Hari ini, aku pulang lebih cepat dari biasanya. Entah apa yang ada di otak atasan ku sehingga memperbolehkan kami -aku dan rekan-rekan kantor ku- untuk pulang tepat pada jam selesai kantor, tapi satu hal yang pasti, otakku saat ini berada pada titik dimana beban harusnya dikeluarkan.
Perjalanan sampai rumah masih sama, dengan menggunakan transportasi KRL Commuterline. Aku memilih untuk berpisah dengan rekan kerja ku. Aku ingin cepat sampai rumah dan beristirahat.
Didalam KRL, aku tiba-tiba teringat kembali dengan Dia, yang katanya adalah bagian dari diriku yang lain dan tinggal dalam lubuk hati ku. Sudah dua minggu aku tidak bertemu dengannya, mungkin lebih tepatnya tidak menghabiskan waktu dengannya. Ku fikir malam ini waktu yang tepat karena aku bisa sampai rumah lebih cepat dari biasanya.
"Tapi bagaimana cara menemuinya?" Pikirku dalam hati.
"Entahlah nanti ku fikirkan saja ketika sampai rumah." Kataku sambil berusaha memejamkan mata di KRL. Mengistirahatkan mata yang lelah menghadapi monitor seharian.
***
Aku sudah terduduk di depan cermin kamar ku. Memandang lurus kearah pantulan bayangan ku di cermin dengan wajah serius. Ku harap aku bisa menemui "dia" seperti sebelumnya. Tapi sudah setengah jam aku menghadap cermin, "dia" juga belum datang. Rasanya ingin menyerah saja tapi hati masih penasaran bagaimana cara menemuinya.
"Aaaargh! Bisa stress otakku jika terus seperti ini. Bisakah kita bertemu tanpa ada masalah disekitar ku?!" Seru ku sambil menatap cermin.
"Sedang apa kau?" Tanya sebuah suara yang ku yakin bukan dia.
Aku menoleh ke sumber suara itu, dari arah pintu kamar ku. Tertangkap dimata ku sosok adik laki-laki ku sedang berdiri diambang pintu.
"Huh, mengagetkan saja!" Jawabku ketus.
"Kau yang mengagetkan ku. Bicara sendiri didepan cermin seperti orang gila." Jawab adikku
"Masa bodoh! Lagipula apa yang kau lakukan didepan kamar ku?" Tanya ku masih dengan nada ketus.
"Numpang lewat. Aku ingin ke kamar ku, tapi pintu kamar mu terbuka setengah, saat ku lewat ku lihat kau sedang bermonolog layaknya orang gila." Jawabnya cuek.
Ku bangkit dari dudukku, ku hampiri adik ku dan ku tutup pintu kamar ku.
"Dasar sinting!" Teriak adik ku.
"Kau yang sinting! Pergi sana! Kembali ke habitat mu dasar adik tidak tahu sopan santun!" Sergah ku dari dalam kamar. Ku dengar suara langkah adik ku meninggalkan pintu kamar ku. Aku berbalik, bersandar pada pintu kamar ku. Rasa frustasi itu datang karena aku tak menemukan cara menemui "dia".
Perlahan ku pejamkan mata sambil menurunkan tubuh ku seraya bersandar di pintu hingga posisi ku jongkok. Aku menundukkan kepala. Berharap "dia" muncul.
"Tegakkan kepala mu. Jangan seperti orang frustasi." Ah ku dengar suaranya.
Segera ku angkat kepala ku. Ku lihat dia didepan ku berdiri menatap ku yang sedang berjongkok sambil bersandar di batang pohon besar yang pernah ku lihat saat itu.
"Kau datang!" Teriak ku kegirangan. Dia hanya tersenyum dan duduk dihadapanku.
"Selamat datang, diriku." Katanya masih tersenyum
"Kemana saja kau? Aku berusaha menemui mu seperti orang gila!" Tanya ku sedikit membentak.
"Aku? Tetap disini. Memang aku bisa kemana? Tempat ku kan disini. Didalam lubuk hati mu." Jawabnya enteng.
"Lalu kenapa sulit sekali menemui mu?" Tanya ku sambil menundukkan kepala. Malu rasanya bertanya seperti itu kepada diriku sendiri. Seperti orang gila.
"Sebenarnya mudah saja jika kau ingin menemui ku." Jawabnya datar.
Aku mengangkat kepala ku, memandangnya sambil memicingkan mata. Ah berapa kali pun ku melihatnya, aku tetap iri pada diriku yang kini ada dihadapan ku. Wajahnya masih segar. Tak ada tanda-tanda stress ataupun tertekan. Pikiran untuk bertukar tempat dengannya pun sempat terlintas tapi langsung ku tepis. Mau segila apa lagi aku? Bisa bicara dengannya saja sudah termasuk kelainan jiwa, mungkin. Ini malah ingin bertukar tempat.
"Aku hanya ingin mengingatkan untuk tidak jatuh cinta pada dirimu sendiri." Katanya memergoki ku yang sedang memandangnya.
"Apa?! Tentu saja tidak akan!" Sergah ku cepat. "Hei, beritahu aku bagaimana caranya menemui mu?" Lanjutku sambil bertanya.
"Kau mengharapkan kedatangan ku hanya untuk bertanya hal sepele seperti ini?" Tanya nya enteng.
"Menurut mu sepele, tapi ini penting. Kata mu kau bertugas mendengarkan cerita ku baik itu senang maupun sedih. Jadi, cepat beritahu aku." Jawab ku.
"Baiklah. Dengarkan baik-baik. Pastikan kau memang benar-benar sendiri. Aku tahu kau mencari ku, tapi aku tak mungkin bisa berkomunikasi dengan mu jika Adik mu hmm maksudku adik kita atau orang lain ada disekitarmu." Jelasnya perlahan
"Ya, maaf aku tadi ceroboh membiarkan pintu kamar terbuka." Kata ku.
Dia tersenyum, lalu melanjutkan "Cari posisi paling rileks. Kau tidak perlu selalu memandang cermin. Cukup rileks dan pejamkan matamu, tapi jangan tidur. Kau takkan menemuiku jika tertidur. Tarik nafas yang dalam dan kuatkan keinginan mu untuk menghabiskan waktu disini."
"Baiklah. Lalu?" Tanya ku semakin penasaran.
"Jika semua langkah itu sudah benar. Tunggu hingga aku datang. Biarkan aku yang menghampiri mu jika kau berhasil ke tempat ini. Aku tak ingin kau merasa kesepian bahkan di dalam lubuk hati mu." Jelasnya lagi.
"Baiklah aku paham. Ada lagi?" Tanya ku kembali.
"Tidak. Sekarang apa yang ingin kau ceritakan?" Dia bertanya balik.
Aku menarik nafas panjang.
"Ku rasa, aku tak sanggup." Jawab ku singkat.
"Tak sanggup atas apa? Ceritakan saja. Jika bisa aku akan membantu. Jika tidak, setidaknya itu mengurangi beban dipikiran mu."
--- Bersambung ---
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Lubuk Hati
General Fiction"Kalau bagitu, jangan kesini. Karena, setiap kau kesini, aku pasti akan menghampiri. Memastikan kau baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh seperti dulu." Katanya sembari menatap ku iba. ...