~01~

25.4K 2.1K 226
                                    

Mereka bilang, dia sempurna.

Memiliki paras wajah yang tampan. Tubuh tinggi yang atletis, serta otak cerdas yang disukai para guru dan dosen.

Di depan umum, ia tak banyak bicara. Ia tak banyak menuntut. Tutur katanya sopan di hadapan orang yang lebih tua. Kontrol dirinya kuat. Dia tak pernah bermasalah. Tak ingin mencari masalah lebih tepatnya. Selalu mematuhi apa yang Papanya katakan.

Dia adalah figur sempurna seorang anak, bagi orang tua di luar sana.

Sempurna.

Tapi, kata itu akan hilang begitu kalian mengetahui rahasianya.

Perasaan yang selalu ia sembunyikan di sudut terdalam hatinya. Yang selalu ia coba untuk enyahkan, namun tak bisa. Dia tak mampu. Terlalu besar.

"..ngh.."

Pergerakan yang berada di dalam pelukannya itu, membuatnya sadar dari lamunan.

Suara detikan jam, terdengar besar di ruangan yang hening itu. Waktu telah menunjukkan dini hari, namun dia tak merasa mengantuk sama sekali.

Pelukan di tubuhnya mengerat. Dia menjadi guling dadakan malam ini. Lampu yang padam, menjadi alasan keberadaan sosok mungil di ranjangnya sekarang. Syukurnya, sosok ini telah tertidur pulas saat listrik kembali menyala beberapa waktu lalu.

Tangannya yang besar, menyentuh mahkota hitam itu. Lalu, mengelus helaian tersebut dengan lembut. Biarpun, hanya bermodalkan cahaya remang-remang dari lampu tidur di meja nakas yang berada di sampingnya, dia tahu benar seperti apa sosok dipelukannya ini.

Dia sudah hafal di luar kepala. Ciri maupun sifatnya. Di seluruh dunia, dia lah orang yang paling mengenal sosok ini.

Malaikat kecilnya yang manis.

Sosok yang begitu putih, hingga menggoda untuk dinodai.

Yang paling ia cintai di seluruh dunia, dengan hati dan akal sehatnya. Bahkan, nyawa pun ia sanggup untuk persembahkan.

Sosok yang begitu ia puja.

"Gian.."

Adiknya sendiri.

'Buah' terlarang yang muncul dikehidupannya.

*****

"Bang Devan, pagi.."

Ah, pagi ini pun, adiknya tetap terlihat manis. Biarpun belum mandi, dan rambutnya masih berantakan karena mencuat kesana kemari. Itu malah membuatnya tampak semakin imut.

"Loh, kenapa belum siap-siap ke sekolah?"

Tubuh kecil itu duduk di kursi makan. Wajahnya membuat raut merengut yang menggemaskan, "Adek belum ngerjain pr Matematika minat. Susah! Ngga mau sekolah!"

Manja. Egois.

Tapi, dia tidak melakukan apa-apa. Devan tidak melakukan apapun. Hanya mengelus helaian rambut itu, dan memberikannya sarapan. Walaupun dia tau, perbuatannya ini hanya akan membuat Adiknya itu bertingkah semakin seenaknya.

"Abang pulang jam berapa?" Mata hitam yang besar itu, adalah sumber kelemahannya. Devan sanggup mematuhi apapun yang ia katakan, hanya karena mata itu.

"Mungkin jam setengah sebelas. Kenapa?"

Adiknya tersenyum lebar. Begitu mempesona. Sangat menawan.

"Makan siang di luar yuk!"

"Dek, jangan meras Abang dong. Tanggal tua, nih! Makan di luar sama kamu, ditanggal segini tuh bencana."

Raut manis itu kembali merengut. Pipinya menggembung. Membuat Devan tak kuasa menahan kekehan kecil yang keluar dari bibirnya. Lalu, beranjak mendekati tubuh kecil itu, dan memeluknya erat.

"Ah, imut banget sih, Adeknya Abang," gumamnya sambil memeluk gemas. Tapi, hatinya tergores pelan karena ucapannya sendiri. Abang dan Adik. Mereka adalah saudara. Tak akan pernah mungkin bisa bersama dalam hubungan yang lebih dalam.

