"Ku rasa, aku tak sanggup." Jawab ku singkat.
"Tak sanggup atas apa? Ceritakan saja. Jika bisa aku akan membantu. Jika tidak, setidaknya itu mengurangi beban dipikiran mu."
Aku memandangnya, sedikit ragu mengeluarkan beban pikiran ku padanya. Bukan tak percaya, hanya saja aku bingung harus memulainya darimana.
"Kau ragu padaku? Kan sudah ku katakan, aku akan membantu mu jika bisa. Namun, jika tak bisa, setidaknya beban mu berkurang. Aku tahu kau butuh pelampiasan." Katanya seperti menebak pikiran ku.
"Tidak, aku tak ragu. Aku hanya bingung bagaimana memulainya." Sanggah ku pelan.
"Baiklah ku tunggu hingga kau tahu cara memulainya." Katanya lembut.
Aku menarik nafas panjang lalu terpejam. Ku rasakan angin menyapu wajah ku. Hmm apa didalam lubuk hati ku ini selalu begitu tenang sehingga sebagian dari diriku selalu terlihat baik-baik saja? Aku melupakan pertanyaan itu. Ku buka mata ku, ku lihat dia masih disana, masih dihadapan ku. Menunggu aku bercerita.
"Apa aku harus resign?" Tanya ku lirih.
"Karena?" Katanya memutarbalikkan pertanyaan.
"Aku sudah tidak tahan, entah kenapa semuanya berubah. Aku tak lagi merasa nyaman. Seringkali aku melakukan kesalahan. Bahkan hingga bos ku marah. Aku... Aku merasa bodoh..." Airmata ku lolos "Ah, cengeng sekali aku." Lirih ku.
"Masalah itu dihadapi, bukan dihindari. Kau merasa sering melakukan kesalahan, pelajari kesalahan mu jadikan acuan agar tak pernah salah lagi. Ku rasa itu yang selalu kau tanamkan didirimu. Bukan lari seperti pengecut seperti itu." Katanya bijak.
"Tapi... Semuanya berubah... Aku... Aku merasa sudah tak nyaman lagi. Aku ingin pekerjaan yang jelas. Aku tahu aku bodoh, tapi tetap saja aku merasa direndahkan." Jawabku mulai tidak nyambung.
"Apa yang kau cari? Semua pekerjaan memang sulit. Itu akan mudah atas pengalaman. Kau yakin pengalaman mu sudah mumpuni untuk bergabung diperusahaan lain?" Tanyanya.
Aku terdiam masih menangis. Mungkin ini yang dinamakan berdebat dengan diri sendiri. Ketika sebagian dari diriku berkata tak sanggup, tapi sebagiannya lagi malah menentang dan terus mendorong untuk tetap maju.
"Apa yang akan kau katakan jika ingin mundur? Jika alasanmu hanya lelah, dan tak sanggup, apa kau tidak dianggap sebagai seorang yang egois?" Tanya nya lagi.
"Lalu? Aku harus bagaimana?!" Tanya ku setengah membentak.
"Pikirkan dulu dengan kepala dingin. Aku tak mengekangmu untuk mundur. Tapi aku ingin kau mempunyai alasan yang jelas dari keputusanmu. Aku tahu kau lelah, aku tahu kau tak sanggup lagi, tapi kau juga tak boleh kabur dari masalah mu." Jawabnya.
Aku menghela nafas dengan kasar. Menundukkan kepalaku mencoba untuk menenangkan diri ku. Aku merasa sesuatu menyentuh pundakku. Tangannya. Meremas pundakku pelan seakan memberikan energinya.
"Aku masih disini. Aku takkan meinggalkan sebagian diriku sendiri disini. Kau, bertahanlah sebisa mu. Pikirkan dengan matang." Katanya masih terus meremas pundakku lembut.
"Keputusan ku sudah bulat. Aku akan resign. Untuk waktunya, entah aku tak yakin kapan. Paling cepat 2 bulan lagi." Sahutku pelan.
Dia melepas tangannya dari pundakku, ditariknya nafas panjang lalu dihembuskan perlahan lalu menatap ku tegas "Baiklah, tapi pikirkan bagaimana cara mengatakannya. Jangan gegabah. Jika keputusan mu sudah bulat, beri alasan yang bulat juga. Alasan yang tak bisa di sanggah oleh siapapun. Saat ini, aku belum bisa membantu memberi alasan. Karena dari pandangan ku, kau belum siap untuk resign. Jika nanti aku sudah menemukan alasannya, akan ku beri tahu." Katanya panjang lebar.
Aku menundukkan kepala lagi. Seakan membenarkan kata-katanya. Ah aku harus bagaimana sekarang? Bagian diriku yang lain tak setuju dengan keputusanku. Terlalu berat rasanya. Jika kau berbeda pendapat dengan orang lain, its Ok. Tapi ini dengan dirimu sendiri.
"Jalani dahulu, ku rasa kau hanya jenuh. Sesekali kita harus ambil waktu untuk berlibur." Lanjutnya.
"Haha.. kapan? Kau tahu kan tempat ku bekerja membuat ku tak bisa istirahat. Bagaimana mengambil waktu untuk berlibur jika sehari tak masuk, gaji ku akan dipotong besar sekali." Jawab ku lesu
"Hei, buat kebahagiaan mu sendiri. Kau mau kalah dari masalah? Lucu sekali diriku yang ini." Nadanya sedikit mengejek, tapi aku tak peduli.
"Duduklah dahulu disini hingga kau lelah. Aku akan menemanimu." Lanjutnya dengan nada yang kembali menenangkan.
"Mungkin aku harus kembali, mencari soda atau obat sakit kepala. Ah atau keduanya." Ucapku asal.
"Kau berani melakukan itu, maka aku pun tak segan untuk mengganggu ritual bodoh mu itu." Jawabnya sambil memainkan daun-daun yang berguguran dibawah pohon ini.
"Ya ya kau terlalu berisik." Ucapku singkat.
"Baik, aku akan diam. Pikirkan kata-kata ku lagi." Katanya lalu hening.
Cukup hening hingga tak sadar ku menutup mata ku. Ah andai saja aku bisa hidup disini, pasti menyenangkan. Ku putuskan untuk membuka mata ku dan mendapati diriku masih terduduk bersandar dibelakang pintu kamar ku. Ya, aku kembali ke kehidupan nyata ku.
"Baiklah, akan ku fikirkan lagi." Ujarku bermonolog, lalu bangkit dan menuju tempat tidur ku. Lelah rasanya memikirkan hal itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Lubuk Hati
Ficção Geral"Kalau bagitu, jangan kesini. Karena, setiap kau kesini, aku pasti akan menghampiri. Memastikan kau baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh seperti dulu." Katanya sembari menatap ku iba. ...