~16~

6K 1K 295
                                    

Setelah mendengar kalimat itu, Devan memutuskan untuk membawa lelaki manisnya ke dalam. Mengambil kunci pintu dari tangan Diran dan membukanya. Kemudian, menarik lembut lengan itu untuk beranjak masuk.

"Apa gue memang semudah ini?" Kedua matanya masih berkaca-kaca. Diran menatap Devan dengan bibir bawah yang sesekali ia gigit. Tetesan air mata yang jatuh, ia usap kasar sebelum tangan Devan yang melakukannya, "Apa gue memang cuma mainan untuk kalian?" tanyanya lirih, "Apa gue segampang itu?"

Devan terhenyak. Bibirnya kelu. Tak sanggup untuk menjawab pertanyaan itu. Tangannya mengepal sekilas sebelum memutuskan untuk membawa Diran ke dalam pelukannya. Membenamkan wajah manis itu di pundak. Lalu, mengelus punggungnya dengan perlahan. Sebelah kaki Devan terjulur untuk menutup pintu agar tidak ada yang melihat mereka.

Diran mendorong pelan tubuh Devan. Membuat sedikit jarak di antara mereka. Ia mendongak, "Apa lo bener-bener jatuh cinta sama gue?" tanyanya dengan suara bergetar.

Jantung Devan berdetak begitu sakit. Ia menatap mata basah itu dengan nanar. Rasanya, dia tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut. Namun, remasan yang ia rasa di bagian pinggangnya, menandakan bahwa Diran menuntut akan jawaban.

Devan belum mencintai Diran.

"Ya. Gue cinta sama lo," bisik pria tinggi itu. Menahan gejolak rasa bersalah yang semakin menusuk kalbu. Ia menarik tengkuk Diran agar lelaki manis itu kembali membenamkan wajahnya di pundak. Devan tidak sanggup untuk menatap matanya. Tangannya bergetar pelan. Berhenti dari kegiatan mengelus punggung Diran, dan jatuh ke sisi tubuh begitu saja.

"Devan.." kini Diran yang memegang tengkuk Devan. Menariknya untuk menunduk. Ia kembali mendongak. Memaksa untuk menatap kedua matanya, "Buat gue jatuh cinta sama lo," ujarnya.

Rahang Devan mengeras. Tapi, sebisa mungkin ia melemaskan otot. Dia tidak mau. Devan tidak ingin Diran jatuh cinta padanya terlebih dahulu. Ia ingin menghentikan semuanya. Tapi, dia tidak sanggup untuk melakukan hal itu. Telapak tangannya ia tekan menggunakan kuku jari dengan kuat. Lalu, setelah dirasa tidak lagi bergetar, tangannya ia tangkupkan di pipi Diran. Bibirnya ia paksa untuk tersenyum menenangkan.

"Jangan terburu-buru," ujar Devan, "Jangan maksain diri lo. Santai aja dulu, Diran. Lepasin aja dulu perasaan lo dari Bima, oke?" bisiknya pelan, "Gue bisa nunggu."

Diran masih menatapnya dengan lekat. Sesungguhnya, Diran selalu tahu, bahwa Devan menyimpan sesuatu darinya. Tatapan mata Devan, menunjukkan hal itu. Namun, Diran masih ingat jelas, ketika Devan pertama kali menyentuh tubuhnya. Ketika Devan pertama kali mengucap kata cinta. Tatapan Devan begitu mendamba. Seolah ia adalah segalanya bagi pria tinggi tersebut. Dan Diran selalu menginginkan untuk diperlakukan seperti itu.

"Kiss me," bisik si lelaki manis.

Devan menelan ludah sejenak. Baru mendekatkan wajah mereka, dan menempelkan bibirnya di bibir itu. Lehernya dipeluk. Diran yang melumat bibirnya terlebih dahulu. Memulai cumbuan mereka. Lengan kanan Devan melingkar di pinggangnya. Kedua mata mereka yang semula menutup, kini membuka ketika bibir saling berpisah.

"Cintai gue, Devan."

Rasanya Devan ingin berdecak. Tidak bisa. Lebih tepatnya, belum bisa. Jika Diran ingin dicintai olehnya, maka Diran harus menjadi orang lain. Dia harus menjadi si pemegang hati Devan yang sekarang. Diran harus menjadi Gian.

"Lo yakin?" bisik Devan pelan.

"Iya."

"Di," Devan memejamkan kedua mata. Dahi mereka, ia satukan. Pucuk hidung saling bergesek. Seolah harus bertukar napas agar tetap hidup, "Maafin gue."

Kedua mata Diran mengerjap bingung. Maaf? Belum sempat Diran mengutarakan pertanyaan, Devan telah terlebih dahulu mencium bibirnya. Kemudian, menatapnya dengan tatapan yang Diran mau. Penuh cinta. Begitu mendamba. Dengan sentuhan lembut yang mendebarkan.

MINEWhere stories live. Discover now