Bagian 2

567 48 18
                                    


Ternyata persalinan itu tak semudah yang diharapkan. Rogaya mengalami komplikasi. Ketubannya telah lama pecah dan bayinya terbelit tali ari-ari. Nurmala begitu susah mengeluarkan bayi kecil yang berat badannya ditaksir Melati hanya 1.5 Kg saja. Air ketuban memenuhi tenggorokannya dan Melati berjibaku menyedot cairan ketuban, selama Nurmala menjahit ibunya. 

Melati sudah lupa dengan keengganan dan kekesalannya. Yang ia tahu waktu itu, ia ingin sekali bayi kecil menangis. Ia menyedot cairan itu dengan kuat, tak peduli betapa amis darah yang memenuhi mulutnya. Berkali-kali. Ia melakukannya sembari tak putus mengucapkan doa. Lalu bayi itu menangis dengan suara yang masih tercekik. Melati benar-benar bersyukur. Ia memeluknya erat, diiringi air mata yang begitu saja mengalir melelehi pipi.

Tepat saat itulah, Mustafa datang padanya. Tepatnya, hantu sang komandan GAM yang konon katanya begitu pemberani dan punya ilmu kebal senjata sebelum nasib buruk menimpa istrinya, muncul di depannya. Hantu yang mulanya tak ia sadari, sebagai perwujudan pusaran kesumat berkepanjangan. 

Herannya, Melati tak takut berhadapan dengannya. Malah bisa dikatakan, ia bersyukur sang bayi didatangi arwah ayah tirinya. Mustafa mengenalkan namanya, mengucapkan terima kasih, dan mengulurkan tangan. Begitu saja, Melati menyambut uluran tangan yang anehnya masih terasa hangat, selayaknya orang hidup.

Melati merasa seperti disengat getaran listrik yang halus, mengalir dari tangan menuju seluruh bagian tubuhnya. Tiba-tiba saja, ia ada di dalam belantara hutan. Ia sedang berlari sambil mengacungkan senjata menuju bebatuan besar yang ada di sela-sela pohon. Tepat di balik sebuah batu besar, ada genangan air dari celah-celah batu. Ia melihat wajahnya dan ia ternyata sedang menjadi Mustafa. 

Desingan senjata dan bunyi ledakan membuyarkan perhatiannya. Ia siaga dan mengintip di antara celah batu. Ia melihat gerak-gerak tentara yang telah ditutupi rerumputan. Ia mengambil peluru dan memasukkannya pada senapan. Ia memicingkan mata dan melihat dengan jelas posisi-posisi tentara yang sedang memburunya.

Dor! Dor! Dor!

Ia tahu persis, ketiga tentara terdekat berhasil ia tembak. Ada rumpun rumput yang bergerak lagi. Ia menembaki mereka. Lalu suasana terasa begitu hening. Ia senang. Para tentara yang entah jumlahnya berapa, telah tumbang. Ia bergegas berlari menuju markas persembunyian terdekat. Kawan-kawan seperjuangan mengelu-elukan namanya.

Melati merasa tubuhnya terasa tersengat listrik kembali. Ia telah pindah pada masa lain. Ia sedang berlari begitu kencang dengan amarah yang terasa hampir memecahkan pembuluh darahnya. Ia melihat asap hitam mengepul dari kampung yang ia tinggali.

"Tentara telah masuk kampung kita, Mus!" kata kawannya. Melihat paras kawannya, Melati baru sadar, itu adalah lelaki kurus tinggi yang menjemputnya dan Nurmala.

"Brengsek!"

Ia terus berlari. Rumah-rumah yang mereka bangun dengan susah payah, mengandalkan hasil panen dan sumbangan dari pusat komando, telah hangus terbakar. Di antara semua rumah, hanya rumahnya sendiri yang masih utuh. Menyadari itu, rasa takut yang lebih mencekam seolah mencekiknya. Rumah yang tidak dibakar di antara rumah-rumah yang sudah hangus, bukanlah pertanda bagus. Istrinya, Rogaya, gadis saleh yang baru saja dinikahinya sebulan itu, tinggal di sana. Ia menjadi sangat cemas. Ia mempercepat larinya. Ia menerjang pintu tanpa dapat berpikir apa-apa lagi.

Dan, apa yang sangat ditakutinya telah terjadi. Rogaya terlentang di ruang tengah dengan badan yang sepenuhnya telanjang. Kepalanya nyaris botak berantakan. Badannya dipenuhi sayatan, yang Mustafa yakin, itu adalah bekas belati. Darah mengalir dari bekas luka, juga dari celah kemaluannya. Wajah Rogaya dipenuhi lebam. Pergelangan tangannya memerah mengelupas dengan darah yang merembes ke luar. Ada tali-tali terurai di sekitar tangannya.

"Biadab! Bajingan cabul!" teriaknya membahana sambil memeluk Rogaya yang sudah tak sadarkan diri.

Rogaya telah diperkosa. Ia tahu para pelakunya sangat ingin ia tahu siapa yang melakukan. Mereka meninggalkan selembar foto berisi tiga orang tentara yang saling berangkulan, sambil mengangkat botol minuman keras berwarna coklat seperti air kencing. Di belakang foto itu, tulisan dari darah Rogaya tertera.

Istri sang komandan, lezat rasanya.

Melati merasakan badannya seolah pecah menjadi kepingan. Mustafa telah bersumpah dengan amat sungguh-sungguh, untuk menghabisi mereka.

Berikutnya Melati paham, Mustafa tak pernah berhasil menuntaskan kesumatnya. Mustafa ditembak tepat di kening setelah ia ditangkap oleh tiga tentara yang memerkosa istrinya. Mereka berpesta pora merayakan kematian Mustafa, sambil minum whiskey dan melinting banyak ganja. 

Seperti apa yang terjadi di masa sekitaran 1998 lalu, mungkin cerita Mustafa menjadi bagiannya juga, dari kilasan cerita yang pernah Melati dengar yang ia anggap kebohongan, tubuh Mustafa dimasukkan kedalam aspal panas di dalam drum saat nafas terakhirnya masih tersengal. Dan, ia dibiarkan di situ, sampai aspal itu membeku. Bertahun-tahun lamanya, di kedalaman sumur tua yang ditumbuhi perdu merambat, mayat Mustafa bersemayam, tertutup begitu rapat. 

Melati yakin, orang-orang di kampung tempat istrinya melahirkan pun, tidak tahu tentang itu. Apalagi orang-orang di luar sana.   

***

Sudah mulai terasakah horornya?

Saya akan posting ini setiap hari. Kurang dari 4000 kata, kok. So, stay tune ya...  

Sang KomandanWhere stories live. Discover now