Pernah kau menghadapi orang yang cukup rumit untuk dipahami? Seketika ia terlihat sangat sosial, namun seketika ia sungguh tertutup. Seketika ia dapat bercerita segala hal yang ia tau, namun seketika lainnya ia bungkam begitu tenang.
Ia bukan orang yang tegar menutup segala tangis, justru ia tipe orang yang dapat menangis dengan hal yang remeh, namun sulit baginya untuk menangis pada hal yang memang sepantasnya ditangisi.
Ia berusaha sedih kepada orang yang ingin bersedih, ia mati matian tertawa menyelimuti segala duka kepada mereka yang bahagia. Ia senang orang-orang terdekatnya berbagi masalah, namun ia tak pernah berbagi masalahnya pada siapapun. Sedang ia bahagia, semua akan tau bahwa ia bahagia.
Kau merasa tau segala hal tentangnya, sebab ia menceritakan begitu banyak hal mengenai dirinya. Tapi sesungguhnya kau tak tau siapa dirinya, sebab apa yang ia ceritakan hanya bagian dimana semua orang juga mendengarnya. Kau seolah yang paling mengerti tentangnya, sebab kau dan ia sering berbagi banyak kisah. Namun sesungguhnya kau tak benar benar tau apa yang menjadi keluh kesahnya.
Orang-orang seperti inilah yang penuh kepalsuan. Bukan hal hal bahagianya saja yang palsu, ketika mulai mengenalnya lebih dalam, maka kau mulai tau bahwa sedihnya palsu pula. Lalu, kapankah kebenaran yang ia palsukan itu terlihat? Biarkan ia sendiri, maka terlihat pula apa yang ia palsukan. Selama ini, cara itu cukup ampuh kulakukan.
Begitulah Shafa-ku, penulis lepas yang selalu bergelut didalam kata. Satu dari ribuan juta jiwa dengan sifat yang rumit. Namun untuk dilepaspun sulit. Jangan tanyai ia mengapa, apa yang menganggu pikirannya, cukup biarkan kapan ia mau bercerita. Begitulah Shafa-ku. Sebab, jika ditanya, ia semakin tak ingin menceritakan apa yang ditanyakan.
Hampir sepekan, usahanya menghindariku cukup kuat. Ah, usahanya itu pun tak terlihat. Yang ku tau, ia hanya sedang banyak pikiran. Aku tak akan menyadarinya jika Shafa-ku kini tak menyandarkan kepalanya pada bahuku, seusai berkata ingin bertemu.
Tanpa kata, Shafa-ku hanya menenggelamkan wajahnya pada bahuku. Terasa sudah lembab bajuku. Aku, cukup sering melihat wanita rumit ini menangis mengenai berbagai hal, cukup sering mendengar wanita rumit ini sedih dan mengeluh. Namun ini tangis pertamanya yang terasa menyayat, menghujam tajam kedalam.
Ia bagai diterjang badai tak tentu arah. Kubiarkan, walau tsunami sudah pada bajuku, agar badainya sedikit reda. Hingga akhir ia membuka suara "Aku writer's block*, sulit sekali menulis. Harus kemana kubawa semua tangis, jika ku tak menulis?"
Ah, kini terjawab sudah, bahwa Shafa-ku, menangis melalui apa yang ia tulis. Shafa-ku bahagia dari apa yang ia cipta.
–––––––––––––––––––––––––
*keadaan di mana seorang penulis tidak dapat menuangkan segala idenya ke dalam tulisan. Pikiran menjadi buntu, otak terasa kaku, seolah ada yang menghalangi keluarnya gagasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MELANKOLIA
Truyện Ngắnme·lan·ko·lia /mélankolia/ n kelainan jiwa yang ditandai oleh keadaan depresi dan ketidakaktifan fisik