Seorang gadis tinggi semampai kini berdiri di depan cermin. Bibir yang dilapisi Lip gloss pink itu kini bersenandung kecil seraya menyisir rambut panjangnya. Jijafa Aurora, dengan balutan seragam sekolah, baju putih yang melekat pas ditubuhnya dan rok pendek selutut bermotif kotak dongker, kaus kaki panjang di bawah lutut, pagi ini dia sudah siap untuk berangkat sekolah.
Usai mengucir rambut hitamnya, atensinya beralih pada dompet di atas kasur. Ia membuang nafas melihat kekayaannya hanya tinggal dua puluh ribu. Sementara gajiannya masih seminggu lagi. Karena semalam harus mengangsur utang Ayah, uangnya kembali menipis.
Dia bukanlah orang mampu, sejak kedua orang tuanya meninggal beberapa bulan lalu Jija harus banting tulang. Bahkan untuk makan dikediamannya saat ini, ia harus bekerja dan bantu-bantu. Tidak ada yang bisa ia dapatkan dengan mudah tanpa mengeluarkan peluh.
Kehidupannya yang keras seperti ini memaksanya lebih kuat, tidak lemah dan harus bisa mengatur keuangan. Jija selalu mewanti-wanti ini, dia selalu menyimpan sedikit uang di dalam celengan kaleng yang mudah dibuka. Jaga-jaga jika sewaktu ia butuh uang. Tapi celengan yang biasanya dia taruh di atas meja belajar itu kini raib.
Panik. Jija mengobrak-abrik seisi kamar. Dua alisnya tertaut heran, padahal Ia tidak pernah menyimpan celengan itu di tempat lain. Di saat seperti ini, yang dia tahu akan mengambil celengannya adalah Bibi atau Neisa.
Jija mengeram kesal, pergi ke kamar sebelah dan mendorong pintu bercat putih itu. “Neisa!” Lenggang. Neisa tidak ada di kamarnya. Jija nyaris turun ke bawah jika saja ekor matanya tidak melihat celengannya yang terletak di rak buku.
Air mukanya berubah. Melihat bagaimana celengan itu tidak berisi, sepenuhnya. Amarahnya meradang. Ada sekitar tiga juta di sana. Jija memejamkan matanya, berusaha mengontrol emosi yang ingin meledak. Air matanya seakan mendesak.
“Bibi. Uang Jija diambil Neisa. Tiga juta.” Neisa tidak ada di bawah, Ia yakin sepupunya itu sudah ke Sekolah. Wanita yang tengah menjemur kain itu hanya menatap sinis. Sama sekali tidak peduli.
“Bi, Jija udah angsur utang ayah semalam.”
“Nggak usah protes. Uang kamu, uang kami juga. Utang ayah kamu itu banyak. Sana hush. Bukan urusan Bibi, memang harusnya begitu.”
Tangannya menggepal. “Bibi biarin Neisa? Kalian hina Ayah pencuri dan penjudi. Terus apa bedanya sama Neisa. Dia juga pencu-"
Plak!
“Diam atau saya usir dari sini!”
Tamparan keras melayang. Rasa panas dan nyeri terasa menjalar di pipi kanannya. Jija tersenyum getir, Badannya berbalik. Jija segera naik ke atas motornya dan membawa kuda besi itu kebutan. Amarah yang sudah menumpuk tidak bisa dia tahan lagi.
Netra bening itu menyorot tajam. Kakinya berlari dari parkiran mencari Neisa. Dia tidak akan terima jika uang itu diambil begitu saja.
“NEISA!” amuknya begitu melihat cewek itu bejalan santai dengan senyum mengambang. Tidak memberi peluang untuk cewek itu berbalik badan, Jija mendorong Neisa hingga jatuh.
“Kamu kan yang ambil uangku.”
“JIJA!”
“Itu uangku, balikin!”
“Uang kamu uang aku juga, bukannya begitu?” Sorot mata Neisa menghunus tajam. Ia berdiri, balik mendorong Jija.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Goodbye (HIATUS)
Teen FictionUPDATE SETIAP HARI Kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan yang menyakitkan. ________ Hi, Goodbye [SPIN OFF HILGRAF]