D&K 3

20 2 0
                                    

Jakarta, memasuki bulan Juli.

Aku sudah berdamai dengan diriku. Sudah pula berdamai dengan Dhiza, dan keadaan. Tak ada yang perlu disalahkan, ataupun dihakimi. Tak ada seorang pun yang bertindak mengkhianati, hanya saja, aku yang memiliki kesalahan dalam mencintai.

Dhiza tentu tak salah, sebab tak pernah ia mengucapkan kata cinta, tak pernah pula memberikan perlakuan sempurna. Ia hanya menatap serta memberikan senyuman tulusnya. Senyuman yang akan ia sebarkan kepada siapapun yang ia temui. Tak hanya kepadaku, tak hanya untukku.

Saat itu, hari dimana Awan berkata bahwa Dhiza sudah memiliki kekasih, aku membatalkan niatku untuk berlari sejauh mungkin. Sebab percuma karna aku tak pernah tahu arah dan tujuanku.

Aku juga tak menangis saat itu, sebab, ya tidak ingin saja. Untuk apa menangisi lelaki yang belum lama ku kenali. Aku hanya diam, tersenyum setelah mendengar perkataan Awan. Dhiza pun hening, sama hal nya dengan Awan. Entah hanya perasaanku ataukah memang suasana berubah menjadi canggung. Entahlah, rasanya malas sekali untuk peduli.

Perihal wanitanya, aku juga sudah mengetahuinya. Tentu bukan dari Dhiza, dan bukan pula dari Awan. Aku menanyakannya kepada salah satu teman dekatku di kelas, Dyana.

"Dyn, kamu juga alumni SMP Cendana,kan?" Tanyaku kala itu.
"Iya, kenapa?"
"Cuma bertanya. Berarti kamu sudah banyak mengenal orang dikelas ini, dong?"
Dyna mengangguk. "Bukan cuma dikelas, satu sekolah juga gue tau nih yang alumni. Soalnya banyak banget yang ngelanjutin ke SMA Cendana. Hahah"
"Hoo, berarti sudah tau juga sama Awan"
"Iya dulu sekelas, tiga tahun malah"
"Kalau..." aku tak berani melanjutkan pertanyaanku. Rasanya aneh saja, bertanya tentang Dhiza dengan orang lain. Memangnya itu pantas?
"Kalau siapa?"
"Hm, Dhiza?"
"Ha? Dhiza?! Hahahaha"
"Lho, kok malah tertawa Dyn?"
"Lo kemana aja si Li, ya kenal. Orang cowo gue. Dari SMP lho, Li. Hahah"

Ya, begitulah kirakira aku mengetahuinya. Mungkin lebih tepatnya aku tahu sebelum sempat menanyakannya. Setelah itu Dyana banyak bercerita, tetapi ceritanya tak menarik untuk kudengar. Semua cerita nya tak lepas perihal dirinya dan Dhiza. Sungguh aku benar benar tak tertarik untuk mendengarkannya.

Tak pernah kusangka bahwa wanitanya adalah Dyana. Ingin sekali aku menulis bahwa aku sedang dikhianati, tetapi nyatanya tak begitu. Akulah yang tak pernah peduli. Dan setahuku, mereka juga tak pernah terlihat seperti sepasang kekasih. Tetapi, mau bagaimana lagi? Maka dari itu, kuputuskan untuk berdamai dengan diriku sendiri.

Aku juga tak yakin apakah perasaan ini pantas disebut cinta, sebab setahuku mencintai tak semudah itu. Ya sudah, mulai hari ini, anggap saja perasaan itu sebagai angin lalu.

***

Kriinggg... kringggg...
"MashaAllah merdunya suara bel pada sore hari iniiiii" ujar salah seorang teman kelasku, Rakha. Yang mengundang beberapa gelak tawa.

Bel sudah berbunyi, menandakan bahwa pelajaran hari ini harus diakhiri, aku pun meninggalkan kelas dan seperti biasa, aku harus pulang berjalan kaki, biasanya bersama Rachel, sahabatku. Tetapi tadi dia bilang harus mengerjakan tugas kelompok terlebih dahulu.

Ohiya, aku mengenal Rachel sejak kecil, ia juga dari Kota istimewa. kami selalu masuk ke sekolah yang sama hingga akhirnya ia lebih dulu meninggalkan Yogya dan pindah ke Ibu Kota. Aku dan Rachel tidak ditakdirkan untuk mendapatkan kelas yang sama. Namun tentu saja hal itu tak membuat persabahatanku dengan nya berhenti, sekarangkan jaman sudah canggih, jadi ya, hubunganku masih dan kuharap tetap baik-baik saja dengannya.

Aku menuju gerbang sekolah sambil memikirkan buku apalagi yang harus kubaca, dan drama apalagi yang harusku tonton untuk libur minggu ini. Sepertinya semua drama sudahku habiskan, dan semua buku sudahku tamatkan. Lalu hari ini hingga menunggu senin, aku harus apa ya?

