Awal.

23.1K 1.6K 214
                                    

Aku adalah seorang pria dewasa yang sangat menyukai aroma tumbukan kopi. Dari usia lima tahun diriku sudah diajari bagaimana memilih kopi yang bagus dan buruk oleh mendiang ayahku.

Setiap aku pulang dari sekolah dasar, aku selalu menyempatkan diri untuk mampir ke kedai kopi mendiang ayahku. Di kedai aku selalu membantu ayahku untuk memilih biji kopi yang berkualitas dan beraroma nikmat.

Hal tersebut terus berlanjut sampai ayahku menghembuskan nafas terakhirnya saat aku telah mendapat gelar sarjana. Ayahku meninggal karena anemia.

Meskipun aku mendapat gelar sarjana, dan bekerja di perusahaan dengan gaji besar, aku tak bisa menelantarkan kedai kopi tua milik mendiang ayahku. Setiap hari aku menyempatkan untuk membantu ibu dan kakakku mengelola kedai kopi yang sudah berumur tua ini.

Tak hanya menjadi tempat ternyaman dan terfavoritku, kedai kopi ini berhasil memikatku kepada satu pejalan kaki yang sering sekali melewati depan kedai, tidak hanya lewat saja. Pejalan kaki itu juga sering membeli kopi di kedai ayah.

Mungkin sudah lebih dari 20 tahun aku memerhatikan pejalan kaki itu. Entah mengapa dirinya menjadi pusat atensiku saat dirinya muncul di depan mataku.

Sampai sekarangpun dirinya tetap menjadi pusat atensiku. Ia selalu memesan kopi latte, dan tentunya aku yang melayaninya. Jika ia memesan kepada pegawai kedai, mungkin aku akan berpura-pura membantu pegawai tersebut untuk membuatkan kopi latte pesanannya.

Mungkin terkesan berlebihan, tapi aku menyukainya.

Ia gadis, pejalan kaki sekaligus pelanggan kedai kopi ayahku masih seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolah.

Aku terkadang menertawai diriku sendiri, apakah benar aku menyukai seorang gadis yang berumur jauh lebih muda dariku?

Tetapi hal suka-menyukai adalah hak segala bangsa bukan?

Suatu hari gadis pejalan kaki itu memesan kopi kepadaku, tapi ia tak memesan kopi kesukaannya. Ia memesan kopi espresso.

"Bapak, tolong berikan aku kopi yang pahit."

"Expresso?"

"Ya terseralah."

"Kenapa hari ini kau sangat kusut, nona?" Tanyaku dengan menyeduh kopi pesanannya.

"Hari ini adalah hari yang sangat pahit. Aku benci itu."

"Ingin berbagi cerita kepadaku, nona?"

Ia langsung menatapku tak percaya, mungkin aku begitu asing sehingga dirinya tak begitu yakin ingin membagi keluh kesahnya.

"Ah, tenang saja tidak usah ragu seperti itu. Aku aman soal merahasiakan sesuatu."

"Bapak, yakin ingin mendengarkan cerita bocah sepertiku? Tidak akan menertawakan ku?"

"Tidak, mungkin aku akan menjadi orang paling beruntung dan bahagia karena bisa mendengarkan keluh kesahmu, anggap saja kita berteman sekarang."

"Tapi aku tak yakin jika, Bapak akan berteman dengan bocah sepertiku."

"Kau bukan bocah lagi, mana ada bocah yang memakai pewarna bibir dan seragam ketat sepertimu."

"Memangnya kenapa? Hal itu lumrah bagi seorang pelajar seperti diriku ini, Pak."

"Memangnya biar apa kau melakukan hal itu?."

"Biar terlihat cantik"

"Cih, yang benar saja." Ucapku dengan menggelengkan kepala tak percaya atas penuturan gadis kecil di depanku ini. Tak lama seduhan kopiku sudah selesai dan langsung aku menyuguhkan kepada gadis ini. Ia terlihat sedikit mengendus kopi ala ala penikmat kopi kalang atas.

"Emm, aromanya aku suka."

Aku tak menyautinya, aku hanya menggulum senyum bangga kepada diriku sendiri.

"Jadi?"

Ia terhenti menghirup aroma kopi sebab aku melayangkan pertanyaan yang membuatnya bertanya-tanya. "Jadi apa, Pak?"

"Kau ingin bercerita kepadaku, nona kecil?"

Dia menjawab dengan isyarat tangan, 'Tunggu sebentar, aku ingin meminum kopi dulu.' Aku tidak bisa menahan senyum saat ia mulai meminum kopi buatanku, aku tahu dia hanya sedang meminum. Namun,

Dia terlihat sangat cantik sekali.

Apa aku ini terlalu berlebihan? Buta akan cinta misalnya?

"Tidak jadi, Pak. Aku lupa kalau hari ini aku harus membantu ibu mengurus kebun. Jadi berapa harga kopi ini, Pak?"

Sial, mengapa aku merasa kecewa?

"Khusus kau gratis, hanya hari ini."

"Benarkah? Kau baik sekali! Sungguh! Yasudah kalau begitu aku pamit pulang dulu, kasihan ibuku mungkin saat ini dia sudah menyumpahi puteri nakalnya yang selalu pulang terlambat."

Aku tersenyum melihat tingkahnya yang berpura-pura ingin cepat pulang. Iya, tempo hari saat aku menyiram pot bunga yang ada di depan kedai, aku tak sengaja menguping perbincangan dirinya di telepon. Ia izin pulang terlambat kepada ibunya karna ada tugas tambahan di sekolah, padahal dia sedang mentraktir kedua teman gadisnya di kedai kopi milikku.

"Dasar gadis nakal."

[✓] PLAISIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang