Chapter 4: Second Meet

61 4 0
                                    

Chapter 4: Second Meet

Tasha POV

Setelah berjam-jam aku mengurusi segala hal yang harus ku urus mengenai kuliah ku, akhirnya selesai juga. Aku melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan ku. Mata ku terbelalak sempurna saat melihat jam ku menunjukan pukul 2 siang waktu setempat. Tadi pagi, aku memang sudah mengubah settingan jam tanganku dengan jam dinding di apartement ku yang menunjukan waktu London.

Ini sudah lewat dari jam makan siang. Pantas saja sedaritadi perut ku sudah bernyanyi minta diisi. Perut ku sayang, perut ku malang.

Aku segera keluar dari area kampus baru ku itu sebelum aku bertemu dengan Andrew lagi. Bisa-bisa langsung muntah aku melihatnya lagi. Mobil BMW M3 Convertible merah ku berhenti tepat didepan tempat ku berdiri. Dengan segera aku masuk kedalamnya dan menyuruh Mr. John untuk kembali mengendari mobil ku ini.

“Where will we go ms. Pranata?” Aku agak terkikik geli mendengar pengucapan Pranata oleh Mr. John. Pranata adalah nama keluarga Papa ku. Mungkin ia sudah terbiasa memanggil Papa dengan nama belakangnya.

“Kau tau tempat makan yang lezat di London?” tanya ku. Mr. John melirik ku dari kaca mobil yang didalam. “Ya, aku tau.” Jawabnya.

“Antar aku kesana, aku sangat lapar.” Pinta ku. Ia hanya mengangguk dan kembali fokus pada jalanan didepannya. Aku mengeluarkan iPhone ku untuk melihat pesan masuk untukku. Tapi ternyata tidak ada. Hanya ada beberapa notification dari Twitter dan Instagram. Ah, biarkan sajalah, nanti saja dibukanya.

Tidak lama kemudian, mobil yang dikendarai Mr. John sudah berhenti disalah satu tempat makan yang lumayan ramai. Tulisan Nandos terpapang jelas diatas tempat makan ini.

Oh, jadi ini tempat makan yang menjadi favorite Niall Horan sih food lover? Hihihi kalau Tere tau, pasti ia akan berteriak-teriak histeris. Aku tersenyum geli saat membayangkan wajah Tere yang berteriak histeris. Segera aku keluar dari mobil dan masuk kedalam.

Suasana didalam restaurant cukup ramai, padahal ini sudh lewat dari jam makan siang. Para pelayan sibuk kesana kemari mengantarkan berbagai pesanan. Mata ku menjelajah ke seluruh sudut ruangan ini, mencari-cari meja yang sekiranya kosong dan bisa untuk ku duduki.

Setelah menemukan tempat yang kosong, aku segera menempatinya. Meja yang disediakan untuk dua orang di pojok ruangan. Tempat ini dekat dengan jendela, jadi, aku bisa memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang dijalanan. Untung saja kaca jendela ini hanya bisa dilihat dari orang-orang didalam restaurant dan cukup gelap untuk orang diluar.

Pelayan datang beberapa saat setelah aku duduk. Ia memberikan ku buku menu. Aku menyebutkan makanan yang akan aku pesan dan ia mencatatnya didalam sebuah note. Setelahnya ia kembali ke tempatnya dan kembali melayani pembeli yang lainnya.

Tidak sampai 30 menit, pelayan itu kembali lagi dan membawakan makanan pesananku, lalu meletakannya diatas meja. Setelah aku mengucapkan terimakasih, ia pun pergi. Dan aku mulai memakan makanan ku dengan nikmat.

**

Waktu sudah menunjukan pukul lima sore dan aku sama sekali belum mau beranjak dari taman yang nyaman ini. Setelah makan siang tadi, aku tidak langsung kembali ke apartement, melainkan menuju taman yang berada di pusat kota ini. Taman nya indah dan tampak hijau sejauh mata memandang.

Sepertinya aku sudah harus kembali, karena hari sudah mulai sore. Aku mengeluarkan ponsel ku dan mengirim pesan untuk Mr. John, agar segera menjemput ku di taman ini. Setelah pesan terkirim, aku bangun dari duduk ku dan segera menuju Nandos, agar Mr. John tidak kebingungan mencari ku.

Baru beberapa langkah kaki ku melangkah, seseorang berlari dengan sangat cepat dan menubruk ku dari depan. Untung saja, gerakan refleks dari laki-laki ini bagus, jadi, ia dengan cepat menarik tangan ku dan melingkarkan tangannya di pinggangku, menahan ku agar tidak terjatuh.

Untuk beberapa saat, kami terdiam pada posisi kami yang seakan-akan sedang berpelukan. Dengan kedua mata kami yang saling menatap satu sama lain.

Oh, my god. Tatapan matanya begitu teduh dan membuat nyaman. Seolah-oleh menenggelamkan ku di lautan yang penuh dengan caramel. Kami masih terdiam dalam posisi kami saat ini, tidak ada salah satu dari kami yang berniat untuk menjauhkan diri terlebih dahulu.

“ZAAAYYYNN!”

“DON’T GO, ZAYN!”

“WAIT, ZAYN!”

“ZAYN, MARRY ME!”

“ZAYN, I LOVE YOU! ZAAAYYYNN ....”

Suara teriakan pada gadis-gadis yang histeris seakan-akan menyadarkan kami. Aku segera berdiri tegap dan melangkah mundur.

“Ma-maaf.” Ucapnya sambil menggaruk tengkuknya. Aku mengangguk. Seketika pipi ku terasa panas. Aku menunduk untuk menyembunyikan wajahku, malu.

“ZAAAYYNN, AAAAA ....” teriakan histeris dari para gadis-gadis itu kembali terdengar.

Membuat wajah Zayn yang sempat terlihat memerah, berubah menjadi pucat. Keringat terlihat menetes dari pelipis matanya. “Kita harus pergi sekarang!” tanpa seizin ku, Zayn menarik tanganku paksa. Aku agak kesusahan karena harus mengejar langkah kaki Zayn yang begitu besar seperti jerapah. Apalagi aku sedang menggunakan wedges setinggi 10 cm. Untung saja bukan yang 12 cm, tapi, tetap saja.

“Zayn, pelan-pelan ... aku lelah.”

Zayn tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, membuat aku yang sedang menunduk mengatur nafas, menubruk punggungnya yang tegap. “Adu-du-du-duh, sakit.” ringis ku sambil mengusap-usap dahi ku.

Zayn berbalik badan. Tiba-tiba saja raut muka Zayn berubah, seperti orang yang sedang menahan tawa. Hei, dia menertawakan ku? “Mengapa kau menahan tawa mu seperti itu?” tanya ku sambil bersedikap dada dan menatapnya sinis. Tanpa bisa ditahan lebih lama lagi, tawa Zayn pecah. Untung saja saat ini kami sudah jauh dari para gadis-gadis heboh itu. “Heh, mengapa kau tertawa, Malik?”

“Kau, ahahaha lucu, muka mu, kayak bebek hahahaha ....”

Eh? Aku dibilang seperti bebek? Yang benar saja. Aku mengulurkan tangan ku dan meraih rambutnya untuk menjambaknya. Ia meringis kesakitan. “Aduh, ampun ... aduh sakiiiiittt.” Rengeknya.

“Rasakan. Siapa suruh mengataiku seperti bebek, huh?”

“Kau memang seperti bebek kalau sedang cemberut seperti tadi ahahaha ....” Ku tambah tenaga ku untuk semakin keras menjambaknya. Ia kembali berteriak meminta aku melepaskan rambutnya. “Oh, astaga ... kau memang kejam! Lepaskan rambut ku! Sekarang!”

O-ow, sepertinya Zayn benar-benar marah saat ini. Lihat saja wajahnya yang sudah memerah. Aku tidak mau menerima amukan Zayn sekarang. Segera aku menarik tangan ku menjauh dari rambutnya. Dan dengan perlahan, aku melangkah mundur.

Satu langkah.

Dua langkah.

Tiga langkah.

Empat langkah.

Dan sampai lima langkah mundur, aku langsung berbalik badan dan berlari menjauh dari Zayn. Bisa ku dengar samar-samat  ia berteriak. “Wanita sialan! Tunggu pembalasanku.”

Aku hanya menjulurkan lidah kearahnya sambil tertawa. Setelah kejadian ini, pasti akan ada hari dimana aku harus bertemu kembali dengan nya.

***

25 Juni 2014

London In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang