Manusia dan Sebuah Surat

96 6 0
                                    

Suara seseorang yang tiba-tiba berbicara perlahan berjalan muncul dari belakang tubuh Nisa dengan tubuhnya yang tinggi dan wajahnya yang menyebalkan. Seseorang yang tidak pernah terbayang sedikitpun oleh Kirana datang untuk menjenguknya, Arsa.

Hal itu membuat Kirana berfikir bagaimana bisa dan bagaimana mungkin bisa seperti ini. Seseorang yang kemarin mengganggu harinya, sekarang datang seakan meminta maaf secara tidak langsung kepadanya. Terlebih lagi Arsa membawakan makanan kesukaan Kirana sedangkan Arsa sendiri pun tidak menyukainya.

Dirga, aku berharap kamu yang sekarang berada disini. Aku memipikanmu kamu tidak ada, tetapi kenapa aku hanya sekejap memimpikan Arsa lalu ia datang? Apa semesta mengirimkan dia untuk menggantikanmu? Jika iya, aku akan membantahnya. Aku mengharapkanmu Dirga, bukan Arsa.
Gumam Kirana dalam hati.

"Dimakan martabaknya, siapa tau langsung sembuh"

Ucapan Arsa membuat Kirana sadar dari lamunannya. Tanpa menjawab, Kirana langsung menatap Nisa dengan seribu pertanyaan dalam hatinya. Suasana di dalam kamar menjadi tegang, Kirana yang merasa bingung, Nisa yang merasa bersalah, dan Arsa yang tidak peduli dengan apa yang terjadi seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ana"
Untuk pertama kalinya Arsa menyebut nama Kirana bahkan menyebutnya dengan nama panggilan, padahal Kirana belum pernah memberitahukan siapa dirinya pada Arsa bahkan tidak ingin manusia itu tau namanya. Satu-satunya orang yang memberitahu namanya yaitu Nisa, pikir Kirana.

"Iya?"
"Saya mau pulang"
"Oh, iya"
"Saya hanya ingin tau keadaanmu"
"Terimakasih"
"Tersenyumlah"
"Kenapa?"
"Agar cepat sembuh"
Setelah itu Arsa berjalan keluar kamar meninggalkan Kirana dan Nisa. Langit berwarna jingga, menunjukan bahwa sore hari telah tiba. Saat ingin keluar pintu ia bertemu dengan bundanya Kirana yg membawakan minum. Arsa meminumnya setengah gelas untuk menghargai kebaikan bunda Kirana lalu langsung pamit untuk pulang.

Tersenyum? Dia menyuruhku tersenyum? Apa dia yang mengirimkan surat untuk ku? Ohiya aku ingat, kemarin dia ingin mencuri sesuatu, mengapa semua ucapannya berhubungan dengan surat itu? Aku dibuat kagum dengan ketulusan dan kejujuran kata-kata dari pengirim surat, tetapi tolong jangan Arsa. Aku selalu menghargai setiap kebaikan dan usaha seseorang, tetapi mengapa aku tidak menghargai Arsa? Mengapa hal itu tidak berlaku padanya?

Akibat terlalu banyak berfikir atas banyaknya pertanyaan yang berlalu lalang dipikirannya, Kepala Kirana terasa sakit lagi, lebih sakit dari sebelumnya. Matanya terpejam, dahinya mengkerut, dan tangannya memegang kepalanya dengan erat.

"Ana kenapa?!"
"Kepalaku Nisa.."

Mendengar hal itu bunda langsung bergegas mendekati Kirana memastikan bahwa ia baik-baik saja.

"Kirana, bunda telepon dokter ya?"
"Tidak bunda, aku sudah tidak apa-apa.."
jawab Kirana dengan nada yang lemas.

"Ini diminum, bunda buatkan teh hangat."

Setelah meminum teh hangat yang dibuatkan oleh bunda, Kirana merasa lebih baik, seolah-olah minuman itu adalah ramuan khusus yang dibuatkan oleh ratu peri kepadanya. Karena merasa lebih baik, Kirana tertidur sebentar lalu terbangun dan ia terkejut karena Nisa masih disampingnya menunggunya sampai terbangun.

