D&K 2

30 4 0
                                    

Sejak mataku dan manik indahnya bertemu, aku tak pernah lagi berbicara dengannya, hanya sesekali ia memancarkan kembali senyumannya. Ya, senyuman manis yang entah apa maknanya. Keadaanku baik, lingkunganku baik, orang orang yang kutemui baik, termasuk Awan. Kami berteman baik, ia masih sama, masih menganggapku Milea-nya.

Aku sudah mulai berbaur dikelas ini. Ternyata Jakarta tak sekejam bayanganku, walaupun masih belum bisa mengalahkan istimewanya Yogya. Aku lahir dikota istimewa itu, menghabiskan 15 tahun berhargaku disana, hingga akhirnya ayah harus pindah ke Ibu Kota. Aku datang sebagai Lia, gadis kecil yang memiliki dunianya sendiri, tak ingin begitu mengenal dan memahami keadaan disekitarnya, sebab manusia terkadang tak pernah benar benar peduli. Dan kini aku masih sama, hanya saja, aku lahir kembali menjadi...

"Azkha!"
Nama itu, itu namaku, kan? Iyalah, kok masih nanya. Jadi, aku lahir kembali menjadiii..
"Azkhaaaaa!!"
"Halooo Azkhaaa!! Halo halo halo!!! Melamun yaa? Melamuni apa?"
Deg. Aku dipanggil? Oleh lelaki itu? Tentu saja olehnya, siapa lagi yang memanggilku begitu?Menoleh tidak ya? Duh, Lia, hm Azkha, ada apa sih? Diakan hanya memanggil, ingin berteman. Keterlaluan sekali hatimu itu, masa hanya dipanggil sudah tak karuan.

"AZK..."
"Iya Dhiza, ada apa?" Aku akhirnya menoleh, menatapnya yang kini berada didepanku. Mata kami bertemu, lagi. Ia tersenyum, selalu begitu. Sebenarnya yang bermasalah ini, hatiku atau dia sih? Aneh!
"Aku tidak sedang memanggilmu, ya!" Kulanjuti bicaraku, karna saat pertama kali bertemu, ia yang kurasa menyapa, tetapi malah menyalahkan aku. Kan tidak enak nanti, kalau ada yang bertanya perihal bagaimana pertama kali bertemu dengan kekasih, masa harus diceritakan bahwa aku yang menyapa terlebih dahulu. LHO, LIA! KEKASIH APA MAKSUDMU?!!!! Aku benar benar sudah gila, hanya karna lelaki itu.

"Yang bilang Azkha memanggilku, siapa?" Sautnya, membantah ucapanku.
"Yakan biasanya begitu"
"Biasanya? Memang kita pernah berbicara sebelummya? Setauku tidak. Azkha hanya tersenyum saat melihatku, saat aku ingin menyapa, Azkha tak menoleh lagi"
"Memangnya begitu?" Aku menaikkan sebelah alisku.
"Begitu bagaimana?" Dhiza melakukan hal yang sama; menaikkan sebelah alisnya.
"Sudahlah, tidak jelas!"
"Hahaha Ternyata selain senyummu, amarah mu juga manis, ya."
"Manis apanya! Kan bukan gula"
"Iya, sayangnya bukan gula. Kalau gula pasti sudah kumakan"
"Kenapa?"
"Aku suka yang manis"

Berarti Dhiza menyukaiku? Akukan, dibilang manis hehe..

"Sudahlah, tidak jelas!" Kuulangi sekali lagi ucapanku yang tadi, kehabisan kata kata dibuatnya. Aku pun tak ingin lebih lama berbincang, jantungku sudah cukup lelah untuk berdetak secepat ini.
Ia tak lagi berucap, hanya tersenyum dan meninggalkan aku. Dhiza itu aneh, tetapi menawan. Aku tak pernah tahu setiap makna pada perbuatannya, tak pernah tahu arti dari ucapannya. Makhluk aneh itu, sudah ada yang mengisi hatinya belum, ya? Ah, Azkha! Kau benar benar sudah gila.

"Lia!" Tibatiba Awan datang membuyarkan lamunanku. "Ngapain? Senyam senyum gak jelas, sihat antum?"
"Ih Awan, apaan sih!"
"Ya makanya Miliyaa, jangan melamun sambil senyum begituuuu"
"Memangnya kenapa?"
"Kan jadinya kamu manis, gemay aku tuhh unchhh" katanya dengan suara yang sengaja di-imut-imut-kan.
Manis? Huh. Kata itu lagi, memangnya semanis apasih, senyumku? Jadi tidak sabar pulang untuk bercermin, hihihi..

