SHAKILA

48.2K 1.6K 33
                                    


Aku berdiri di ujung jalan, menyaksikan Satyo dan Jubed menyeret Zahra ke arah rumah kosong. Entah kenapa, aku merasa tak ada alasan untuk ikut campur, meski di dalam hati aku merasa kesal melihat perlakuan mereka terhadapnya.

Aku bukan orang yang suka terlalu peduli pada orang lain, apalagi pada wanita yang selalu terlihat lemah seperti Zahra. Tapi entah kenapa, saat aku melihat dia dalam keadaan terpojok seperti itu, sesuatu dalam diriku ingin melawan, ingin membantu.

Aku melangkah mengikuti mereka, dengan hati yang berdebar, tapi tanpa ragu. Ketika aku melihat mereka melempar Zahra ke lantai dan mulai mengancamnya, amarahku meledak. Mereka berpikir bisa begitu saja memperlakukan orang dengan semena-mena?

"Woy!" Aku berteriak, suaraku tegas dan penuh amarah. "Itu cukup!"

Mereka berbalik, wajah mereka terkejut melihatku.

"Itu Shakila!" terdengar bisikan dari mereka.

Aku mendekat dengan langkah cepat, tidak peduli meski mereka jelas-jelas takut. Aku sudah cukup sering membuat para preman pasar ketakutan, dan aku tahu ini saatnya untuk menunjukkan siapa yang berkuasa. Satyo mundur sedikit, sementara Jubed tampak kebingungan, memandangku dengan tatapan takut. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mereka pergi.

"Apa yang kalian lakukan pada wanita itu, hah?" tanyaku tajam, suara dingin menembus udara.

"No... Nona, kami hanya... hanya bermain-main," jawab Satyo terbata-bata, langkah mundurnya semakin cepat.

Aku menyeringai. "Main-main? Dengan siapa? Dengan wanita yang tidak bisa melawan kalian? Sekarang pergi, atau aku akan membuat kalian menyesal."

Mereka saling pandang, jelas terlihat ketakutan. Aku bisa melihat mereka mempertimbangkan pilihan mereka, dan akhirnya, mereka berdua memilih untuk lari. Tanpa berkata sepatah kata pun, mereka segera menghilang dari pandanganku.

Aku menoleh ke arah Zahra, yang masih duduk di lantai, memegang pergelangan tangannya yang mungkin terasa sakit. Aku mendekat, dan tanpa berkata apa-apa, mengulurkan tangan untuk membantunya bangun. Dia menatapku dengan mata yang masih tampak bingung dan terkejut, seperti tidak percaya ada yang mau membantunya.

"Mau aku bantu berdiri atau tetap duduk?" tanyaku, suaraku lebih lembut daripada yang aku duga.

Zahra terdiam sejenak, lalu akhirnya menerima tanganku dan berdiri. "Terima kasih," katanya pelan, matanya masih sembab karena menangis.

Aku mendengus, tidak terlalu suka dipuji, apalagi oleh orang yang baru saja kukenal. "Udahlah, gak usah terlalu banyak terima kasih. Lagian, mereka udah pergi, kan? Jadi gak ada yang perlu dikhawatirkan."

Zahra mengangguk pelan, lalu kembali bertanya, "Kenapa kamu bantu aku, Shakila? Aku tahu kamu gak terlalu peduli dengan orang lain."

Aku menoleh padanya, mataku agak tajam, tapi aku tidak bisa menahan senyum kecil yang terukir. "Aku gak peduli dengan orang lain, tapi aku benci lihat orang disiksa begitu aja. Dan, ya... kamu kan satu kelas sama aku. Lagian, gak semua orang layak diperlakukan seperti itu."

Zahra terdiam, lalu akhirnya berkata, "Aku pikir kita bisa jadi teman. Aku gak ingin kamu terus merasa sendirian."

Aku berhenti sejenak, menatapnya, merasa aneh dengan kata-katanya. Teman? Kenapa dia mau berteman dengan seseorang seperti aku? Seumur hidup, aku selalu dikelilingi orang-orang yang menjauhi dan menganggapku aneh. Aku bukan tipe orang yang mudah menjalin hubungan. Tapi ada sesuatu dalam diri Zahra yang membuatku tidak bisa mengabaikan ucapannya begitu saja.

SHAKILA (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang