Jija mendudukkan dirinya di kursi depan indomaret . Sebotol air mineral dingin yang baru dibelinya diteguknya sedikit. Kepalanya mendongak, tatapannya menembus langit jingga di ufuk barat. Sudah hampir malam sedang dia belum dapat pekerjaan ganti.
Ting!
Sebuah notif masuk. Dahinya mengernyit dalam melihat sebuah chat dari nomor tidak dikenal. Membaca pesan singkat itu membuatnya meloncat saking girang. Senyumnya mengambang.
“Yes.”
“Tapi … ini siapa?” Nomor itu tanpa foto profil. Jija mengetikkan sebuah pesan singkat. Mengucapkan terima kasih. Begitu menyimpan ponsel dan mengarahkan tatapan ke sebelah kiri, sosok cowok itu ada lagi. Refan, tengah berdiri di depan pintu Indomaret.
Cowok itu langsung membuang wajah begitu ketahuan. Jija melongos, mengamati Refan yang masuk ke dalam.
“Aku jadi makin penasaran sama dia.” Monolognya. Begitu Refan keluar. Jija berdiri menghadang. Menatap lekat dengan wajah tidak bersahabat.
Sebelah alis Refan naik, ia menatap ke arah lain sejenak. Mendengus lalu berlalu.
“Eh tunggu!”
“Refan!”
Tubuhnya berbalik. Refan tidak menghiraukannya. Ia mengamati Refan yang naik ke atas motor dan menekan gas. Pergi begitu saja membelah jalan. “Dih sikapnya nano-nano. Waktu itu aja stalking.”
**
Tiga kali dia mendongakkan kepala menatap kafe minimalis modern 2 lantai, memastikan dia tidak salah tempat. Jija mengucap bismilah sebelum kaki kanannya yang berbalut sepatu sneaker hitam melangkah masuk.
Kafe itu cukup luas dan besar, memiliki desain simple dan elegan, bergaya futuristic dengan lampu yang dipagari oleh kerangka besi sehingga terlihat artistic. Dindingnya juga diberi wallpaper unik sebagai latar Selvie, membuat remaja pada umumnya kian betah.
Setelah menjelaskan tujuannya, ia diminta duduk di salah satu kursi. Menunggu pemilik Kafe menemuinya. Bola matanya kembali menyapu Kafe Graflya yang begitu ramai. Ia pernah tahu Kafe ini, tapi baru ini dia mendatanginya.
“Jijafa Aurora?” Suara berat dan basah itu mengalihkan atensinya. Dua alisnya naik melihat sosok cowok berseragam sama dengannya melempar senyum dan menarik kursi tepat dihadapannya. Lebih kagetnya, begitu teringat cowok itu yang waktu itu ada di lapangan bersama Refan dan satu cowok lagi.
“loh kamu?”
“Hai, kita ketemu lagi.”
Dua alisnya menyatu. Jija mengamati ssekitar kembali sebelum menatap coowk didepannya yang sudah duduk di depannya. “Kamu … yang pemilik Kafe ini?”
Anggukan mantap cowok itu membuatnya melongo. Ini serius? Laki-laki SMA yang punya kafe sekeren dan seramai ini? Kafe yang menjadi langganan siswa sekolahnya dan dari sekolah lain.
Tangan cowok itu terulur. “Grafen. Kamu yang mau kerja di sini, kan?”
“Oh ya.” Jija buru-buru membalas uluran tangan itu. “Jijafa Aurora,” balasnya tersenyum kikuk, perihalnya pertemuan pertama mereka kurang baik. Gara-gara Refan dia berwajah tak bersahabat. Suasana cukup canggung, baginya mungkin. Tidak dengan cowok dihadapannya yang kini menatapnya lama dengan sebelah alis naik.
“Ini … berkas lamarannya.” Amplop berwarna cokelat itu kini digesernya mendekat.
Berkasnya dikembalikan. Ia kira ia langsung ditolak. Tapi ucapan Grafen berikutnya nyaris membuat bola matanya keluar. “Nggak usah, kamu langsung diterima.”
“Hah?"
“Bisa langsung kerja sore ini.”
“Ini beneran?”
Grafen mengangguk lagi. Kemudian menyandarkan punggungnya disandaran kursi. Cowok yang memiliki wajah tampan itu kini menyugar rambutnya. Para Pengujung yang rata-rata didominasi kaum hawa seketika menjerit riuh.
