~09~

7.1K 1.1K 359
                                    

Kedua tangan Devan mengepal erat.

Demi apapun, dia tidak terima.

Bahkan, ketika Adiknya melirik dengan malu-malu, Devan tak membuka mulut sama sekali. Rahangnya mengeras menahan amarah. Dia ingin langsung melayangkan pukulan pada lelaki yang berada di sisi Adiknya itu. Lalu, memukulinya hingga puas. Menghancurkan wajahnya. Mengeluarkan jantung serta organ-organnya. Dan menjauhkan Gian dari lelaki itu.

"A-Abang.."

Kedua mata Devan menutup. Mencoba untuk mengendalikan emosi yang tengah meluap-luap. Dia tidak boleh lepas kendali.

"Abang, jangan kasi tahu Papa, ya?" pinta Gian dengan pipi yang merona. Kedua tangannya bertaut di belakang tubuh. Tampak menggemaskan sekali, kalau saja suasananya tidak sedang seperti ini.

Tarik napas. Buang. Tarik lagi. Perlahan-lahan. Kau harus tenang.

Ketika dirasa, emosinya telah terkontrol, Devan membuka kedua matanya lagi. Menatap Gian dengan datar. Lalu, beralih melirik teman lelakinya.

"Terserah kamu."

Kepalan tangan Devan mengendur. Ia berbalik dan melangkah menjauh dari sana. Memutuskan untuk kembali naik ke kamarnya, dengan tangan kiri yang menyentuh dada.

Sakit.

Sangat malah.

Amarah tadi hilang digantikan rasa sakit yang teramat sangat. Juga, kecewa. Dia merasa semakin menyedihkan. Sedari awal, Devan sadar, memang sudah tidak ada harapan untuknya. Namun, menghilangkan cinta, itu tidak semudah yang diinginkan.

Devan mengambil kunci mobil miliknya, dan melangkah lebar menuruni tangga.

Gian menoleh.

"Abang mau ke mana?"

"Abang pergi dulu. Kamu jaga rumah baik-baik. Jangan ke mana-mana," ujar Devan tanpa menatap ke arah Adiknya itu.

Mendengar suara lembut dari si mungil itu saja, sudah cukup membuat hatinya berdarah.

Devan memasuki mobilnya. Menghidupkan mesin, lalu segera menjalankan mobil untuk menjauh dari rumahnya. Pergi menuju tempat di mana hatinya bisa kembali tenang.

Laju mobil, ia tingkatkan. Tak sabar untuk segera sampai ke tujuan. Alamat rumah itu masih ia ingat dengan jelas. Jalananya yang belum beraspal. Rumah kontrakannya yang kecil. Halamannya yang tak seberapa. Devan masih ingat dengan rinci.

Begitu sampai di tujuan, ia memarkirkan mobilnya di depan salah satu rumah yang ada di sana. Halaman rumah itu lumayan besar hingga bisa menampung mobilnya. Devan keluar. Lalu, segera menghampiri rumah tersebut dan mengetuk pintu rumahnya.

Tak lama berselang, pintu terbuka. Seorang pria paruh baya muncul dari balik pintu itu.

"Selamat siang, Pak. Maaf, saya mau numpang parkir mobil saya sebentar, boleh?" tanya Devan langsung dengan senyum yang ia paksa untuk muncul.

"Ah, iya, Dek. Gapapa," ujar Bapak tersebut.

"Kalo halamannya mau dipake, saya ada di rumah Diran yang di sebelah sana. Bapak bilang aja, biar nanti saya pindahin mobil saya," kata Devan lagi.

"Oh, iya iya. Halamannya ngga lagi mau dipake kok. Kamu mau parkir di sini ngga masalah."

Devan melebarkan senyum, "Ah, iya. Kalo gitu saya permisi. Makasih banyak ya, Pak."

"Iya, Dek."

Devan membungkukkan tubuhnya sedikit, dan segera melangkah lebar menuju rumah Diran yang terletak tak jauh dari rumah si Bapak. Bibir bawahnya, ia gigit. Devan tidak memberi kabar pada Diran, bahwa ia akan datang. Tapi, setahu Devan, kemarin, Diran menolak ajakan kencannya karena lelaki itu harus menyelesaikan tugas. Dan semoga saja, Diran mengerjakan tugasnya itu di kontrakannya. Bukan di perpustakaan atau di tempat lain.

MINEWhere stories live. Discover now