~02~

13.9K 1.6K 212
                                    

Mereka akan pindah ke Jakarta. Papanya memutuskan untuk kembali ke pusat, karena ada beberapa urusan serius di sana. Mungkin dia sudah lelah karena terus bolak-balik Jakarta-Pontianak selama sepuluh tahun ini.

Devan sendiri tak masalah. Dia tidak punya permasalahan dalam bersosialisasi atau beradaptasi dengan lingkungan baru, jadi dia santai saja menghadapinya.

Saat ini dia sedang sibuk mengurusi pindah kuliah, dan mengurusi pindah sekolah Adiknya.

"Kira-kira, Adek bisa dapet teman ngga ya di sana?" Adiknya itu tengah asyik ndusel-ndusel lengannya. Devan menghela napas dan menarik kepala itu untuk berbaring di pahanya.

"Bisa," jawab Devan singkat. Tangannya kembali sibuk memilah-milah kertas yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan pindah kuliah. Gian menatap Abangnya itu dengan mata mengerjap. Tanganya terulur untuk menyentuh jakun Devan yang tampak lucu jika dilihat dari bawah.

"Abang ngga laper?"

Devan mengerling bosan. Mereka baru makan sejam yang lalu, duh. Adiknya itu punya perut apa sih? Kenapa karet sekali?

"Ngemil aja, yuk, Bang," ajak Gian sambil menarik-narik pelan kerah baju Devan ke bawah, "Ayo, Bang."

"Cookies kamu masih ada kan?"

"Ngga mau cookies," si mungil itu merengut, menggembungkan pipinya, "Ayo, berburu cake!"

Devan menghela napas lagi, "Abang lagi sibuk, Dek. Nanti aja."

Gian semakin memberengut, "Abang ngga sayang Adek, ya?"

Devan menunduk. Menatap wajah Adiknya itu yang tampak lucu.

Sayang, Dek. Cinta malah.

"Tunggu urusan Abang selesai dulu, ya," ujar Devan memberi pengertian. Ia menepuk pelan pipi gembil itu dan kembali fokus ke kertas-kertas tadi.

Dan ternyata, kesibukannya tidak hanya sampai di situ. Ia tidak bisa menemani Gian untuk membeli cake yang diinginkannya sejak hari itu. Membuat Adiknya tersebut mengalami ngambek berkepanjangan.

Bahkan, saat mereka sudah akan berangkat menuju ibu kota, Gian tetap tak mau berbicara dengannya. Bagi Devan, ngambeknya Gian itu menggemaskan sebenarnya. Tapi, kalo lama-lama ya menjengkelkan juga.

Devan menghela napas, "Sesampainya di Jakarta, ntar Abang beliin cake buat kamu," ujarnya.

Gian mendelik, "Pasti bohong."

Sebelah alis Devan terangkat, "Emang Abang pernah bohong?"

Sebenarnya, pasti pernah, sih.

"Kemarin Abang ngga nemenin Adek pergi," rajuk si mungil itu.

"Abang kan sibuk, Dek. Abang bohong ngga?"

Bibir itu mencebik, "Engga.."

"Terbang ke Jakarta ngga lama kok. Ntar Abang beliin, pas udah sampe di rumah," ujar Devan. Lalu, memasang sabuk pengamannya saat mendengar pemberitahuan bahwa mereka akan segera lepas landas.

"Memangnya Abang tau toko kue yang enak di mana?"

"Engga sih.."

Wajah itu menekuk, "Kalo ngga enak gimana?"

"Ya makanya kita coba. Kalo ngga dicoba kan, ngga bakal tau."

Pembicaraan mereka terhenti sejenak. Gian menegakkan tubuhnya, serta menjulurkan lehernya ke atas agar bisa melihat pramugari yang sedang memberikan instruksi dan peragaan keselamatan. Entah kenapa, si mungil itu senang sekali melihatnya. Setiap naik pesawat, dia tidak akan pernah melewatkan sesi melihat peragaan itu.

MINEWhere stories live. Discover now