Waktu 4

2.1K 140 1
                                    

           

            Dhias tak mengulur waktu lagi untuk segera pindah ke rumah orangtuanya dulu. Sementara Mas Egi mengurus pendaftarannya, dia malah sibuk membersihkan rumah orang tuanya dibantu teman-temannya.

            Fabian cs dengan senang hati membantu Dhias. Itu adalah darma bakti mereka karena Dhias sudah membantu mereka selama ini dalam menghadapi PR dan ulangan serta ujian-ujian. Ah, bilang tempat nyontek aja belibet banget. Jadi begitulah.

            “Aku ikut juga, ya?!” Dilla semangat. Semua mengangguk setuju-setuju saja. Saat ini mereka memang butuh banyak tenaga. Rumah itu memang tidak terlalu besar juga. Tapi kalau dibilang kecil ya tidak juga. Terlantar selama empat tahun, membuat rumah itu mirip rumah hantu. Rayap di sana sini, debu, lantai yang kotor….

            Mereka bagi tugas. Sementara teman-temannya membersihkan ruang tamu dan ruang keluarga, Dhias membersihkan kamar orang tuanya.

            “Aku bersihin kamar kamu ya.” Kata Dilla. Dhias iyakan saja.

            Debu langsung beterbangan kesana kemari saat pintu kamar orang tuanya terbuka. Dia naikkan masker agar menutupi mulut dan hidungnya. Baru dia bersihkan.

            Pertama, dia membersihkan langit-langit yang penuh rayap. Setelah itu Dhias membersihkan ranjangnya. Baru dia angkat kasur itu, Dhias menemukan sesuatu. Sebuah surat di atasnya.

            Dhias tertegun sejenak. Disambarnya surat bersampul biru itu cepat. Dia segera membuka lipatannya lalu dibacanya tergesa.

           

Aku tahu aku bodoh. Ini sepenuhnya kesalahanku. Bodoh, bodoh, bodoh.

            Andai aku tidak keras kepala, aku past bisa lebih lama lagi bersama kamu.

            Makanya aku buat itu. Aku percaya, waktu adalah kunci dari segalanya. Dan aku ingin menemukan celah waktu agar aku bisa memperbaiki kesalahanku. Mungkin perlu mesin waktu agar kesalahanku terhapus….

            Dhias tertegun. Kerutan di dahinya makin lama mengendur. “Sejak kapan Ayah hobi curhat begini?” batinnya. Ayahnya itu jauh dari tipe-tipe yang suka mencurahkan perasaan di atas kertas. Dan untuk ini? Dhias mengangkat kertas itu. Dia agak tidak percaya kalau itu Ayahnya yang menulis.

            Dhias melipat kembali kertas itu dan menjejalkannya ke saku celananya. Lalu dia kembali membereskan kamar Ayahnya lagi. Setelah kasurnya rapi, dia beralih ke buffet pendek yang berserakan barang-barang entah apa. Dia membuka empat laci di bawahnya berurutan. Sekedar melihat seberapa kotornya buffet itu. Dan sebenarnya rapi, kalau rayap dan sarang laba-laba tidak dihitung.

            Dengan cepat, dia mengumpulkan semua barang dari buffet ke lantai. Biar berserakan sekalian. Setelah itu dia mengelap buffet warna putih itu hingga debunya hilang. Baru setelah itu, dia mengelap barang-barang tadi agar bisa tertata rapi. Dari sana, benak Dhias makin melayang. Banyak sekali barang-barang orangtuanya yang baru pernah ia lihat. Seperti satu frame ukuran sedang yang berisi foto pernikahan kedua orangtuanya…

            Dhias melihat, betapa jelasnya kedewasaan usia saat mereka bersanding. Bukan dewasa sikap. Tapi dalam arti sudah matang. Nyaris umur 40 tahunan. Dalam hati Dhias benar-benar heran pada orang tuanya. Kenapa harus menikah pada usia begitu tuanya?

            Sudut mata Dhias beralih ke sosok Ibunya. Masih cantik dengan balutan kebaya putih berbalut jilbabnya. Dia mengusap foto itu pelan. Ibunya terlihat rapuh. Melahirkan di usia 40 tahunan, Hhh! Dhias menghela napas lelah. Kemungkinan untuk hidup memang tak banyak. Imbasnya, bahkan Dhias belum pernah melihat Ibunya sama sekali. Karena sehari setelah dia lahir, Ibunya menghembuskan napas terakhir. Dia belum pernah merasakan sentuhan kelembuatan seorang ibu. Karena setelah Ibunya berpulang, Ayahnya sama sekali tak tertarik untuk menikah lagi.

LOVINESHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang