“Duluan ya.”
Pukul setengah sepuluh malam adalah jamnya selesai bekerja sebagai pelayan di salah satu kafe. Bekerja Part Time dari pulang sekolah hingga malam adalah rutinitas hariannya. Jija melambaikan tangan dengan senyum kecil kepada teman-teman sesame kerja.
Ia menilik sejenak jam tangan yang melingkar di tangan kiri, memasang helm dan jaket kulit. Lalu menembus jalan malam yang masih ramai. Malam ini cukup dingin, hujan yang tadi turun deras membuat jalanan terasa licin.
Setengah jalan, tepat di jalan yang sepi, laju motornya melambat perlahan. “Eh kenapa nih?” Motornya berhenti total. Ia segera turun. Memeriksa apa yang salah dan ternyata motornya kehabisan bensin. Mengamati jalanan saat ini sudah sepi membuatnya berdecak. “Tolong ke Reno deh atau Atang”
Menelfon kedua cowok itu, malah tidak aktif. Jija menyimpan kembali ponselnya, menatap lama motornya, berpikir. Di sekitar sini tidak ada yang menjual bensin, tidak ada pilihan lain selain mendorong.
Setelah menggantung tali helm di lengan, didorongnya motor merah kesayangannya. Tidak berselang lama, sebuah motor besar berwarna hitam kini berhenti dihadapannya. Dahinya mengernyit, netranya berusaha menembus wajah dibalik helm full face itu.
Begitu cowok itu membuka helm, ia melongos.
Cowok itu lagi.
Refan segera turun dan membuka helmnya. Ia mengamati sejenak motor Jija dan menatap Jija yang berwajah judes. “Kenapa?” Refan tak menghiraukan. Bersama wajah datarnya dia mendekat.
“Habis bensin,” ketusnya.
“Minggir.
“Eh eh mau ngapain?”
“Nyuri.”
Jija memutar bola matanya malas. “Nggak usah. Aku bisa sendiri. Lagian nggak usah sok kenal. Tadi aja di sekolah songgong banget,” sengitnya. “Pergi sana, hush.”
“Ck.” Motornya diambil paksa. Ia hendak protes. Cowok itu menatapnya sejenak, menunjuk motor besar milik cowok hitam itu dengan dagunya.
“Bawa.”
“Hah?”
“Bawa."
“Iya tahu.”
“Kunci di sana.”
Ia menatap jengkel. Belum jadi kembali protes, motornya sudah didorong menjauh. “Itu cowok aneh banget. Dingin iya, sok-sokan tapi bantu. Sok baik, tadi aja songgong. Nggak jelas,” gerutunya. Tetapi begitu Jija kini membawa motor besar Refan, mengikuti cowok itu.
“Nggak usah sok peduli.”
Omongannya tidak diubris.
“Aku nggak akan bilang makasih. Sorry aja nih.”
Hening
Jija menatap datar, kesal. “Serasa bicara dengan menekin,” sindirnya. Setelahnya dia hanya diam. Tidak ada pembicaraan sama sekali. Hanya desiran angin malam yang lumayan kencang meniup nakal anak rambutnya yang berjatuhan di pelipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Goodbye (HIATUS)
Teen FictionUPDATE SETIAP HARI Kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan yang menyakitkan. ________ Hi, Goodbye [SPIN OFF HILGRAF]