“Kenapa nggak dibaca dulu?” Berapa banyak pengalaman melamar kerja, baru kali ini dia diterima langsung. Cukup membuat Jija heran.
“Iya nggak apa-apa. Kebetulan kami juga lagi butuh cepat satu karyawan,”
Ia mengangguk, sudahlah yang penting dia sudah bisa bekerja. Jija mengulum senyum.
“Kamu kelas berapa?”
“XI IPA 6.”
“Kamu siapanya Re-“
“Graf.”
Suara berat namun terdengar dingin itu kini mengalihkan atensi keduanya. Sosok cowok yang sering sekali ia lihat akhir-akhir ini membuat Jija melotot dan segera berdiri. Ditunjuknya cowok itu dengan galak. “Kan kamu lagi!”
Cowok itu, iya Refan. Jija tidak menyangka Refan akan mengikutinya sampai sini. “Kamu ngikutin aku sampai sini? Ngaku! Sok-sok tapi ngikutin. Nano.” Tatapan datar yang dia terima makin membuatnya kesal. Kan Refan itu sumpah aneh!
“Jadi kamu ngikutin dia, Fan?” Jija menoleh. Grafen, cowok yang dikenalnya beberapa menit itu menatap keduanya bergantian. Dua alisnya tertaut. Jija memperhatikan Refan yang kini menatap tajam.
“Kalian nggak saling kenal?” Grafen penasaran, mengabaikan tatapan peringatan Refan.
“Enggak.” Jija yang menjawab.
“Lah Fan, terus kamu nyuruh aku ne- aww.” Grafen meringis begitu kakinya diinjak Refan. Tatapan itu penuh peringatan untuk tidak membocorkan.
Jija terdiam sejenak, menatap heran, lalu balik menatap kesal Refan yang tampak tenang, lalu menarik kursi di meja yang sama. Ingin menuntut penjelasan, tapi ucapan Grafen yang memintanya langsung ke loker ruangan karyawan untuk mengambil baju membuatnya segera pamit undur diri.
Seperginya Jija. Grafen menatap lekat Refan. Mengamati tingkat sahabatnya yang masih sama dingin pada Jijafa Aurora itu. “Jadi beneran kamu ngikutin dia, Fan?"
Diam Refa menjadi jawaban baginya. Tubuhnya tegak “Lah, aku kira dekat, dia kok kaget lihat kamu, Fan? Dia siapa?”
“Graf, jangan pernah kasih tahu aku yang minta kamu terima Jija.”
“Oke. Jelaskan dulu dia siapa. Deal aku tutup mulut.”
Refan memutar bola matanya, melirik sejenak cewek yang memiliki tubuh ramping itu hingga hilang dibalik ruangan. Grafen sahabat dekatnya, jadi tidak masalah jika dia harus membocorkan rahasia yang disimpannya.
“Woi!”
Verel, kini menempati diri di kursi yang ditempati Jija tadi. Netranya menatap bergantian Grafen dan Refan yang menatap datar.
“Apa?”
***
“Ja!”
Rangkulan di bahu membuatnya menoleh. Reno merangkulnya dengan senyum manis. Jija mendengus. Di samping lak-laki itu ada Watang yang memegang banyak pena. Ia yakin itu pena curian.
“Ngapain di sini?”
Jija menjauhkan tangan cowok itu. “Dapat curian dari mana lagi, Tang?” Kalau dihitung pena di tangan Atang berjumlah dua puluh dengan bentuk berbeda-beda.
Reno menatap Watang. “Ya habis nyuri lah,” sahutnya.“Lumayanlah dapat banyak. Rezeki anak sholeh.”
Jija hanya mencibir, ia lalu beralih pada Reno yang menaikkan sebelah alisnya. Ia sudah tahu kalau cowok itu seperti ini.
“Balapan? Ada tawaran apa nih kali ini?”
“Ntar malam, hadiahnya 10 juta. Mau nggak?”
Jija terdiam sejenak, menimbang. Uangnya juga menipis. Tanpa ragu ia memberi anggukan. “Tunggu aku di tempat biasa,” jawabnya. Reno tersenyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Goodbye (HIATUS)
Teen FictionUPDATE SETIAP HARI Kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan yang menyakitkan. ________ Hi, Goodbye [SPIN OFF HILGRAF]