~11~

7.7K 1.1K 241
                                    

'Sori, Van. Gue mau pergi sama Bima.'

Tiket bioskop yang berada di tangannya, diremukkan. Lalu, ia lempar ke tempat sampah yang berada di samping meja belajarnya, dan mendudukkan diri di pinggir ranjang.

"Ya udah, Di. Gapapa. Sori ya, gue ganggu lo," ujar Devan pelan.

'Maafin gue, Devan.'

Devan membaringkan tubuhnya ketika mendengar nada penuh rasa bersalah dari Diran. Ia menatap langit-langit kamar dalam diam.

"Gapapa, Di," sahut Devan dengan suara yang masih pelan. Lalu, memutuskan untuk langsung mematikan sambungan di antara mereka.

Devan lupa. Ia lupa, bahwa dia hanyalah selingkuhan Diran. Kekasih utama lelaki manis itu adalah si berengsek Bima. Ia melupakan peranan Bima karena lelaki itu jarang mengganggu mereka.

Devan menatap layar ponselnya. Lalu, membuka aplikasi Whyapp untuk melihat pesannya yang tidak dibaca sama sekali oleh Gian.

'Kamu di mana?'

Seharusnya Gian sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Kalau pun dia pergi bersama temannya atau Damian, seharusnya Gian memberi kabar.

Devan melempar pelan ponselnya ke sisi ranjang yang lain. Lalu, beranjak dari ranjang. Keluar kamar untuk berpindah ke kamar Gian, dan berbaring di sana.

Saat ini, Gian pasti sedang bersama Damian. Devan sangat yakin akan hal itu. Ia memeluk guling yang ada di sana. Membenamkan wajahnya, dan menghirup aroma manis khas Adiknya.

Devan rindu, masa di mana hanya ada mereka berdua di dalamnya. Dulu, Gian akan setia menunggu Devan menyelesaikan pekerjaan rumah agar ia bisa memiliki teman bermain. Atau berceloteh menanyakan ini itu pada Devan. Bahkan, ketika ia mengajari Adik manisnya itu membaca dan menulis, serta berhitung semampu yang ia bisa. Hanya mereka berdua.

Bergandengan tangan menuju minimarket terdekat untuk membeli ice cream. Gian akan duduk dipangkuannya ketika mereka belajar bersama. Memeluk tubuhnya ketika mereka akan tidur. Meminta Devan untuk menyanyikan sesuatu atau berdongeng.

Ia juga ingat, betapa bahagianya Gian ketika mereka berada di Sekolah Dasar yang sama. Karena, waktu-waktu untuk bersama Devan akan bertambah. Pergi sekolah bersama. Istirahat, Devan akan menghampirinya. Pulang pun, mereka tetap tidak terpisahkan.

Devan ingin kembali ke masa-masa itu.

Di mana Gian, masih miliknya seutuhnya.

Kedua mata Devan perlahan menutup. Membiarkan kesadaran perlahan memudar. Membawanya menuju bunga mimpi, ditemani aroma Gian yang menenangkan hati.

*****

Satu jam tidur siang (atau sore?) Sudah lebih dari cukup bagi Devan. Ia merenggangkan tubuhnya, dan memutuskan untuk kembali ke kamar sendiri. Membersihkan diri di sana, agar tubuhnya nyaman.

Tepat ketika jam menunjuk pukul lima sore lewat empat puluh menit, Devan sudah wangi dengan piyamanya, serta berkacak pinggang di depan pintu rumah karena Gian belum pulang. Dia tidak suka jika Adiknya itu sudah main tanpa ingat waktu. Lalu, ketika melihat sang Adik di antar oleh Damian, Devan membuang napas kasar. Tak beranjak dari tempatnya. Menatap kedua orang itu dengan tajam. Tangan masih di pinggang.

"Jam berapa ini?" Sorot dingin, ia pancarkan ke Gian yang menunduk ketika si manis itu berada di hadapannya.

"Maaf, Bang."

"Abang tanya, ini jam berapa?"

"J-jam enam kurang."

Lelaki itu beralih bersedekap dada. Masih menatap Adiknya dengan dingin.

MINEWhere stories live. Discover now