“Kamu lihat?”Refan hanya bergumam sebagai jawaban.
Padangan Jija turun. Bibirnya tersenyum tipis. “Aku anak Balapan,” balasnya sekenannya.“Jangan membahayakan diri.”
Kepalanya mendongak. Jija tidak menjawab lagi. Refan juga tidak bertanya lagi. Lukanya ditutupi robekan seragam cowok itu, lalu ditutupi plaster. Pengobatan seadanya. Jija menipiskan bibirnya begitu selesai.
“Ada lagi yang sakit? Ujung bibir kamu?”
Kepalanya menggeleng. Bukan apa-apa, sakit ini biasa baginya. Toh di rumah dia juga sering sekali dipukuli. Jija memilih menatap jalanan di depan. Mengingat kebaikan Refan dan perbedaan laki-laki itu malam ini. Sepertinya ini pertama cowok itu bicara panjang.
Tapi kenapa Refan mengkhawatirkannya? Sudahlah. Jija memilih bangkit. Dia harus segera pulang. “Aku duluan.”
“Bisa sendiri?” Jija menatap Refan yang mengikutinya. Cowok itu tampak berbeda dengan biasa, rasa khawatirnya kentara.
“Ini cuman luka kecil.” Tidak mau berlama lagi, Jija segera naik ke motornya, melaju pergi dari sana. Suara motor kemudian menyusul di belakang, melirik Spion ia bisa tahu itu Refan. Laki-laki itu mengikutinya.
Katakan pada Jija mengenai Refan. Sikap cowok itu hingga sekarang sagat mengusiknya. Jija memperlambat lajunya hingga keduanya bersebelahan.“Nggak usah. Kamu pulang aja!”
“Nggak. Aku anterin.”
Bola matanya berotasi. Terserah aja. Kali ini ia malas untuk berdebat, hari ini dia cukup lelah. Keduanya berkendara hingga lima belas menit kemudian motor Jija berhenti. Refan masih mengikuti.
Sebenarnya rumahnya masih sepuluh meter lagi. Namun biar tidak ketahuan Jija mesti masuk diam-diam.
“Kehabisan bensin?”
“Enggak. Paman Bibi bisa ngamuk kalau tahu aku pulang selarut ini.” Lebih tepatnya, ia akan dikatai wanita malam. Sudah cukup dia direndahkan dengan masalah sekarang, mereka tahu akan membuat dia terlihat kian buruk.
“Kamu ngapain?” herannya melihat Refan ikutan mendorong motor besar milik laki-laki itu.
“Dorong motor.” Jija memutar bola mata malas.
“Aku juga tahu kali. Udah kamu pulang aja. Rumahku sepuluh meter lagi.”
“Aku temenin.”
“Kenapa repot sih?”
“Kamu Cewek, nggak baik selarut ini di luar.” Beberapa saat Jija terpaku. Kedua sudut bibirnya tertarik sedikit memperhatikan Refan yang duluan. Ia kembali mendorong motornya.
“Refan?”
“Hmm?”
“Kamu itu kayak permen Nano sumpah.”
“Nano?”
“Waktu itu aja dingin, lihatnya kayak mau bunuh dih. Tapi kamu selalu ada di saat aku sedang butuh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Goodbye (HIATUS)
Teen FictionUPDATE SETIAP HARI Kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan yang menyakitkan. ________ Hi, Goodbye [SPIN OFF HILGRAF]