Beban

40 1 2
                                    

Setelah cukup lama berbincang atau lebih tepatnya mendengarkan Arsa yang menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan kopi, Kirana terdiam. Setelah menghabiskan tegukan kopi terakhirnya ia tersadar, siapa yang sedang berbincang dengannya saat ini. Kirana sangat merasakan suasana canggung yang kembali hadir ditengah tengah mereka berdua. Namun berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Arsa, ia sangat merasa nyaman bila berada sedekat ini dengan Kirana, tak perduli apapun perlakuan yang diberikan Kirana kepadanya. Apapun.

"Mau saya pesankan satu lagi? Biar saya yang traktir"

Tanpa menjawab apapun Kirana langsung bergegas pergi meninggalkan Arsa dan membayar apa yang ia pesan. Arsa hanya bisa tersenyum, lebih tepatnya mentertawakan dirinya sendiri saat melihat sikap Kirana dan gagalnya usaha yang Arsa lakukan agar Kirana lebih lama berada disampingnya, karena Arsa tau, setelah Kirana menghabiskan tegukan terakhir pasti ia akan langsung bergegas pergi.

***

"Hai semuanya!"

Sapa Kirana sebelum duduk bersama Nisa, Rani, dan Vena yang sedang duduk.

"Wuih tuan putri sudah sembuh rupanya, bagaimana nih kabar si pembawa martabak." Ledek nisa.

"Nisa, jangan membuatku kesal ya."

"Eh iya iya maaf, bercanda Ana sayaang"

Setelah mereka bergabung bersama, mereka berempat menimbulkan suara yang sangat bising. Membuat mereka berempat sangat menonjol di kantin pada saat itu. Tanpa mereka sadari beberapa senior laki-laki memperhatikan ke arah mereka.

"Berisik woi!"

Bentak salah seorang dari senior laki-laki yang merasa terganggu.

"Apaansih!"

Balas Kirana tanpa sadar kepada suara yg ia rasa tertuju padanya dan teman-temannya itu, karena memang hanya merekalah yang mengeluarkan suara bising pada waktu itu .

Kata-kata yang dikeluarkan Kirana membuat seseorang yang tadi membentaknya bangun dari tempat duduknya dan menghampiri meja Kirana dan teman-temannya, dengan kemeja hitam, celana jeans, postur tubuhnya besar dan wajahnya cukup menyeramkan.

"Maksud lo apa bilang kayak gitu?! Lo gak tau gua siapa?!"

Dengan nada yang cukup keras ia membentak Kirana persis dibelakang tempat duduk Kirana, sontak membuat ia kaget dengan hal itu. Nisa, Vena, dan Rani terlihat ketakutan dan Kirana terus menunduk, sadar akan hal yang ia lakukan. Seluruh orang yang ada di kantin termasuk pedagang-pedagang pandangannya tertuju pada keributan itu.

Aduh mati. Kirana kenapa kamu selalu membuat masalah. Semesta tolong, aku tidak bermaksud seperti itu. Tolong aku, siapapun.

Ucap sekaligus doa Kirana dalam hati, sesungguhnya semesta tau ia tak bermaksud seperti itu.

"Woi gua ngomong sama lo ya! Woi!"

Karena melihat Kirana yang terus menunduk tanpa memperdulikan kata-katanya, senior laki-laki tersebut memukul meja yang ada persis didepan Kirana dengan telapak tangannya yang besar. Kirana hanya menunduk dan terus menunduk.

"Cuy udahlah. Ngapainsih kayak beginian diurusin, buang-buang waktu tenaga."

Ucap seorang teman dari senior tersebut, bermaksud menenangkan.

Karena kejadian tersebut sudah membuat suasana seluruh kantin tegang, dan terlihat beberapa dosen berjalan kearah kantin karena ada seseorang yg melihat kejadian tersebut melaporkannya bermaksud tidak ingin kejadian tersebut terus berlangsung dan menjadi semakin kacau.

"Nyolot nih cewek"

"Udah-udah noh liat siapa yang dateng, yuk cabut"

Ucap temannya sambil menarik kemeja hitam yang dikenakan oleh senior yang membentak Kirana.

"Awas lo ya, liat nanti"

Sebuah peringatan yang tertuju pada Kirana.

Kirana hanya terus menunduk dan mendengarkan perkataan dari senior itu, hanya menunduk tanpa sepatah kata pun. Sampai pada akhirnya senior itu berjalan menjauh, perlahan-lahan Kirana mulai memberanikan diri untuk menegakkan kepalanya dan matanya sedikit mengintip ke arah senior yang sudah hampir hilang dari pengelihatan.

"Ah syukurlah.."

Ucap Kirana tenang walaupun ia tau masalah itu tidak seleasai begitu saja.

"Ana, bagaimana bisa setenang itu?!"

Ucap Nisa heran, sementara Vena dan Rani yang masih terdiam ketakutan dengan kejadian tadi.

"Entah, aku merasa masalah-masalah ku yang sebelumnya lebih besar, dan akhir-akhir ini aku seperti terbiasa menghadapi masalah"

"Terbiasa dengan masalah yang lebih besar bukan berarti menambah masalah baru yang lebih besar bukan?"

"Maaf semuanya aku benar-benar tidak bermaksud membuat masalah."

Setelah berbicara seperti itu Kirana memilih untuk mengambil tas nya dan pergi meninggalkan teman-temannya. Entah tidak tau kemana tujuannya, yang jelas ia hanya berfikir untuk menyendiri.

Seiring bertambah langkah kakinya, bertambah pula tetes air mata kirana yang semakin membasahi pipinya.

Masalah-masalah yang dialaminya sesungguhnya tidak membuat dirinya terbiasa dengan masalah itu sendiri.

Masalah itu hanya membuat dirinya berubah menjadi seseorang yang bahkan dirinya sendiri tidak mengenalinya.

Setelah sembuh dari sakitnya, kondisi fisiknya benar-benar sehat, tetapi tidak dengan hati dan pikirannya.

Disudut kampus yang jarang diketahui, kirana duduk terdiam dan menangis membenci dirinya sendiri.

"Selain suka martabak, kamu juga suka menangis juga rupanya?"

Suara yang datang seketika menyumbat tangis Kirana.

"Bagaimana bisa, Arsa.."

Karena lelah menangis, Kirana seakan akan pasrah dengan kedatangan manusia menyebalkan yang selalu datang tiba-tiba itu.

"Entah, Saya hanya sedang berjalan-jalan."

"Kenapa harus kesini.."

"Jangan dibuat beban. Mungkin semesta ingin saya mendengarkan cerita yang sedang kamu resahkan"

Biar Aku SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang