Bagian 4

409 28 6
                                    

Melati menatap wajahnya di cermin. Ia polesi bibirnya dengan gincu merah bata yang selalu ia suka. Itu adalah sapuan kosmetik yang menggenapi, sebelum ia melakukan hal terakhir, yang harus ia lakukan. Ia memang harus tampil lebih cantik.

Lelaki yang dinantinya, sedang di jalan, menuju rumah peristirahatan yang Melati pilih dengan penuh perhitungan. Lelaki itu suka dipanggil Frans. Memang Melati pun tak ingin menghapal nama panjangnya. Mereka bertemu saat Melati bertugas di rumah sakit swasta di Jakarta. Persis seperti kisah roman yang lekang sepanjang masa, Frans suka padanya pada pandangan pertama.

Waktu itu, Frans terkena malaria, sebab katanya, ia bekerja terlampau keras dan kekebalan tubuhnya turun drastis. Melati sempat bertanya padanya, tentang kerja keras apa yang ia lakukan. Penuh senang hati, Frans menceritakan pengalamannya saat di Aceh dulu. Dengan bangga, ia mengisahkan bagaimana ia menumpas pemberontakan GAM. Kentara betul di mata Melati, Frans memang merasa jadi pahlawan. Ia berhenti dan dipindahkan ke Papua, sebab ada kejadian yang berhasil membuatnya depresi. 

Waktu itu, di awal pertemuan mereka, Frans tak mau bercerita. Dari Papua lah, Frans terkena malaria. Ia terserang penyakit itu, justru setelah ia tiba di Jakarta demi menghadiri upacara kenaikan jabatannya. Melati merasa, pertemuannya dengan Frans telah diatur sedemikian rupa.

Walau Frans sudah punya anak istri, yang tentu saja mulanya hanya diketahui olehnya, Melati sungguh tak keberatan menghabiskan waktu-waktu senggang bersamanya. Frans memang sangat manis. Ia tampil begitu santun di depan banyak orang. