D&K 5

13 3 0
                                    

Setelah gagal untuk menonton pertunjukan sirkus bersama, Dhiza memutuskan pergi ke toko buku untuk membeli dan membaca beberapa buku disana. Aku ikut bersamanya, walau tadi ia tak mengiyakan, atau pun menolak. Anggap saja senyumnya sebagai persetujuan.

Aku masih sibuk memilih buku mana yang akanku baca, sedangkan Dhiza sudah menemukan pilihannya. Ia mengambil salah satu buku tentang sastra, mungkin berisi tentang beberapa kumpulan puisi atau bisa jadi beberapa cerita pendek.

"Selain menyukai sastra, Dhiza suka apa lagi?"
Ia menutup buku ditangannya setelah mendengar pertanyaanku.

"Menyukai.."
"Oh biar kucari tahu," sanggahku mengingat bahwa dirinya 'tak suka' diberi pertanyaan. "Dhiza suka membaca tetapi bukan novel tentang cinta. Dhiza suka puisi, Dhiza suka buku berbau sejarah, Dhiza juga menyukai komik, Lalu... hm, apalagi yaa"
"Aku juga menyukaiii"
"Ah iya, Miiko! Dhiza juga harus membacanya! Itu salah satu komik favorit ku,lho!"
"Miiko?" Tanyanya singkat, aku tak menjawab. Kuajak ia menuju rak buku yang berisi susunan komik.
"Nih.." kataku sambil menyodorkan komik Hai Miiko dihadapannya. Ia tak memberi komentar, hanya melihat buku itu sekilas dan tersenyum.

"Azkha pasti sudah mempunyai semua serinya"
"Iya, sudah punya semuanya. Saking sukanya, aku bahkan tidak pernah bosan untuk membaca komik ini berulang kali"
"Nanti kalau seri barunya keluar, akan kubeli"
"Untukku?" Kataku bersemangat dengan mata berbinar,
"Untukku." Katanya.

Oh iya Dhiza, Baiklah...

***

Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama disana, aku mengajak Dhiza pulang, ia tampak lelah dan begitu memaksakan diri untuk menyantap beberapa buku ditempat itu. Kamipun segera meninggalkan toko buku tersebut. Namun disaat aku dan Dhiza akan menuju ke halte, ia menghentikan langkahnya. Aku menoleh,

"Azkha mau makan?"
Aku menggelengkan kepalaku,
"Yakin?"
"Hayuk makan jika Dhiza ingin. Dimana?"
Ia tertawa mendengar ucapanku.
"Dimana?" Tanyaku sekali lagi.

"Mau makan bakso kesukaanmu"
"Bakso kesukaanku?" Tanyaku yang tak mengerti maksudnya.
"Iya, yuk!"
Aku yang bingung hanya diam mengikuti langkahnya..

***

Ternyata Dhiza membawaku kesebuah tempat yang tak jauh dari rumahku. 'Bakso Mang Uya' namanya, dan benar sekali, ini salah satu tempat makan kesukaanku. Entah bagaimana caranya ia mengetahui hal ini, tidak mungkinkan Rachel lagi? Tidak penting sekali menanyakan hal tentangku kepada orang lain. Jika hanya meminta nomor telepon, mungkin masih wajar.

"Ada yang ingin ditanyakan ya?" Tanya Dhiza yang menyadarkan lamunanku,
"Kamu pasti tau persis yang ingin kutanyakan"
"Tidak perlu dipikirkan" selepas itu ia tersenyum, mungkin kalian akan bosan mendengar ia selalu tersenyum. Tetapi ya memang begitu adanya.

Sampai makanan datang, kami tak banyak berbicara, bahkan tak ada kata yang terdengar. Ia makan dengan tenang tak bersuara, begitupun aku, sebab tak tahu harus bagaimana.

Sesekali kulihat ia menyantap porsinya dengan lahap. Kasihan, pasti ia sangat lapar, ia kan mengajakku pergi tak lama setelah pulang sekolah, mana sempat untuk makan terlebih dahulu. Belum lagi ditoko buku kami menghabiskan waktu yang cukup lama.

"Mau lagi?" Kataku sambil memberikan bakso yang tak habis ku santap, karna memang benar aku sedang tidak berselera. Aku hanya ingin menikmati waktu bersama Dhiza saja, eh, yabegitulah kira-kira. Kalian pasti mengerti..
Tak kusangka Dhiza mengiyakan, dan ikut menyantap bakso yang ada dimangkuk ku. Menggemaskan sekali, untuk semua perbuatannya.

***

Saat semua sudah habis, Dhiza mengantarku kerumah dengan berjalan kaki karena memang tempat itu sangat dekat dengan rumahku. Diperjalanan menuju rumah, Dhiza masih bungkam, seperti sedang memikirkan sesuatu. Ia terlihat tak fokus, mungkin ia juga tak sadar bahwa sekarang kami sudah tiba didepan rumahku. Apa ada yang salah ya?

"Makasih ya Dhiza"
"Eh?"
"Terimakasih"
ia melihat sekelilingnya, sepertinya baru sadar bahwa sekarang kami sudah ada didepan rumahku.
"Oh," ia mengangguk,
"Dhiza memikirkan apa?"
"Tidak sedang memikirkan apapun" ia membuang pandangannya. Wajahnya terlihat tak tenang. Namun aku diam, tak berniat untuk membantah. Kemudian ia menatapku, "Azkha tau aku berbohong?"
"Tak apa bila tak ingin diucapkan. Hanya, aku minta maaf bila itu karena diriku"
"Tidak"
"Tidak dimaafkan? Atau tidak karena aku?"
"Tidak dua-duanya"
"Dhiza tak mau memaafkanku?"
"Sebab kesalahannya tidak terletak dikamu, aku pamit, terimakasih untuk hari ini" Dhiza kemudian berlalu tanpa menoleh.

Dasar! Katanya, bukan dikarenakan aku. Tetapi mengapa pamitnya terasa begitu mencekam? Dhiza sedang memikirkan apa ya? Apa ini tentang...
Astaga, Dyana? Apa ia merasa bersalah pada kasihnya untuk hari ini? Apa sebelumnya Dhiza sudah mendapat izin dari Dyana? Azkha, mengapa kau bisa melupakan hal sepenting itu?!!

***

Sekarang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, dan aku masih belum bisa menuju ke alam mimpiku, rasa kantuk pun enggan menggangguku malam ini. Untung saja besok masih libur, jadi tidak ada beban untuk bangun dipagi hari.

Aku masih memikirkan tentang Dhiza, penyebab yang membuatnya bungkam masih menjadi misteri dikepalaku. Apa sebelum makan aku salah berbicara? Apa ia tersinggung karna kuberikan porsi makanku? Apa ia kekenyangan sehingga tak ingin berbicara? Apa ia... memikirkan kasihnya?

Yap! Pasti itu jawaban yang paling tepat! Pasti Dhiza merasa mengkhianati Dyana sebab telah pergi bersamaku, yakan? Menurutmu? AH SUDAHLAH! Ini membuatku merasa sangat bersalah padanya, bahkan Dyana.

Apa aku menghubungi Dyana saja ya?

Tetapi harus mulai dari mana? Masa aku harus berkata "Dyn, tadi aku jalan bareng sama Dhiza, aku dan dia hanya pergi sekadar untuk makan bakso dan membaca buku bersama, hanya itu. Jangan salah paham"
Atau mungkin,
"Dyn, jangan salahkan Dhiza, aku yang ingin ikut ke toko buku bersamanya"
Ah yang benar saja, itu terkesan seperti sedang membela Dhiza. Lalu Azkha harus bagaimana?

Hei! Kalian jangan diam saja, cepat bantu aku berfikir!

Drrttt...

"Astaghfirullah!" Aku terkejut bukan main sebab handphoneku tiba-tiba menyala,
"Siapa yang menelfon pukul 2 begini?" Tanyaku pada diri sendiri yang masih mengabaikan panggilan itu.

Drrttt...

"Duh, siapa sih?" Aku masih berdiam diri dikasur, malas sekali rasanya harus bergerak menuju meja riasku.
Drrtt...
Oke, baiklah.

081212121818 is calling...

Deg. Dhiza? Ini nomornya Dhizakan? Iyakan? Ah, aku takmau menjawab panggilan itu, aku harus menunggu hingga panggilannya berakhir.

Ting... Sebuah pesan!

081212121818: jangan menyalahkan dirimu sendiri, tidurlah..

DUH GUSTIII, OPO SING KUDU AKU LAKONI?

***

Dhiza & KerinduanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang