"Apa yang akan kalian lakukan? Tolong jangan dekati saya!"
Wanita berseragam sekolah itu tampak gemetar ketakutan, ia memundurkan langkah sembari memegang pembatas jembatan trotoar, sesekali mengedarkan pandangan berharap menemukan seseorang. Sepi. Tidak ada siapapun yang bisa ia mintai tolong.
"Tenang, Nona Manis. Kenapa harus terlihat takut melihat kami, heh?"
Dua orang preman mencoba mendekati wanita berseragam SMA itu. Rambut berantakan. Seringaian mesum, serta baju dan celana terdapat banyak sobekkan, berhasil membuat wanita bernama Azzahra itu ketakutan.
Wajah Zahra pucat-pasi, sesekali melirik ke belakang memastikan dia tak akan jatuh dan mereka berhasil membawa dan menodainya nanti.
Cuih!
Aku melempar puntung rokok ke sembarang arah. Sedari tadi memerhatikan mereka dari kejauhan ternyata sangat membosankan.
"Berhenti! Jangan dekati saya!" teriak wanita itu.
Satyo, preman berkucir kuda dengan rambut di cat pirang tergelak. "Apa katamu tadi? Minta tolong? Jangan bercanda, Nona. Dari tadi kami di trotoar sengaja menunggumu pulang sekolah. Mana mungkin kami lepaskan. Tidak, maksudnya semua akan selesai setelah kita bermain-main."
"Ayolah sayang ... jangan ketakutan seperti itu. Ayo! Ikut bersama kami," ajak Jubed yang kutahu masih sekawan dengan Satyo.
Cukup bermain-main, Satyo menangkap pergelangan tangan Zahra. Jubed tertawa melihatnya mencoba berontak. Naas, kekuatan yang dia punya tak sebanding dengan mereka, gadis itu hanya bisa menangis dan berteriak meminta pertolongan saat mereka berdua membawanya ke tempat yang lebih sepi.
"Lepaskan saya! Lepasssssss ...!"
"To-loong! To-loong saya!"
"Diam!" bentak Satyo.
"Lepas, lepas!"
Secara diam-diam, aku masih membuntuti mereka dengan extra hati-hati. Sebenarnya tak mau ikut campur ataupun mempedulikan keadaan wanita yang kukenal sebagai Zahra. Bersyukurlah, karena kami masih teman sekelas, ditambah dia baik dan selalu memberikan contekkan padaku disaat lupa mengerjakan soal, jadi tak ada salahnya kali ini aku membatunya.
Zahra diseret ke rumah kosong. Tanganku mengepal ketika melihat mereka melempar Zahra ke lantai begitu saja, wanita malang itu meringis kesakitan, memegang pergelangan tangan yang sudah kemerahan. Bukannya melawan, dia malah berusaha menghindar. Membuatku kesal saja.
"Woy!"
Mereka berbalik.
"Itu Shila!"
Sepertinya mereka mengenal diriku yang populer dikalangan para preman pasar. Tragis sekali. Harusnya wanita sepertiku terkenal sebagai wanita lemah lembut, unyu dan manis seperti anak kucing. Lupakan! Ini bukan waktu tepat mengeluhkan kondisiku sebagai seorang gadis.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHAKILA (Revisi)
SpiritualDijodohkan dan harus menikah? Bagaimana bisa gadis tomboy sepertiku menikah! Apalagi harus mengurus bayi, menggendong saja aku tidak pernah. "Apa yang harus kulakukan?" Silakan baca ceritanya,komentar dan saran akan sangat membantu. apalagi, kalau...