"Nisa.."
"Eh sudah bangun rupanya"
"Kamu belum pulang?"
"Aku ingin menemanimu, lagipula sekalian menunggu pacarku menjemput, Na"
"Bagaimana bisa nis.."
"Maksudnya?"
"Arsa"
"Maaf Na, aku tidak memberitahumu, dia yang menyuruhku"
"Lalu bagaimana bisa dia ada bersamamu?"

"Sepulang kuliah dia menghampiriku, menanyakan kamu. Katanya, kemana temanmu yang biasanya bersamamu"
"Lalu?"

"Aku bingung, kukira dia teman mu Na. Lalu aku bilang kamu sakit, dan aku mau menjenguk mu. Dia memaksa untuk ikut, aku tidak bisa menolaknya karena dia memohon tidak berhenti. Wajahnya menunjukan sedikit kekhawatiran."
"Aku tidak pernah membayangkan hal ini terjadi sebelumnya."

"Lalu, ia mengajakku untuk membeli makanan. Tiba-tiba ia menunjuk ke arah penjual martabak. Aku tidak tau mengapa martabak lah yang menjadi pilihannya. Sedangkan setelah aku dengar tadi, ia tidak menyukai martabak"
"Namaku? Kamu juga memberitahunya?"

"Saat berbicara dengannya aku selalu menyebutkan namamu"

Kirana sesungguhnya tidak ingin memperdulikan hal seperti ini, karena ada hal yang lebih penting daripada Arsa, yaitu hadirnya kembali sosok Dirga.

"Oh iya Ana, tadi ada tugas merangkum dari mata kuliah filsafat dan logika. Besok pagi harus selesai dan dikumpulkan dimeja dosen"
"Secepat itu dikumpulkan?"
"Iyaa, yasudah kamu kerjakan dari sekarang, kebetulan aku sudah mengerjakan sebagian tadi."
"Tolong ambilkan tas ku disitu Nis.."
Kirana menunjuk kearah meja belajarnya meminta pertolongan Nisa untuk mengambilkan tas nya yang ada di meja belajar.

Setelah Nisa mengambilkan tasnya, Kirana membuka resleting tasnya dan mencari-cari pulpen dan buku binder spiral miliknya. Saat sedang mencari, Kirana menemukan sebuah surat. Kirana mengambil surat itu dan langsung menyimpannya dibawah bantal tidurnya, ia ragu untuk membukanya.

"Apa yang harus dirangkum Nis?"
Ucap Kirana sambil bersiap mengetikkan materi untuk dicari di Internet.

"Intinya tentang dasar filsafat dan logika manusia"
"Aku sudah dapat nih."
"Bagus. Semangat!"
"Harus!"

"Ana, sudah malam, aku harus pulang. Maaf tidak bisa menemanimu lama-lama yaa"
"Dijemput pacarmu?"
"Iya. dia bilang sudah menunggu di halte depan. tadi aku mengirimkan alamatmu padanya"
"Yasudah terimakasih sudah repot-repot kesini yaa."
"Iya, sama-sama. Kamu juga jangan lupa tersenyum, biar cepat sembuh."
Ucap Nisa sambil tertawa.

"Hih apasih!"
Setelah itu Nisa pamit pada Kirana dan Bunda untuk pulang.

Kirana melanjutkan merangkum tugasnya, ia hanya berharap malam ini tugasnya akan selesai.

Setelah dua jam Kirana merangkum tugasnya, akhirnya selesai dan langsung memasukkannya kedalam tas agar tidak tertinggal. Kirana merebahkan tubuhnya ketempat tidurnya bersiap untuk tidur, matanya terlihat sayup.

Tidak lama ia memejamkan matanya, ia teringat dengan surat yang ia letakkan dibawah bantalnya. Ia memiringkan kepalanya dan mengambil surat yang ada dibawah bantalnya. Dengan ragu, perlahan ia membuka dan membaca surat itu.

Hai, Kirana.

Sebelumnya saya meminta maaf, karena sudah lancang meletakan surat ini kedalam tas mu tanpa izin, disaat kamu meninggalkannya di kantin, ingat?

Rupanya saya masih menjadi manusia pengecut yang tidak percaya diri. Saya lebih memilih untuk bersembunyi menutup diri, dan berdebat dengan sunyi.

Tentang senyum mu, teruslah tersenyum. Itu akan menambah waktu kehidupan seorang penikmatnya.

Sekali lagi maafkan manusia yang tidak tau diri ini.

Biar Aku SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang