"My heart still doesn't change.. Please come back to me.."
E-mail itu datang lagi. Dari orang yang sama. Jaehyun lagi. Aku memejamkan mataku, kembali merasakan sakit menusuk-nusuk hatiku. Sakit di setiap jantungku memompakan darah keluar lewat arteri, begitupun saat darah itu masuk kembali ke jantung lewat vena.
Sakit kenapa? Sakit karena aku juga mencintainya, karena aku harus berusaha mengabaikan hatiku yang susah payah memanggil-manggil namanya. Aku tau itu, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa agar aku bisa bersamanya. Karena dia tidak pantas memilikiku. He doesn't even deserve me. Dan aku benci kenyataan pahit itu.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, memeluk kedua kakiku hingga lututku hampir bersentuhan dengan dada. Sejujurnya aku bosan dengan kegiatan seperti ini, tiap hari menangis, menangis, menangis lagi. Kenapa sebagai laki-laki aku sangat lemah? Aku bahkan tidak bisa untuk sekedar membela diriku sendiri. Pantas saja Jung Jaehyun membenciku.
Aku benar-benar masih ingat kejadian yang membuatku meninggalkan Jaehyun. Kejadian itu sudah mencoret nama Jaehyun selamanya dari hati seorang Kim Doyoung. Selamanya.
=7 bulan setelah pernikahan=
Aku sudah benar-benar berhenti bekerja, aku tidak ingin memperuncing situasi dengan Jaehyun. Seperti biasanya, malam ini Jaehyun pulang larut dan aku menungguinya sambil menonton televisi. Dia akan sangat murka bila aku tidak melakukan hal ini. Sudah hampir jam setengah dua tapi dia masih belum datang juga. Aku mulai mengantuk dan perlahan kurebahkan badanku di sofa sampai akhirnya mataku terpejam.
Tiba-tiba satu sentakan keras mengagetkanku, aku bahkan belum sempat tertidur sepenuhnya. Jung Jaehyun, suamiku itu sekarang sedang memandangiku dengan tatapan yang mengerikan, seperti akan membunuhku. Berkali-kali aku menelan ludah karena ketakutan, dan aku yakin dengan melihatku begini dia semakin merasa menang atasku.
"Kenapa ummaku bisa tau apa saja yang aku lakukan padamu? Bukannya aku pernah bilang, jangan sampai ada keluarga kita yang tau, atau kau sendiri yang akan merasakan akibatnya. KAU TIDAK INGAT ITU DOY?"
"Aku.. aku.. aku tidak memberitau siapa-siapa, Jae.. Aku.." Jaehyun melepaskan cengkramannya dari tanganku lalu duduk di sofa. Aku hanya bisa menatapnya heran, kenapa dia tidak memukulku seperti biasanya?
"Kau ingin aku memperlakukanmu seperti istri kan Doy? Itu kan yang kau bilang pada ummaku?" aku tertegun. Suara Jaehyun melembut, dan.. ada perasaan aneh menyeruak di hatiku, sedikit harapan seperti muncul di jalan yang tengah kulalui bersamanya.
Mertuaku memang datang ke rumah ini tadi pagi tanpa memberitau terlebih dahulu. Dia bilang dia ingin melihat kondisi rumah tangga putra satu-satunya, dan tentunya aku yang dia sayangi bagaikan anak kandung sendiri. Tapi yang dia dapati bukanlah seperti yang dia harapkan. Dia mendapatiku dengan lebam di wajah, lingkaran hitam di sekeliling mata, dan pipi yang semakin tirus. Tanpa harus diberitaupun mertuaku itu sudah tau apa yang terjadi padaku. Bagaimanapun dialah yang paling tau siapa Jung Jaehyun, seperti apa perangainya, bagaimana caranya melampiaskan emosi. Tanpa harus berceritapun mertuaku itu sudah tau kalau Jaehyun-lah yang menyebabkan kondisiku se-menyedihkan ini.
"Aniyo.. Aku tidak pernah bilang begitu.." aku memang tidak pernah mengadukan apa-apa. Selama sejam penuh mertuaku di sini, dan ajaibnya kami tidak mengatakan apapun. Mertuaku itu sepertinya sibuk dengan pikirannya sendiri, sibuk menganalisa apa yang sebenarnya pernah terjadi di rumah ini dengan melihat situasi sekitar, mirip seorang detektif.
Jaehyun menengadah menatapku yang masih berdiri. Dia lalu menarik tanganku dengan kasar sampai aku terduduk di sebelahnya.
"Kau dapat apa yang kau mau, Doy.. Aku akan memberikanmu apa yang kau minta. Tapi jangan salahkan aku kalau caraku tidak sama dengan cara yang kau harapkan.." perasaanku mulai tidak enak. Nada sedingin es itu terasa sangat menghantuiku, sampai membuat berdiri bulu kudukku.