Hari sudah semakin gelap. Jam menunjukkan pukul 19.50 WIB, sedangkan aku baru tiba di stasiun dari pulang kerja. Yah, hari ini sangat melelahkan tapi tak membuat ku kesal seperti sebelum-sebelumnya. Ini karena Bos ku memberikan pekerjaan baru, tapi aku dituntut mengerti dengan sangat cepat. Sedangakan otakku masih harus menyesuaikan diri dengan tahap-tahap pekerjaan baru ku ini.
Aku berjalan ke rumah dari stasiun. Ya, jarak antara rumah dan stasiun sangat dekat. Sebuah kemudahan untukku yang menjalani kehidupan sebagai "AnKer" atau Anak Kereta. Hahaha.
Sepanjang jalan, aku tiba-tiba teringat sosok "dia". Dia yang pernah muncul dan membuat ku mendapatkan luka dikepala ku. Ya bukan salah dia sih, memang aku yang melakukannya, tapi jika dia tidak se-santai itu dan se-menyebalkan itu, mungkin aku takkan pernah melayangkan botol soda itu ke kepala nya yang pada akhirnya malah mengenai kepalaku.
"Kenapa botolnya tidak langsung ku kembalikan ya?" Gumamku pada diriku sendiri, sangat pelan hingga orang lain takkan menyadari kalau aku sedang bergumam.
Aku ingat, sehari sebelum pertemuan pertama ku dengannya, aku juga sempat berada di posisi menyedihkan, tapi tak sampai membuat ku ingin menangis. Dalam keadaan seperti itu memang aku biasanya suka sekali meminum minuman bersoda. Aku biasa membeli minuman itu di minimarket atau toko milik tetangga ku. Kebetulan saat itu, aku membelinya di toko milik tetangga ku, dimana dia masih menjajakan minuman bersoda dengan kemasan botol kaca. Dan seharusnya aku langsung mengembalikan botol itu dihari yang sama atau pagi di keesokan harinya.
"Mungkin aku lupa." Gumam ku lagi dengan sangat pelan.
Terlalu asik dengan pikiran ku, hingga aku tak sadar aku sudah sampai rumah. Yah setelah melakukan kegiatan yang biasa ku lakukan dirumah -termasuk ritual berbincang dengan ibuku-. Aku memasuki kamar ku dan langsung berbaring diatas kasur ku tanpa melepaskan pakaian kerja ku. Pikiran ku kembali mengingat dia.
"Jadi sebenarnya dia siapa?" Tanya ku pada diri sendiri.
Aku bangkit, memutuskan mengambil handuk dan mandi. Tapi tak berniat menangis lagi. Ku lihat tak ada benda berbahaya dikamar mandi ku. Setidaknya aku takkan melukai diriku sendiri lagi. Botol soda itu sudah ku kembalikan ke toko. Untung rusaknya tidak parah, jadi aku tak perlu membayar ganti rugi botol itu.
Aku telah selesai mandi, lancar tanpa ada drama apapun seperti saat pertama kali bertemu dengan dia. Setelah memakai baju tidur ku, aku duduk di depan cermin kamar ku. Memperhatikan wajah ku yang semakin hari rasanya semakin menyedihkan.
"Aku ingin resign." Rengekku sendiri setelah melihat betapa menyedihkannya diriku.
Ku lihat lagi cermin didepan ku. Terlintas dipikiran ku untuk memanggil dia. Tapi aku tak tahu siapa namanya. Sempat berpikir untuk meneriaki nama ku sendiri. Tapi pasti rasanya aneh dan lagipula aku belum begitu gila. Aku yakin itu.
Cukup lama ku pandangi cermin itu, aku memilih bersandar pada kursi ku, memejamkan mata dan menarik nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Rasanya hari-hari ku yang berat ini ikut meluap dengan hembusan nafas ku.
"Perlu ku temani?" Tanya sebuah suara yang dalam keadaan terpejam pun aku sudah tahu kalau itu dia.
"Tidak." Jawab ku asal. Sebenarnya aku ingin ditemani, tapi entah kenapa aku menjawab tidak.
"Kalau begitu, kenapa kau disini?" Tanya nya, kurasakan dia duduk disamping kanan ku.
"Bukan urusan mu." Jawab ku sambil membuka mata dan melihat kearah nya. Kali ini aku melihatnya dengan sangat jelas. Dan, rupanya sama sepertiku. Bedanya, wajahnya ini sangat segar, seperti tak ada beban. Beda dengan wajah ku yang sangat kusut.
"Kalau bagitu, jangan kesini. Karena, setiap kau kesini, aku pasti akan menghampiri. Memastikan kau baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh seperti dulu." Katanya sembari menatap ku iba.
"Haha, kau pikir ini tempat nenek moyang mu?" Tanya ku meremehkannya. Lucu, aku meremehkan diriku sendiri.
"Kau ada ditempat ku sekarang." Jawabnya santai.
Aku tertegun mendengar perkataannya, seketika ku lihat sekelikingku. Aku ada disebuah padang rumput yang luas dan segar, dan aku bersandar disebuah pohon rindang yang ada ditengah padang rumput itu. Pohon itu juga menaungi tempat ku dan dia duduk sehingga aku -ya maksudku aku dan dia- tidak kepanasan.
"Jelas-jelas tadi aku ada dikamar ku. Memandang cermin, lalu memejamkan mata. Kenapa jadi disini?" Tanya ku kebingungan.
"Kau kesepian, makanya kau kesini." Jawabnya tak menghilangkan rasa bingung ku.
"Bagaimana aku bisa disini? Ini tempat apa?" Tanya ku lagi karena tadi tak mendapat jawaban yang ku inginkan.
"Hmmm bagaimana menjelaskannya ya.." kata dia lalu diam sejenak. "Ini tempat ku berada, kau menyebutnya Lubuk Hati." Lanjutnya lagi.
"Lubuk hati? Lalu siapa sebenarnya dirimu?" Tanya ku lagi makin penasaran.
"Aku ya dirimu. Aku ini bagian lain dirimu. Bedanya, aku disini tidak melakukan apapun selain mendampingi mu." Jawabnya.
"Mendampingi ku? Untuk apa?" Lagi-lagi aku bertanya.
"Untuk membuat mu meluapkan segala emosi didalam dirimu. Baik itu senang, sedih, bahagia, kecewa. Apapun itu. Lalu membuat mu bisa kembali tenang." Jelasnya.
"Bagaimana bisa?" Tanya ku lagi.
"Kau terlalu banyak bertanya. Tak biasanya kau seperti ini." Kata nya sambil melihat lurus kedepan.
"Hei, aku hanya bertanya. Aku bingung. Lagipula kau kan diriku, apa salahnya aku bertanya pada diriku sendiri?"
"Baiklah baiklah. Aku jelaskan dengan mudah agar kau mengerti dan kepalamu tidak sakit. Hmm bagaimana keadaan kepalamu?" Melenceng sekali perkataannya.
"Jelaskan dan jangan bertanya soal kepala ku." Jawab ku kesal.
"Ya ya... Aku ini bagian dari dirimu, tugas ku adalah mendampingimu agar kau tak terlalu merasa terbebani dengan masalahmu, aku juga bertugas mendengar semua cerita mu baik itu senang maupun sedih. Aku tinggal disini, aku tak yakin namanya tapi kau bisa sebut ini Lubuk Hati karena sebenernya ini adalah bagian dari pikiranmu. Mengerti?" Jelasnya dan bertanya padaku.
"Sedikit." Jawab ku asal.
Dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya kasar.
"Baiklah, lalu kenapa kau kesini?" Tanya nya.
"Aku butuh ketenangan. Aku terlalu lelah dengan pekerjaan ku. Kepala ku rasanya penuh. Aku... Aku ingin menangis saja rasanya. Terlalu melelahkan. Terlalu tertekan. Aaaah.." Aku tak menyelesaikan kata-kata ku karena rasanya takkan habis.
"Keluarkan semuanya disini, aku siap menemani mu hingga kau pulih lagi." Kata nya menenangkan ku.
"Aku butuh sendirian." Jawab ku sambil memejamkan lagi mataku
"Aku akan diam agar kau merasa sendirian." Katanya lalu aku tak mendengar suara apapun.
Cukup lama dia terdiam, terlalu sunyi juga menurut ku. Ku pikir harusnya aku berbincang saja dengannya, lagipula masih ada beberapa hal yang harus ku tanyakan kepadanya. Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya aku membuka mata ku untuk memulai percakapan lagi dengannya.
Tapi saat aku membuka mata, ku dapati diriku sudah kembali didalam kamar ku, masih dalam posisi yang sama -menghadap cermin dan bersandar di tempat dudukku- . Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.
"Yah mungkin lain kali kita bisa bertemu lagi." Gumamku sendiri lalu bangun dari kursi dan menuju ke kasur, menjatuhkan badanku diatasnya dan mengutak-atik ponsel ku sampai aku tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Lubuk Hati
General Fiction"Kalau bagitu, jangan kesini. Karena, setiap kau kesini, aku pasti akan menghampiri. Memastikan kau baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh seperti dulu." Katanya sembari menatap ku iba. ...