Aku melangkah gontai menuju rumah ku dengan pikiran yang dipenuhi dengan berbagai masalah hari ini. Ingin rasanya berteriak agar masalah ku terasa ringan walau sedikit saja. Tapi ku tahan semua itu, dan ketika aku sampai didepan pintu rumah ku, aku meyakinkan diri untuk tetap memasang wajah bahagia yang tanpa beban.
Berpura-pura baik-baik saja rasanya lebih baik daripada harus menunjukkan wajah penuh masalah dihadapan orangtua ku, terutama Ibu ku yang ku tahu pasti beban yang ia rasakan tak sebanding dengan beban ku.
Setelah memasuki rumah dan sedikit berbincang dengan Ibu ku -ritual yang ku pikir harus selalu aku lakukan selagi ibu ku masih hidup dan masih bisa mendengar dengan baik- , aku memutuskan masuk kedalam kamar untuk menumpahkan segalanya.
Aku menangis sejadi-jadinya diatas kasur ku, melepaskan segala yang membebani ku. Rasanya ingin sekali ku bunuh orang-orang yang membuat ku kesal hari ini. Namun, tak mungkin ku lakukan. Selain itu perbuatan melanggar hukum, itu juga termasuk hal yang dilarang oleh agama.
Mungkin sekitar tigapuluh menit aku menangis, aku mulai merasa lelah. Namun, beban ku belum juga berkurang. Ku putuskan untuk membersihkan tubuhku seraya berharap air dingin yang membasuh kepala ku mampu meringankan beban ku.
Memasuki kamar mandi, aku memandang diri ku yang ada di cermin depan wastafel ku. Betapa berantakannya diriku. Rambut ku kusut tak beraturan, mata ku sembab hingga untuk melihat secara jelas saja aku harus berusaha, ada lingkaran hitam dibawah mataku, wajah ku kumal, dan tak ada senyum sedikit pun dibibir ku.
"Ah.. menyedihkan sekali kau." Ucapku pada pantulan diriku dicermin.
Tiba-tiba aku merasa mata ku kembali berair. Semua ingatan akan kekesalan dan rasa lelah kembali berputar dikepala ku, rasa putus asa lalu muncul, merasa diri tak berguna, perlahan namun pasti, semua singgah di pundakku. Berat. Bahkan aku tak sanggup menahannya. Ku menangis lagi sejadi-jadinya. Kali ini airmata ku berhasil membuat penglihatan ku kabur. Aku merasa jatuh di dalam sumur keputusasaan yang terdalam.
"Berhentilah menangis." Sebuah suara terdengar jelas ditelingaku saat itu.
Aku tak mempedulikan suara itu. Aku masih terus menangis, bahkan lebih kencang dari sebelumnya, kali ini aku menjadi histeris.
"Masalah macam apa yang kau punya hingga kau sebegitu hancurnya? Lemah. Tak seperti kau yang biasanya." Ujarnya
Aku mengurangi frekuensi suara tangis ku. Bahkan aku tidak histeris lagi. Tapi aku masih menundukkan pandangan ku. Samar-samar terlihat kaki yang rasanya familiar di mataku.
"Sudahlah jangan begitu. Kau itu kuat." Kata orang dihadapan ku dengan lembut.
"Kau... Kau bahkan... Tak pernah... Tahu... Apa... Apa... Apa yang... Terjadi... Dihidupku.." jawab ku terbata-terbata karena masih menangis.
"Aku tahu, aku tahu benar." Sanggahnya.
"Bagaimana... Kau... Tahu?" Tanya ku sambil berusaha menghentikan tangisku. "Aku tak pernah menceritakannya pada siapapun. Mereka hanya tahu bahwa aku baik-baik saja. Aku masih bisa tertawa. Aku masih bisa bercanda. Aku... Aku ini bukan orang yang mudah menyerah. Mereka hanya tau itu. Bahkan... Bahkan orangtua ku sendiri... Mereka tak paham betul apa yang... Apa yang kurasakan. Mereka... Mereka hanya tahu aku baik-baik saja." Lanjutku yanh diakhiri dengan tumpahnya lagi air dari mata ku. Membuat ku makin tak sanggup menegakkan kepala ku.
"Tapi aku tahu." Ujarnya singkat.
"Tahu? Tahu darimana? Bahkan saat... Saat kaki ku tertancap duri, saat... Saat tangan ku... Tangan ku tergores ranting... Saat perut ku tertancap... Tertancap pisau, kau takkan tahu! Karena selama ini... Selama ini aku berhasil... Berhasil menutupi semuanya. Aku... Aku berhasil mengelabui orang-orang. Aku... Aku berhasil untuk... Untuk tetap memakai topeng sosial ku. Jadi... Bagaimana kau tahu!?" Kata ku memberi penjelasan dengan menahan tangis kembali.
"Kau salah, kau tak berhasil sepenuhnya. Buktinya aku tahu rasa sakit mu." Dia masih tetap kekeh, membuat ku menjadi kesal sendiri.