Biarpun dia tahu, mereka bukanlah saudara kandung. Tetap saja, itu adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Andai saja, Papanya tidak mengangkat Gian sebagai anaknya. Andaikan saja, mereka bertemu dalam situasi yang berbeda dan memiliki keluarga yang berbeda.

Devan dengan senang hati, akan mengacaukan perasaan si mungil ini dengan cintanya.

"Makan di luar ya, Bang, ya?" rayu Gian dengan raut memohon.

Rambut hitam itu ia acak pelan, "iya, iya. Duh!"

"Wah, ada apa nih, pagi-pagi udah peluk-pelukan?"

Devan mendongak. Pria yang telah merawatnya sejak ia lahir itu, menatapnya tajam. Lalu, tersenyum lebar saat Gian memanggilnya.

Pria ini mengetahui perasaannya. Devan tak pernah memberi tahu apapun. Sungguh. Apakah ini karena mereka adalah Ayah dan anak yang sesungguhnya? Lagipula, mata pria itu lumayan tajam untuk hal seperti ini. Tapi, entah kenapa, Papa tidak pernah menyinggung masalah perasaannya. Pria itu bungkam, tapi dia membuat garis tipis pada Gian yang tak boleh ia langgar.

"Kita mau makan siang di luar nanti! Papa ikut?" tanya Gian.

"Papa usahain ya," rambut hitam itu diusaknya penuh sayang, "Papa pergi dulu."

Pelukannya dilepas paksa. Tubuh kecil itu menjauh, untuk mengantar pria itu pergi.

"Papa ngga sarapan dulu?"

Seketika, ia merasa kosong. Kedua tangannya, kembali ke sisi tubuhnya masing-masing, dan menatap punggung kecil itu dengan nanar.

Devan sadar, Adiknya itu tidak akan pernah membalas perasaannya. Jangankan membalas, tahu bahwa Devan punya rasa saja mungkin dia tidak. Gian terlalu polos.

Tasnya ia ambil dan ia panggul. Lalu, menyusul Gian yang sedang melambaikan tangan ke arah mobil yang keluar dari pekarangan rumah dan pergi.

"Abang juga pergi dulu ya, Dek," pamitnya. Telapak tangannya yang lebar, menyentuh punggung kecil itu.

"Iya! Jangan lupa loh, ya! Nanti siang!" peringatnya.

Devan hanya tertawa kecil dan mengiyakan.

Hal menguntungkan yang bisa ia peroleh dari kepolosan Adiknya itu adalah, dia bisa melakukan hal terlarang yang ia mau atas nama 'persaudaraan'.

Contohnya..

'cup!'

..dia bisa mencium bibir tipis itu, dengan dalih rasa sayang.

Yah, walaupun hal itu membuat Gian juga mencium Papa di bibir dengan alasan itu juga.

"Abang pergi dulu," bisiknya tepat di depan bibir Adiknya itu.

Gian mendorong pundaknya, dan tertawa pelan, "geli~" ujarnya sambil menyentuh bibir.

Devan menahan napas. Ingin menarik tubuh itu dan membantingnya ke sofa terdekat. Lalu, mengklaim kepemilikannya atas tubuh itu.

Dengan cepat, ia mengalihkan tatapan. Lalu, beranjak menuju mobilnya. Setan-setan itu, pasti akan terus membisikinya dengan godaan sesat yang akan ia sesali jika ia tetap berada di dekat Gian.

Si mungil itu melambai dengan semangat. Menyerukan untuk selalu berhati-hati di jalan.

Devan menggigit bibir, dan tancap gas.

Kalian lihat?

Dia bukanlah orang yang sempurna.

Devan hanyalah pemuda biasa, yang begitu tak berdaya karena jatuh cinta pada orang yang salah.

Tbc.

Sip. Bukannya ngepost cerita si kontet, malah ngepost cerita Abangnya. Maafkan saya.

MINEWhere stories live. Discover now