PROLOG

10.2K 249 0
                                    

Tahun 2008

            Mendung…

Awan-awan gelap yang menggelayut manja merengkuh kesombongan langit dan menjadikannya hujan. Langit tak hitam, hanya saja kelabu.

            Itu bedanya. Hati Dhias tak lagi kelabu. Tapi sudah benar-benar hitam. Mutlak! Tak ada sapuan warna terang segaris pun di lubuk hatinya. Terbias dari jendela hati anak itu. Sepasang mata yang tampak putus asa. Menengadah ke langit. Mencari letak keberadaan Tuhannya. Ingin mencari sedikit keadilan atas sepenggal episode yang membuatnya getir. Seakan-akan kehidupannya sudah tamat saat itu juga.

Jangan seberat ini Tuhan…

            Pintanya dalam diam. Seperti dugaannya, kata-kata itu teredam. Lelah dia mengetahui bahwa kata-kata itu hanyalah harapan kosong yang tak mungkin memihaknya.

Mata itu tak henti menatap. Seorang tua-renta yang tertidur lelap di pembaringan. Beliau sedang tersenyum, entah tersenyum karena apa. Bagi Dhias, menatap sang Ayah hanya akan memperparah luka hatinya.

            “Sudahlah….relakan.” kata-kata itu meluncur seiring dengan banyaknya tepukan di bahunya.

Orang-orang berbaju hitam hilir mudik menyiratkan ekspresi muram. Senada dengan langit sore ini. Ah, mudahnya mereka mengatakan itu.

“Relakan…”

Kata-kata itu hanya terucap dari mulut orang yang tidak mengerti perasaannya. Kehilangan satu-satunya orang yang menjadi tumpuan hidupnya! Satu-satunya!

Dan itu benar-benar sangat menyebalkan! Dia begitu marah. Tapi tidak tahu marah pada siapa. Berlama-lama menikmati suasana yang membuat dia tak berdaya apa-apa justru membuat dia semakin jengkel. Sisi liarnya ingin sekali berontak.

            “Kamu ikut Mba Sera aja yah.”

            “Nggak! Aku mau tetep tinggal di sini.”

            Mba Sera tertegun sejenak. Tak berapa lama ia menurunkan kerudungnya ke bahu, lalu bersimpuh di depan Dhias.

            “Sayang… Mba tahu perasaan kamu sekarang. Jangan dikira Mba nggak tahu.” Mba Sera memegang tangan Dhias. “Tapi kamu tidak bisa begini terus…”

            Dhias diam. Benarkah ada yang bisa merasakan seperti apa hatinya sekarang? Apakah Mba Sera juga mengerti, rasanya ditinggal sendirian. Tanpa Ayah, tanpa Ibu. Sungguh sangat mengenaskan.

            “Mba, aku pingin di sini…Ada Bi Mirah. Dhias bisa tinggal berdua sama Bibi.” kata Dhias pelan. Jujur saja ingin sekali dia berteriak. Menyemburkan semua dukanya. Tapi dia merasa enggan, dia memilih menahan semua air mata  hingga tidak akan ada kesempatan bagi tiap tetesnya untuk jatuh.

            “ Nggak mungkin. Kamu itu baru 10 tahun.  Nggak mungkin kamu bisa hidup sendiri. Sekalipun kamu hidup berdua dengan Bi Mirah, Sayang. Lagipula Ayah kamu sudah menitipkan kamu pada Mba.”

            Dhias menghela napas berat. Ditatapnya kabut kelam sang awan. Tapi kemudian dia menjatuhkan pandangannya ke sosok sang Ayah. Dia menuruti desakan hatinya saja. Perlahan, dia melepaskan pegangan Mba Sera, lalu melangkah pelan ke pembaringan sang Ayah. Pak Darmo, tetangga mereka baru saja akan menyingkapkan kain Ayahnya hingga menutupi wajah sebelum Dhias menahannya.

            Dhias cuma diam. Lama sekali sampai dia akhirnya bisa bicara. “Ayah pasti izinin Dhias tingggal di sini, kan Yah? Ayah kan yang ngajarin Dhias kalau laki-laki itu harus kuat. Nggak cengeng. “

LOVINESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang