Tujuh

42 10 4
                                    

Kami turun di sebuah bangunan sederhana yang bertuliskan Rumah Kasih di depannya.

"Ini..panti asuhan?" Tanyaku pada Mama yang dijawab dengan anggukan kepala. "Bajunya..."

"Iya, Mama kasih ke Iqbal. Tapi, bukan Iqbal yang kamu suka.." Aku mendelik pada Mama yang bisa-bisanya mengatakan itu di sini. Mobil Tante Lily memang berada di depan kami, tapi bisa saja Iqbal mendengarnya meski itu sangat mustahil karena suara Mama yang berbisik.

"Mama jangan aneh-aneh, deh. Aku udah nggak mood, nih." Mama hanya diam dengan senyuman jahilnya saat melihatku sudah memajukan bibirku panjang-panjang.

Kami ber-enam masuk melewati halaman panti yang sangat ramai dengan anak-anak. Mereka ada yang bermain ayunan, petak umpet, gobak sodor, ada juga yang membaca di sebuah gazebo kecil.

Seorang perempuan kisaran umur setengah abad menyambut hangat kedatangan kami di depan pintu utama. Ibu yang aku tahu bernama Ibu Aza ini mempersilahkan kami untuk masuk ke dalam.

Tante Lily menjelaskan maksud kedatangannya kemari. Ternyata beliau dan Mama berencana menyumbangkan beberapa barang yang masih layak pakai untuk anak asuh di sini.

Setelah cukup lama berbincang dengan Ibu Aza. Kami diperbolehkan untuk mengenal lebih dekat anak-anak yatim piatu di sini.

Kami semua menuju halaman depan karena semua anak berkumpul di sini untuk bermain. Aku mengajak Al untuk mendekat dan bergabung dengan seorang perempuan yang sedang bercerita di gazebo. Ibu Aza juga menceritakan kalau ada satu orang dari anaknya yang sudah bekerja dan masih mau membantu kebutuhan adik-adiknya.

"Assalamu'alaikum, boleh gabung?" Mereka yang sedang asyik mendengarkan Kak Idha bercerita menoleh serempak ke arahku.

"Wa'alaikumsalam," jawab mereka bersamaan.

"Wa'alaikumsalam, duduk sini."

Kak Idha tersenyum ke arahku. Aku dan Al duduk di antara mereka dan kembali mendengarkan apa yang sedang Kak Idha ceritakan. Ternyata, Kak Idha sedang bercerita tentang bagaimana kehidupannya dulu sampai sekarang. Dia bisa dibilang sukses karena masuk dalam pengangkatan PNS. Intinya, Kak Idha mengatakan untuk tidak berputus asa meraih cita-cita. Meski mereka tidak memiliki orang tua seperti teman-teman yang lainnya. Semangat untuk mengejar apa yang mereka inginkan tidak boleh putus. Karena setiap ada kemauan, di situ ada jalan.

Aku menoleh pada Al yang sedang berbicara pada seorang gadis kecil seusianya. Aku mengelus pelan kepalanya karena sempat melihatnya mengusap sudut matanya saat Kak Idha bercerita bagaimana dia sangat terpuruk dan sedih saat kehilangan kedua orang tuanya.

Aku rasa Mama memaksa Al karena ingin menunjukkan pada adikku ini sebuah pelajaran yang berharga. Dan sepertinya dia mendapatkannya. Mata hatiku juga terbuka ketika mendengar kisah pilu Kak Idha. Dia ditinggal oleh kedua orang tuanya saat berumur enam tahun. Hanya sedikit kenangan yang ia ingat bersama orang tuanya. Dia masih bersyukur memiliki beberapa foto mereka untuk bisa dipeluk dan dicium saat Kak Idha rindu.

Aku harusnya bisa lebih bersyukur dengan hidupku saat ini. Memiliki orang tua yang lengkap dengan kasih sayang yang tulus. Tidak baik jika aku terus mengeluh dengan perhatian berlebihan yang mereka berikan. Padahal itu wujud kasih sayang dan cinta mereka padaku, anaknya. Aku harusnya bersyukur masih bisa merasakan perhatian dari kedua orang tuaku, sedangkan mereka yang sangat haus akan perhatian orang tua tapi tidak bisa merasakannya.

Aku membantu Kak Idha membagikan beberapa buku pada mereka. Kak Idha tersenyum ramah padaku.

"Kamu kelas berapa?" Tanyanya dengan lembut. Astaga...jika dibandingkan dengan Nia apa jadinya temanku satu itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 25, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lost IN LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang