Kafe Langit malam ini cukup ramai. Semua karyawan, tidak terkecuali seorang cewek yang memakai baju biru langit bersablon logo Kafe Langit kini hilir mudik mengantarkan pesanan pengunjung.
“Pesanan Meja No 10.” Ditaruhnya dua gelas Capuccino Ice Chocolate dengan gelas berukuran tinggi di atas meja. Lalu stick kentang dan sepiring Ayam Crispy. Wajah cantik itu Mengulas senyum dan berlalu mengambil pesanan lain.
“Pelayan.”
Bola mata bening itu menoleh ke sumber suara. Dua orang cewek yang duduk di meja tengah. Satu yang berwajah oval dengan mata bulat itu tersenyum miring. Tatapan ramahnya berganti dingin. Jija, cewek itu membuang wajah.
“Kak Ya, tolong meja di No 15.”
“Aduh, kamu aja. Kakak mau anterin ini.” Kak Yaya, wanita berusia 22 tahun itu melewatinya dengan sebuah nampan. Jija mengembuskan nafas kasar, menatap staf lain yang juga mempunyai pekerjaan.
Diambilnya kasar kertas menu. Jija melangkah malas dan memberikan kertas itu tanpa suara dengan sebuah pensil.
“Jadi pelayan ramah dikit dong. Nggak diajarin cara melayani pengunjung ya?” Jija membuang wajah, tidak mempedulikan Neisa. Iya Neisa sepupunya yang sengaja datang hanya untuk mengusiknya. Kedatangan Neisa selalu menjadi masalah. Tidak peduli di rumah, sekolah atau di luar seperti sekarang.
“Cepat aja tulis.”
“Hmm.” Dua alis Neisa naik. “Kamu pasti berusaha keras ya. Gimana Ja? Uang untuk bayar utang Ayah udah terkumpul? Kerja yang benar ya biar nggak jadi beban.”
“
Nggak usah cari masalah di sini dan jangan bahas Tentang Ayah di depan siapapun.”
Neisa tampak tenang. Menaruh kembali kertas Menu dan berdiri, menatap pongah.
“Bukan rahasia lagi, mereka juga sudah tahu.” Neisa mengendikkan dagunya pada sahabatnya yang kini menatap remeh Jija.
Kertas menu itu diambilnya. Neisa mendekat, berbisik yang membuat hati Jija meradang. “Anak yatim Piatu yang penyakitan dan ditinggalkan banyak utang.”“NEISA!” Tangannya menggepal. Neisa terkekeh, menepuk pelan bahunya dan memberikan kertas menu. “Cepat anter pesanan kami. Kerja yang baik, ingat kamu itu beban.”
Tangannya gatal ingin menjambak rambut Panjang Neisa, namun tatapan semua pengunjung Kafe tak terkecuali pemilik Kafe yang kebetulan di sana dan memberikan tatapan tajam membuatnya bungkam. Jia melihat Lea yang menatap sinis sebelum balik.
“Kenapa ja?”
DIa menggeleng, mengabaikan pertanyaan Deo yang bekerja sebagai kasir. Bibirnya tersenyum kecut. Selama bekerja ketiganya tak lepas memperhatikannya dengan senyum sinis. Bahkan Hingga pukul sembilan malam, Jika tidak di Kafe, dia bersumpah akan menumpahkan segelas jus ke wajah keduanya.
“Ja!”
“Iya Yo?” Usai membawa bekas piring kotor dari meja yang sudah ditinggalkan pengunjung, langkahnya mendekat menuju Kasir. Sorotnya menangkap Nesia dan temannya yang kini berdiri di depan kasir dengan tangan dilipat.
“Itu … dia bilang kamu sepupunya. Mereka belum bayar.”
Perasaanya mulai tidak enak. Atensinya beralih sejenak pada Neisa. “Terus?”
“Katanya kamu yang bayarin?”
“Hah?”
Dio mengangsurkan total pesanan mereka, matanya nyaris membulat melihat angka Rp 300.000. Nafasnya memburu, Jija menatap ketiganya bergantian hingga pada Neisa. “Bukan, dia bukan sepupu aku. Suruh dia bayar atau kalau nggak mau panggil polisi,” ketusnya beranjak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hi, Goodbye (HIATUS)
Teen FictionUPDATE SETIAP HARI Kita dipertemukan untuk sebuah perpisahan yang menyakitkan. ________ Hi, Goodbye [SPIN OFF HILGRAF]