Sisa percintaan kami semalam masih terlukis di atas seprai merah milik Soonyoung, aku tidak tahu lagi harus apa pagi ini. Tubuhku sakit, dan ponselku berdering. Soonyoung tidak menunjukkan tanda akan bangun, dia tidur seperti mayat.
Mau tidak mau aku bangkit mengambilnya, ah itu dari bos ku. Aku mengangkatnya dan berusaha menjauh dari Soonyoung, namun ia ternyata telah terjaga dan memegangi pinggangku agar tidak kabur.
“Iya, baiklah pak. Nanti saya akan menggantinya. Terima kasih.”
Malas, aku melempar ponsel yang masih tersambung itu. Terlalu malas meladeni Kim Taeyeon yang benar-benar melaporkan kasus tentang jam tangannya.
“Ada masalah?”
Menggeleng, menempatkan kepalaku pada dadanya yang hangat dan terpejam. Jika begini, bebanku hilang rasanya.
“Kim Taeyeon berbuat ulah. Kau ada uang? Ku pinjam membeli jam tangan.”
“Untuknya? Wow romantis sekali Lee.”
Berdecak, Soonyoung menggodaku dan aku malas menanggapi. Jadi kupukul dadanya dengan keras dan beranjak untuk mandi.
Saat kami di ruang makan ia tetap memperhatikanku lekat, seperti buron.
Kemudian aku mengangkat wajahku, “Ada apa kali ini?”
Mungkin dia tahu aku sedang malas dari nada bicaraku.
“Kau tidak ingin membolos?”
Lee Jihoon ini adalah pegawai teladan, tidak pernah terlambat dan selalu pulang tepat waktu. Ini membuatku jauh lebih baik, dan dia memerintahku untuk bolos?
“Aku bertanya, kau hanya perlu menjawab sayang.”
“Ku rasa kau tahu jawabannya, sudahlah. Bisa tidak Kim Taeyeon itu mati saja? Menyusahkan orang sepertiku!”
Soonyoung tergelak berpikir aku ini lucu dan aku hanya diam mengambil kartu atm miliknya dan pergi tanpa berpamitan.
Ugh! Aku benci hari ini!
Jihoon memasuki toko jam dengan harga yang fantastis. Ia melihat sekeliling dan sedikit merasa rendah diri karena melihat banyak orang dengan pakaian yang lebih mahal. Sekelas dengan Soonyoung.
“Telah terjadi pembunuhan di sebuah mobil yang berada di salah satu parkiran apartemen, korban bernama Kim Taeyeon, ditembak mati dengan enam peluru yang bersarang di tubuhnya. Diduga motif pembunuhan...”
‘Aku, tidak salah dengar kan?’
Mata kecilnya membelalak melihat dengan jelas bagaimana televisi besar yang berada di dalam mall menampilkan korban yang sangat mirip dengan ciri Kim Taeyeon yang memang mengganggunya.
Tubuhnya gemetar. Rasa takut menjalarinya hingga menembus tulang.
Ia segera berlari menuju halte bus terdekat. Mengeratkan hoodienya dengan menarik tali di dekat lehernya. Ia sangat takut dan Soonyoung harus tahu ini.
Ia berusaha secepat mungkin karena Soonyoung sedang libur. Tanpa mengetuk pintu ia masuk dengan kasar serta air mata yang leleh di pipinya.
“S-soon, d-dia mati.”
Tubuhnya memeluk erat kekasihnya yang berkutat dengan laptopnya di sofa. Masa bodoh jika ia akan dimarahi karena ia sungguh takut.
“A-aku takut Soon.”
Soonyoung memeluknya, mengusap sambil berbisik berulang bahwa tidak akan terjadi apapun, dan itu sudah takdir.
Well. Takdir karena menyakiti kekasihnya, mungkin?
“Tidak apa-apa. Hei lihat tubuhmu berkeringat, sudah jangan takut aku ada di sini.”
Tidak berhenti di sana, Soonyoung membuat ijin pada atasan Jihoon yang entah bagaimana ceritanya sudah mendapatkan anggukan dari sang bos. Bahkan jika Jihoon yang meminta secara pribadi pun tidak akan diberi.
Aneh.
Tidak beranjak dari tempat tidur, Jihoon terjaga sejak sore. Tahu bahwa Soonyoung tidak berada di sampingnya entah sejak kapan. Berpikir untuk tidak menunggu lama dan menjaga apartemen kekasihnya —meski tidak ada tetangga; ia mengunci pintu depan dengan benar.
Merasa haus, Jihoon membuat segelas coklat panas di malam hari dan menemukan dirinya tertarik menonton tayangan televisi.
Lumayan, ada hiburan.
Soonyoung baru pertama ini pergi malam —seingat Jihoon; karena biasanya dia akan terbangun dengan Soonyoung di sampingnya.
Merasa cukup. Ia berbalik untuk menggapai kamarnya dan menemukan Soonyoung terbaring sambil tersenyum. “Sudah kembali? Aku merindukanmu.”
Alisnya terangkat heran. “Aku rasa aku meninggalkan ponselku Soon, sebentar.”
Ia turun dengan tergesa dan terkejut bahwa posisi keset depan pintu tidak berubah, tidak ada sepatu Soonyoung dan juga pintu yang tidak tersentuh jari Soonyoung.
Ia tidak lupa meski keadaan mengantuk jika ia telah mengunci pintu dengan aman. Mengingat banyak perampok yang bisa saja masuk dengan mudah.
Tapi ia juga yakin bahwa tidak ada Soonyoung di rumah. Ia mencarinya keseluruh ruangan di apartemen dan tidak menemukan tanda kehidupan kekasihnya.
Lalu bagaimana ia bisa masuk?
Meski begitu ia tetap kembali sembari membawa ponselnya.
“Terbangun tadi?”
Jihoon mengangguk, “Ya. Tidak enak perutku, jadi aku minum coklat. Kau mau? Abu buatkan ya?”
“Tidak perlu.” Tangannya ditarik sang dominan kemudian wajahnya tenggelam di dada Soonyoung.
“Aku mengantuk Soon.”
“Tidurlah sayang. Jangan dipaksa untuk tetap terjaga.”
Jihoon mengangguk, dan mencium bau aneh.
Seperti bau darah, sialnya ia terhalang bayangan dari benda sekitar sehingga tidak tahu darimana baunya.
Yang ia tahu, bau itu tercium setelah ia jatuh dalam pelukan Soonyoung malam ini.
Aku tidak ingin ia lepas.
Ia harus bergantung padaku.
Jatuh dalam pelukan cintaku.
Dan tidak akan lepas, sampai kapanpun.
Bahkan ketika aku berkata lepas, itu tak kan bisa.
Karena aku telah menetapkan pilihan untuk takdirmu.
Mati, bersamaku.
![](https://img.wattpad.com/cover/127754852-288-k84655.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] STORM [RANDOM PRIVATE]
Fantasy[SOONHOON!!] Apa kalian takut akan kematian? Apa yang kalian takutkan? Itu akan terjadi pada tiap yang bernyawa. Tidak seharusnya kalian mendewakan kehidupan. Apalagi tanpa cinta, dan kebahagiaan. Pasrah? Tidak. Aku justru memilih mati daripada hidu...