"Pulang sendiri hari ini?" Tibatiba aku mendengar suara yang tak asing lagi ditelingaku, langkahku terhenti.
"Iya" aku menoleh
"Biasanya tidak sendiri"
"Tapi hari ini sendiri"
"Kenapa?"
"Ingin saja"
"Bohong."
"Tau dari mana?" Tanyaku dengan menaikkan sebelah alisku, kebiasaan.

"Ya tau saja. Tak ada orang yang benar benar ingin sendiri. Bahkan saat bersedih, seseorang itupun masih membutuhkan bahu untuk bersandar, sekadar meluapkan tangisnya walau tanpa kata"
"Suka membaca buku puisi ya?"
"Tau dari mana?" Tanyanya pula dengan melakukan hal yang sama denganku sebelumnya. Aku tersenyum, entah mengapa. Unik saja. "Azkha tau dari mana?" Tanyanya sekali lagi, sebab belum ada jawaban dariku.

"Tidak tau. Cuma bertanya."
"Mengapa menanyakan hal yang sudah diketahui?"
"Aku tidak tahu, Dhiza. Maka dari itu aku bertanya, sebab kamu terlihat menyukai beberapa buku semacam itu"
"Karena bahasaku?"
"Sepertinya." Kataku sambil mengangkat bahu "Dhiza bukan dari Jakarta ya?"
"Soktau"
"Aku kan bertanya"
"Kalau tidak tau jangan bertanya"
"Lalu?"
"Ya cari saja jawabannya"
"Mencari jawaban kan harus bertanya."
"Tidak harus selalu bertanya. Bisa membaca, bisa juga meneliti. Berbicara dengan sedikit formal bukan menandakan aku berasal dari kota istimewa sepertimu"
"Kok tau?"
"Apa?"
"Aku dari Jogja"
"Kalau itu kan, kamu sendiri yang bilang"
"Hah?" Kataku mencoba mengingat-ingat lagi kapan aku berbicara begitu.
"Namaku Mychellia Azkhara, dari Jogjakarta. Senang bertemu kalian semua" ia mencoba meniru suaraku ketika pertama kali perkenalan didepan kelas. Aku tergelak, walau tiruannya tak serupa sama sekali.

Tunggu, berarti? Waktu itu dia sudah tahu namaku?

"Aku hanya ingin bertanya namamu sekali lagi saja, mana tahu pendengaranku bermasalah"
"SUDAH TAU MENGAPA BERTANYA?!"
"Nah gitu dong, ngegass!!"
Kami pun tertawa, sederhana sekali. Dan tawanya... indah. Duh Lia! Ingat dia itu siapa!

"Tidak ada kegiatan ya, weekend kali ini?"
"Hm, mungkin"
"Azkha, jawaban itu hanya ada dua, iya dan tidak"
"Iya"
"Oooh"
Menyebalkan! Untuk apa bertanya ada kegiatan atau tidak jika akhirnya hanya diberi tanggapan begitu? Bukannya mengajak untuk melakukan sesuatu bersama, justru ia malah diam saja. Astaga, Liaa sadarlah!

"Dyana, mana?" Tanyaku, berusaha menyadarkan diri sendiri.
"Tidak tau"
"Kok tidak tau?"
"Karna belum kucari tau. Mungkin sudah pulang, mungkin masih belajar. Ya jadi, tidak tau"
"Sedang dalam masalah ya?"
"Selalu dalam masalah, sepertinya"

Setelah itu hening. Dhiza tak lagi bersuara, aku juga diam, tak tahu harus bagaimana dan tak ingin menanyakan hal itu lebih lanjut. Bukan hak ku, dan bukan urusanku. Tetapi rasanya, badai di hatiku menjadi sedikit tenang. Lagi dan lagi, ada apa denganku?

"Azkha mau pulang bersamaku?"
"Aa..ap..pa?"
"Puuuuu" katanya dihadapanku,
"Lang" sambungku..
"Iya, pulang. Mau tidak?"
Dhiza! Kau gila ya? Mengajakku pulang bersamamu sedangkan kau tak tahu keberadaan Dyana dimana. Lalu aku harus bagaimana? Menerima tawarannya, atauu?? Azkha, hm ya, Azkha sajalah. sepertinya aku terbiasa dengan nama ini.

Apa kau yang akan mengkhianati temanmu sendiri?
Tidak, tentu saja tidak.

"Azkha?"
"I..iya?"
"Sepertinya jika ingin berbicara denganmu, aku harus mengulanginya berulang kali"
"Ha?"
"Tuh kan, kamu aneh"

Aku? Kamu yang aneh!

"Jadi, Azkha mau tidak pulang bersama Dhiza? Hm?" Aku masih diam saat ini.
"Jangan jawab 'HA' lagi atau kutinggali disini. Jawab iya, atau mungkin tidak"
Hening, masih sangat hening. Aku belum bisa memutuskan. Azkha, tenanglah! Mengajakmu pulang bukan berarti ia menyukai dirimu, bukan? Sadarlah Azkhara!

Sekadar pulang bersama saja juga tidak akan menjadi masalah..

"Hm.. kalau begitu, baiklah. Akuu..."

***

Dhiza & KerinduanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang