Dua laki-laki terlihat duduk santai di depan sebuah kamar pondok bercat hijau. Kamar itu berada di lantai dua. Lantai yang terkenal turun-temurun ditempati oleh senior yang berprestasi. Suasana malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya. Hamparan langit terpajang jelas di hadapan mata, desiran angin menyapa lirih, gemerisik daun tertiup bayu yang seperti sedang menunjukkan keahliannya merangkai not-not alamiah, juga bulan yang tengah sendiri tanpa teman berbincang.
Sebuah masjid berdiri kokoh di depan asrama. Lantunan-lantunan ayat suci terdengar sayup-sayup dari menara masjid. Para santri masih terlihat mondar-mandir di sekitar masjid dan halaman pondok. Waktu memang sudah menunjukkan pukul 22.00 wib, waktu yang mungkin bagi sebagian besar manusia adalah waktu yang tepat untuk membuai mimpi. Tapi berbeda dengan mereka, pukul 10 malam adalah masih terlalu sore untuk kembali ke peraduan masing-masing, untuk tidur atau sekedar untuk leyeh-leyeh saja. Masih terlalu banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Pekerjaan yang tak lain adalah belajar.
Belajar adalah hal paling penting bagi para penghuni pondok. Tak terkecuali dua orang laki-laki itu. Karena mereka dikirim ke Pondok, memilih belajar di pondok atau terpaksa belajar di pondokpun, tugas mereka hanya belajar. Belajar untuk selanjutnya segera merealisasikan ilmu mereka ke masyarakat. Membuat ilmu yang sudah didapat tak hanya sekedar tertulis di buku catatan atau tertimbun dalam otak saja, melainkan dapat diamalkan sehingga mampu memberikan manfaat dan kegunaan untuk orang banyak.
Dua laki-laki itu baru saja selesai melaksanakan kewajiban mereka sebagai seorang mahasiswa yaitu kuliah malam. Keletihan jelas nampak di setiap lekuk wajah keduanya. Maklum saja, sejak pagi mereka belum sempat beristirahat. Seperti jadwal hari-hari sebelumnya, pagi pukul 07.00 wib mereka harus mengajar para santri kelas 1-6 atau setaraf SMP-SMA. Sore dan malam harinya mereka kuliah. Sehari penuh benar-benar belajar dan bekerja keras. Tak ada waktu kiranya untuk mengerjakan hal lain yang tidak bermanfaat sama sekali.
"Akhi, ngomong-ngomong kenapa ente tadi terlambat datang ke rapat?"
Seorang laki-laki membuka pembicaraan, tapi ditunggu beberapa lama yang ditanya tak kunjung menjawab.
"Hai ustaz Elzein Arrayyan, ente diajak ngobrol malah ngelamun!" teriaknya sambil memukulkan buku di tangannya ke lengan laki-laki yang duduk tepat di sampingnya. Laki-laki yang bernama Rayyan kontan terkejut. Lamunannya buyar. Ditatapnya teman di sampingnya itu dengan tangan kanan pelan mengelus dada.
"Astagfirlohal'adzim! Kira-kira dong kalau mau ngagetin orang!"
"Lagian masih kekinian ya malam-malam melamun. Ditanya diem aja."
"Afwan, ada sesuatu yang menganggu pikiran ana. Jadi ana nggak denger apa yang ente bilang." jawab Rayyan sambil mengayak-ayak rambutnya sendiri. Membuat tatanan klimis itu tidak serapi semula. Sebuah desahan panjang terdengar begitu pelan.
"Ana tadi nanya kenapa ente terlambat datang saat rapat, nggak biasanya ente datang molor kaya tadi?" laki-laki itu terpaksa mengulangi pertanyaannya. Tubuhnya disengaja diputar menghadap ke Rayyan.
"Oh. Tadi ana ada masalah mendadak."
"Emangnya masalah apa?"
"Bukan masalah yang penting."
Wajah Rayyan menunjukkan keengganan untuk mengingat-ingat kembali kejadian yang menimpanya tadi sore, apalagi jika harus menceritakannya pada orang lain, walaupun itu pada sahabat karibnya sendiri. Itu seperti mengapai kembali sesuatu yang ingin dia lepaskan.
"Jadi nggak mau cerita ni?"
Akhi : mas (saudara laki-laki)
Ente : sama dengan antum (kamu)
KAMU SEDANG MEMBACA
Intidzar For Love (Penantian Cinta)
No FicciónPenantian untuk beberapa orang diartikan sebagai suatu hal yang begitu gamang, tapi untuk beberapa orang dirasa sebagai suatu yang mengasyikkan, mendebarkan bahkan kadang menyakitkan jika dijalani tanpa kepastian akar. Ketika sebuah cerita cinta sel...