"Lalu, apa mau mu?" Tanya ku sambil mengangkat wajah ku. Samar, mungkin efek aku terus menerus menangis. Tapi ku pastikan orang ini memiliki tinggi yang sama dengan ku.
"Menyuruhmu berhenti menangis. Melupakan masalah mu, jalani hidup mu." Jawabnya tenang.
"Kau gila? Katamu, kau tahu beban ku. Tapi dengan entengnya kau berkata seperti itu? Aish! Minta dihajar ya kau." Aku kesal, sungguh.
"Jangan sok jagoan jika didepan ku. Kau itu sama seperti ku." Ucapnya yang berhasil membuat ku kesal.
Ku raba sekitar ku, pandangan ku belum sepenuhnya bisa melihat dengan jelas, tapi aku yakin pasti ada sesuatu yang bisa ku pakai untuk ku hajar orang menyebalkan ini.
"Mencari apa?" Tanya nya. Seketika ku merasa ada botol kaca di sebelah kanan ku. Dengan sigap ku ambil dan ku hantamkan ke arah kepalanya. Ya, aku yakin ke arah kepala walau samar.
KRANK!
Rasanya aku sukses menghantamnya. Seketika aku menyeringai, merasa menang.
"Mencari sesuatu untuk menghantam kepala bodoh mu itu. Hahaha." Ucapku mulai menggila.
Aneh, aku merasa pusing. Kepala ku sakit, sepertinya ada luka di kepala ku. Mungkin juga berdarah. Ah! Nyeri rasanya.
"Kenapa rasanya sakit? Ah! Kenapa? Ada apa dengan ku?" Tanya ku keheranan.
"Kau memukul kepala mu sendiri." Jawabnya.
"Hei, sudah jelas-jelas aku memukul kepala mu! Jangan gila kau! Auh!" Sergah ku sambil memegangi kepala ku.
Aku yakin seratus persen, aku memukul kepalanya. Kepala orang dihadapanku yang menyebalkan ini. Tapi kenapa dia bilang, aku melukai kepala ku?
"Sadarlah, dengan siapa kau bicara." Ujarnya.
Aku berusaha menatapnya sambil sesekali mendesis kesakitan, masih samar tapi perlahan aku mengenali perawakannya, mirip dengan ku! Ah ku pikir aku salah lihat.
"Mari, ku bantu bersihkan luka di kepala mu." Katanya sambil memegang kepala ku, dan menyiramnya dengan air hangat. Agak nyeri, tapi rasanya lebih baik.
"Setelah ini, tutup luka mu. Jahit kalau bisa. Bagaimanapun juga ini dikepala. Sangat vital." Katanya masih terus menyiram kepala ku perlahan. "Tapi, ku pikir, kau bisa menutup luka ini dengan beberapa hansaplast yang selalu kau siapkan disemua tempat disekitar mu jika kau tak ingin orangtua mu tahu." Lanjutnya dengan lembut.
Ah... Benar-benar nyaman. Kepala ku mulai membaik, tak begitu sakit. Masih nyeri memang sedikit. Tapi tak jadi masalah.
"Setelah ini aku akan pergi. Aku janji." Katanya sambil terus menyiram kepalaku.
Siraman dikepalaku berhenti. Rasanya aku ingin mengenal dia, ingin tahu siapa dia. Lagipula aku yakin, semua yang ada di diri dia serupa dengan ku. Tapi saat aku membuka mata dan melihat ke depan. Dia sudah tak ada. Hanya ada pantulan diriku sendiri dicermin. Masih berantakan, bahkan lebih berantakan dari yang tadi. Ditambah ada botol kaca dari sebuah minuman bersoda yang kemarin malam belum ku buang, tapi dasar botolnya agak koyak.
"Auh!" Rintih ku sambil memegang kepala bagian kanan ku. Perih dan ku rasa sedikit luka disana, rambut ku pun basah.
Pandangan ku teralihkan ke wastafel dihadapan ku. Ada sedikit pecahan kaca, dan sedikit bercak darah. Lalu ku lihat lagi kearah cermin. Masih ada diriku disana.
"Apa aku bicara pada diri ku sendiri?" Tanya ku menatap cermin.
"Apa aku gila?" Lagi-lagi ku bertanya sambil menatap cermin.
Ah! Rasanya ingin ku lupakan hari ini. Segera aku mandi dan berpakaian dengan pakaian tidur ku. Tak lupa ku ikuti saran dari dia, ku pakaikan hansaplast dan kain kasa di kepala bagian kiri ku. Bodo amat nanti orangtua ku berkata apa jika besok mereka bertanya.
"Mungkin tadi aku hanya terguncang. Makanya aku berhalusinasi." Ucapku meyakinkan diri sebelum terlelap dan mengakhiri hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Lubuk Hati
General Fiction"Kalau bagitu, jangan kesini. Karena, setiap kau kesini, aku pasti akan menghampiri. Memastikan kau baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh seperti dulu." Katanya sembari menatap ku iba. ...