"Awan apasih, lebay. Gak cocok seperti itu"
"Emang kenapa? Kan kiyutt gue kalo gini"
"Hah? Cute dari mana?!! Badan sebesar itu, yang ada malah aneh!"
"Hehe, aneh ya? Tapi lo sukakan?"
"Iyain!" Ketusku.
"Jutek banget sih, neng.. Lagian, Lia kenapa senyum senyum begitu? Mikirin apa?"
"Tidak sedang memikirkan apa pun"
"Serius? Cerita aja sama gue, mana? Yang mana yang lo suka?"
Aku tersentak mendengar ucapan Awan.

Kok bisa tahu sih?

"Tidak sedang menyukai siapapun"
"Ih, cepetan! Kalo orang udah melamun sambil senyum gajelas gitu, artinya tu orang lagi ngerasain jatuh cinta"
"Memang benar begitu?"

Masa sih? Apa aku benar benar sedang jatuh cinta?

"Iya, jadi biar gue bantu. Semuuuaa cowo dikelas ini gue tau, soalnya rata rata sekolah disini juga dulunya"
"SMP Cendana?"
"Yaiyalah, SMP sini ya Cendana. Ah, lo gimana sih? Udah cepetan yang manaa? Biar gue deketin sama siapapun hehehe" Awan terus mendesakku untuk berbicara, tibatiba Dhiza datang lagi menghampiriku dan juga Awan, kebetulan sekali. Aku menatapnya dan tersenyum. Dhiza pun demikian.

"Tapi kalo sama yang ini nih," kata Awan sambil merangkul Dhiza pada sisi kirinya. "gue gabisa bantu. Udah sold out soalnya, ya nggak, bro?"

Sudah sold out? Maksudnya? Dhiza.. sudah.. apa benar? Mengapa ia tak bersuara? Mengapa lelaki itu hanya tersenyum menatapku tanpa mengucapkan apapun?

"Iya ya?" Spontan bibirku berucap begitu. Azkha! Maksud pertanyaanmu apa?!
"Iya Mileaaa! Masa gatau sih? Udah berapa lama lo hidup didunia?"
Awan apa apaan sih, menjengkelkan! Tidak lucu sama sekali! Aku hanya tersenyum, terpaksa tersenyum lebih tepatnya. Dan lelaki itu masih diam tanpa jawaban 'Awan bohong, Azkha'

"Bahkan udah lama, dari masanya gue belum tau tu yang namanya cewe, eh dia udah duluan" ucap Awan lagi dengan posisi yang sama; merangkul lelaki yang masih tak ingin bersuara itu.

Mengapa aku tidak mengetahui hal ini? Bodoh, kau bodoh Azkha. Ah, tidak. Jangan ucapkan nama itu lagi. Dasar, Lia. Kau adalah wanita yang bodoh sekali, bisa bisanya kau jatuh hati pada seseorang secepat itu tanpa mengetahui segala tentangnya.
Tetapi, apa Dhiza bersalah dalam hal ini?

"Kenapa diam saja?" Tanyaku lagi, duh sepertinya bibirku ini memang harus dikunci rapat-rapat! Aku bahkan tak tahu makna dari pertanyaanku barusan.
"Lantas harus bagaimana?" Katanya, tanpa ekspresi.

Harus bagaimana? Berarti benar adanya? Huh, Jangan pernah tersenyum lagi padaku!

Rasanya aku ingin sekali berlari saat ini juga, menjauhi diri dari keramaian. Menjauhi Awan, menjauhi Dhiza. Dan merutuki kebodohanku serta melampiaskan kebencianku pada keheningan yang tercipta. Ah, sudahlah.

Ternyata terjatuh masih sama sakitnya, terlebih lagi ketika jatuh cinta...

Jika sudah begini, siapa lagi yang pantas untuk disalahkan?
***

Jakarta, seminggu setelah aku jatuh cinta.

Ku harap, kau mengingatnya.
Hari dimana mata kita bertemu. Ya, ku harap kau mengingatnya.
Sebab sejak saat itu, hatiku terpaku padamu. Sungguh.

Mencintai dalam waktu sesingkat itu bukanlah keahlianku, tetapi entah mengapa, aku melakukannya padamu. Senyuman hangat itu terus saja membayangi kepalaku, membuat jantungku berdetak lebih cepat dari pada biasanya.

Tapi, kau tahu apa yang membuat jantungku bergerak jauh lebih cepat dari mengingat tatapan hangat dan senyum memikatmu itu? Ya, saat dimana aku mengetahui tentangnya.

Tentang dia, seseorang yang ternyata lebih dulu mengenalmu..

Tentang dia, seseorang yang telah sekian tahun menemani hari harimu..

Tentang dia, seseorang yang selalu kau tatap lekat dengan manik coklat indahmu..

Tentang dia, seseorang yang berhasil membuatmu melepaskan tawa bahagiamu..

Tentang dia, seseorang yang selalu ingin kau lindungi sekuat tenagamu..

Tentang dia, seseorang yang lebih dulu memilikimu.. jauh, jauh sebelum aku.

Ku akui. Aku, rapuh...

***
-aw

Dhiza & KerinduanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang