibuatnya. Akhirnya Ansya menceritakan tragedi kemarin dengan semangat empat lima. Mendengar cerita Ansya, Tiafa hanya bisa manggut-manggut dan mencoba memahami kemarahan Ansya yang begitu berlebihan itu.

"Apa separah itu sikapnya Sya?" Kening Tiafapun mengkerut.

"Menurutku kemarin tingkahnya baik dan sopan kok Fa. Dia juga sudah terbukti nggak sengaja melukai kepalanya yang antik itu. Ansya aja yang lebay." serobot Nindya santai sambil tersenyum lebar.

Ansya menyibirkan bibirnya. "Baik dari hongkong, kamu tahu gayanya waktu minta maaf 'tugas saya sudah selesai untuk minta maaf, kalau kamu nggak mau maafin itu urusan kamu, maaf saya masih banyak urusan!' Ih..kaya orang penting aja, Sok!"

Ansya menirukan kembali gaya bicara Rayyan sewaktu minta maaf sambil memonyong-monyongkan bibirnya. Nindya yang melihat tingkah Ansya hanya tersenyum geli sambil geleng-geleng kepala.

"Ya kalau menurut aku mending kamu maafin dia, tugas kitakan kalau ada yang minta maaf harus memaafkan Sya. Tuhan saja mau memaafkan HambaNya, masa kamu nggak mau. Lagian jangan terlalu benci sama seseorang, nanti malah jadi suka repot loh." ungkap Tiafa.

"Ih, males banget suka sama dia."

"Ya aku cuma ngingetin aja."

"Kelihatannya sih Ansya emang sudah mulai suka sama ustaz itu Fa!" sahut Nindya sambil nyengir. 

"Kata siapa? Nggak mungkinlah aku suka sama orang kaya gitu! Capek! Males! Nggak bisa diajak bercanda lagi! Sok sibuk! Sok kegantengan!"

"Emang dia ganteng."

"Ih, ganteng dari mana coba!"

"Dari sudut mana aja ganteng kok. Kaya pangeran arab-arab itu." Nindya semakin cekikikan.

"Ih. Nggak! Maksa banget sih."

"Yee, sapa juga yang maksa! Kamu kali yang maksa!"

"Nindya nyebelin banget sih."

"Halah, bilang aja semalaman kamu keinget terus sama wajah kalemnya. Iya kan?"

"Iihh, asal ngomong! Dunia ki—"

"Dahlah kalian jangan berdebat kaya gini, pusing aku dengerin ocehan kalian. Aku mau ke kantin dulu! Laper, belum makan dari pagi. Kalian mau ikut?" potong Tiafa sambil bangkit dari tempat duduknya. Otaknya memanas menyaksikan perdebatan dua sahabatnya yang tiada akhir itu. Perutnya juga sudah tidak bisa diajak kompromi. Maklum, seperti pagi-pagi sebelumnya, dia belum sempat sarapan karena kuliah patologi dengan indahnya nangkring pada pukul 06.00 wib. Jadi terpaksa dia meninggalkan sarapannya di meja makan. Sekarang sudah lebih dari setengah 2 siang. Tidak tahan rasanya jika harus lebih lama mendengar ocehan dua orang sahabatnya itu, bisa-bisa semakin membuat sisa kalori dalam tubuhnya terbuang percuma.

Ansya dan Nindya bungkam lalu saling pandang untuk kemudian berakhir menatap wajah Tiafa sambil tersenyum janggal. "Mau, asal ditraktir!" ucap mereka bersamaan.

Tiafa gantian yang bungkam, kelihatannya dia menyesal sudah mengajak duasahabat tengil itu ke kantin.


SC : Student Center


Patologi : mata kuliah yang mempelajari tentang penyebab penyakit.

Intidzar For Love (Penantian Cinta)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang