Tiga

93 20 2
                                    

Gagal!

Dengan kakiku yang baru bisa jalan, aku tidak mungkin melangkahkan kaki ini untuk berlari dan menyeret Aji keluar dari rumahku.

Agh!

Pintu itu terbuka dan yang terlihat masih Maya yang juga cuek melihat kegelisahanku.

"Kamu apaan sih, Ni?! Kok pakai ngajak Aji segala?!" Tanyaku gusar. Aku sama sekali tidak bisa tenang jika seperti ini.

Bokongku gatal, panas, dan tidak tahan untuk duduk! Aku ingin berdiri dan berlari ke arah pintu itu. Menahan pintunya agar Aji tidak menemuiku.

"Kamu juga, May. Kenapa nggak bilang kalau dia ikut sih?!" Aku bertanya dengan nada yang aku tahan. Aku tidak ingin berteriak dan membuat papa lebih cepat datang lalu memarahiku.

"Aku nggak ngajak, Dy. Dia-nya sendiri aja yang sadar kalau lelaki itu nggak boleh lepas tanggung jawabnya." Kata Nia dengan entengnya.

Astaga!

"Lagi nunggu papa, ya?"

Deg! Lebih baik aku kembali ke kamar atau bersembunyi dulu di kamar Al.

"Mau kemana, sayang? Kakinya masih sakit, kan?" Papa memegangi tubuhku yang sudah berdiri dan siap untuk melangkah.

"Oh, nggak kemana-mana kok, pa."

Aku kembali duduk sambil memejamkan mataku.

"Kamu kenapa sih, Dy pakai merem-merem kayak gitu? Rega kan emang harus tanggung-"

"Niaaa" Aku melotot ke arahnya dan langsung memotong kalimatnya, papa melihat kami dengan tatapan bingungnya.

"Kenapa, Widy?" Tanya papa yang membuatku semakin salah tingkah.

Aji belum terlihat mendekati meja makan. Sepertinya masih berada di dekat pintu. Jadi, jangan menoleh ke arah kiri!

"Oh,,..mm, itu, maksud Nia....,mmm, nanggung kalau Aji nggak makan sekalian. Ya, kan Ni? Aji, sini ngapain jadi patung di deket pintu? Nggak mau makan bareng? Kalau nggak mau gakpapa kok, kamu bisa pulang sekarang. Makasih sudah dijenguk."

Aduhh!! Kenapa aku ketularan Ayunda, sih!

Senyumku yang kaku dengan mata yang melihatnya hanya diam saja di sana membuatku merutuki ucapanku. Suasana jadi sangat canggung saat ini.

"Widy, nggak baik usir temen kamu. Niatnya ke sini baik, loh. Tadi,,,.. siapa nama kamu?" Tanya papa membuat Aji mendekat.

"Rega, om."

"Iya, temen kamu yang namanya Rega ini ngasih bingkisan buah malah."

Mama yang sedang mengambilkan nasi di piring papa juga kembali menegurku.

"Widy...widy, kamu itu pikirannya selalu jelek sama orang. Sudah mama bilang kalau sama temennya itu harus ramah, tapi tetap saja."

"Iyaa, ma."

"Itu diajak makan bareng. Kasihan nggak duduk-duduk cuma nunggu kamu ngebolehin."

Aku menghela napasku pelan. Benar-benar angkat tangan kalau mama dan papa yang sudah bilang seperti ini.

Ini juga, tiga orang ngeselin cuma diam!

"Duduk, Ji. Makan malam dulu."

"Buahnya ada di ruang tamu, Wid. Apa sekalian aku ambil?" Tanya Aji mendekat ke arahku.

"Nggak usah. Nanti biar Bik Rina saja yang ambil. Kamu duduk. Ayo, bidadari-bidadari semoga makanannya enak."

Ketiganya tersenyum ramah pada mama dan segera mengantri mengambil sayur kesukaan mereka. Sama sekali tidak memperhatikan aku yang dilanda kegelisahan akut.

Lost IN LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang