Ada perasaan dimana hal itu sulit terungkapkan, tentang perbedaan dan harapan. Ingin ketika membuka mata, semua hanyalah mimpiku, mimpiku yang hanya akan terus ada disana.
_Saras Endara_
.
.
."Saras.."
"Saras.."
Suara itu pelan membuai indera pendengaran seorang gadis yang terlelap dalam damai di bawah pohon maple.
Daunnya yang serupa senja mulai berguguran,terbawa angin dan melayang-layang di udara."Saras.." bisiknya lagi.
Setangkai daun maple mengenai wajah Saras. Membuat mata dengan bulu mata lentik itu terbuka perlahan.
Angin sepoi masih terus berhembus. Mengenai anak-anak rambut yang beberapa terurai.
Membawa suara bisik seorang pria ke pendengaran Saras.
Saras terbangun. Memandang padang rumput hijau dengan pohon maple di tengahnya, tempatnya sekarang duduk. Aku sudah mati? Pikirnya sejenak.Ketika pikirannya mulai hanyut dalam seribu pertanyaan, bisik lembut itu kembali datang.
"Saras.. "
Saras memutar kepalanya cepat, mencari ke setiap penjuru arah. Siapa yang memanggilnya?
"Hei aku disini!"
Secepat kilat wajah Saras berpaling ke arah sebaliknya.
Dan disana. Mata coklat kehitaman sedang menatap matanya. Menghujam ke arah relung hati.
Hanya sejarak sepuluh senti, mata mereka terus bertatapan. Deru nafas pelan laki-laki di hadapannya sampai ke wajahnya.
Saras terhanyut."Maaf,"
Satu kata itu membuat Saras bergidik lantas tersurut mundur dalam keadaan duduk.
Menurut Saras, pria ini terlalu tampan untuk disebut sebagai malaikat maut. Pakaiannya pun hanya setelah kemeja putih dengan celana hitam. Tapi semua keanehan yang di alaminya sama sekali tak wajar. Bagaimana mungkin ia menganggap bahwa laki-laki di hadapannya kini juga wajar?
"Tidak kok, kamu belum mati. Tapi aku yang sudah mati. " ucapnya terkekeh.
"A.. Aku gak ngerti," Saras memandang laki-laki itu dengan tatapan penuh tanya. "Maksudku kalau aku tidak mati, tempat apa ini? Dan siapa kamu? Aku sama sekali gak ngerti."
Lagi-lagi laki-laki itu tertawa renyah. Bukannya menjawab ia malah mengulurkan tangannya ke depan wajah Saras.
Saras menatap uluran tangan tersebut kemudian beralih menatap wajah laki-laki tadi."Maksudku ayo bangun, kamu hanya mau duduk saja disitu?" jelas laki-laki itu.
Saras menggeleng dan segera meraih uluran tangan di hadapannya.
"Kamu siapa? Dan dimana ini?"
"Aku? Aku hanya pria dalam mimpimu. Ya, selebihnya nanti kamu akan tau."
"Pria? Mimpi? Maksudmu?"
Lagi-lagi lelaki itu tertawa sambil bangun. Matanya menatap lekat pada padang rumput hijau nan luas di depan sana. Padang yang seakan tak memiliki ujung.
"Kita akan lebih sering bertemu nanti. Tidak disini. Akan ada banyak hal yang terjadi nantinya. Sudah saatnya kamu bangun." lelaki itu memicingkan matanya pada Saras sambil tersenyum ringan.
.
.
.
Saras merasakan pening hebat menghantam kepalanya. Kilatan-kilatan muncul, seberkas cahaya menusuk matanya.Hal yang pertama kali Saras temukan dari penglihatannya adalah lampu yang menyilaukan mata. Plafon serta dinding bercat putih membuat cahaya lampu semakin menyilaukan.
Saras mengerjap pelan. Tenggorokannya terasa kering dan butuh suplai air yang dapat membasahinya.
"Saras sudah bangun? Sudah enakan?" seorang perempuan muda berjilbab tersenyum. Namanya Laila, perempuan berumur 25 tahun itu adalah penjaga UKS.
Di balik senyumnya ada sedikit kekhawatiran.Saras mengangguk. Bibirnya terasa kaku untuk sekedar mengucapkan kata. Ia ingin air segera membasahi tenggorokannya. Saras meneguk ludah.
"Saras haus? Minum dulu ya?" tawar kak Laila.
Lagi-lagi Saras hanya dapat menjawabnya dengan anggukan.
Setelah tenggorokannya terasa lebih lega, Saras kembali mengingat lelaki yang ia temui tadi. Jadi itu hanya mimpi?
.
.
.
.
.
Di balik jendela yang tertutup, sepasang mata coklat kehitaman mengawasi dua gadis berbeda umur dalam ruangan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hope, Wind And Tree
Teen FictionAdakah kesempatan untuk bersama diantara perbedaan yang tak akan pernah bisa bersatu? Adakah harapan diantara angin rindu yang menyusup? Dapatkah menyentuh perasaanmu seperti tanganmu yang mampu meraihku?