Percayalah, Aku hanya mampir.

852 41 3
                                    

Deru angin kian bersahutan,  membanting segala macam hal yang ada di alam terbuka.  Bak sebuah melodi yang seirama,  pepohonan bergerak cepat,  hingga membentuk sebuah suara.

Riak air tak ngin berdiam diri,  mencoba menjadi bagian dari konser alami.  Masih di bawah langit malam,  hitam pekat. 

Suasana berkecamuk,  membelah malam yang gelap.  Bisikan-bisikan hati,  bersuara pelan.  Jauh,  di bawah kegelapan malam.

Masih dibawah langit yang hitam,  jendela yang terbuka,  seolah menjadi saksi tatapan ku menuju kejauhan,  membelah malam.

Percayalah,  aku hanya mampir sebentar.  Besok,  aku akan pergi lagi.  Hari ini,  hanyalah sebuah perjalanan panjang,  hingga mampir pada mu hanyalah melepas kelelahan.

Percayalah,  aku hanya mampir sebentar. 
Besok-besok,  aku akan segera pergi,  melepas rindu kembali.

Percayalah,  aku hanya mampir sebentar.  Hingga hari ini,  hanya kembali menjadi besok,  dan aku pergi.

Percayalah,  aku hanya mampir sebentar.  Mengusik ketenangan hidupmu dengan segala macam cara,  mengharapkan mu dengan sebuah kiriman do'a.

Percayalah,  hingga rasa ini kembali pergi..

Butiran berat berjatuhan,  berkejaran dari ujung timur ke barat,  menjadikannya sebuah musik alamiah,  hingga enggan untuk pergi.

Tepat di bawah kegelapan malam, semoga tersampaikan.

                                     💚💚💚
Tidak ada yang merasa tenang,  setelah ujian madrasah telah di laksanakan.  Pasalnya,  masih ada musuh terberat yang menjadi beban pikiran siang-malam.  Membuat malam menjadi hari-hari yang panjang.

Ku tatap bubur yang baru 5 menit ku beli,  memikirkan suatu hal yang memaksaku untuk berhenti.  Hanyalah sebuah adukan,  hingga kecap telah mendominasi warna putih.

"Gak selera Put? " Wulan menegak air minum dari sebuah botol berbahan plastik terang,  dengan tutupnya yang berwarna biru.  Hampir mirip dengan biru kehijauan.

" Gak juga,  malah sebaliknya. " Aku kembali melahapnya,  hingga tak lagi tersisa.  Namun,  apa yang ku pikirkan tak kunjung hilang.

" Kamu tahu?  Kadang kita bersikeras melupakan seseorang,  dan berkata ' aku telah melupakannya' padahal,  itu hanya membohongi diri sendiri.  Nyatanya,  masih saja sempat kepikiran. " ujaran Wulan sambil mengedarkan pandangannya keluar kelas,  ke tempat penghasil suara bising berasal.

Aku geleng-geleng.  Tak tahu harus menjawab apa. Tapi,  lagi-lagi Wulan bertanya.

"Jika kamu berusaha melupakan Kak Randy,  namun masih stalking.  Maka,  kamu orang yang persis dengan apa yang ku katakan. "  Ujarnya dengan senyuman licik berasa menang dariku. 

" Iyaa, siapa bilang juga aku sedang move on. "  Aku tertawa,  hingga berhasil membuat Wulan menghentikan senyuman liciknya.

" Baiklah,  aku tebak lagi.  Jika kamu tak ingin move on,  maka sekarang menjadi jelas,  mengapa akhir-akhir ini kamu pasang wajah yang menyedihkan! ".  Wulan memasang jempolnya,  di depan wajahku. 

Skak.  Dia menang telak.

" Maka aku tidak membenarkan. " Aku menutup wadah streafoam. Mengedarkan mataku padanya,  hingga ku tatap dia dengan tatapan yang menyedihkan.

" Iya,  pada dasarnya,  rasa takut yang ku miliki hanyalah sebuah ilusi.  Untuk apa takut kehilangan?  Bahkan,  saling mengenal saja tidak. "

Akhwatiy (Finish) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang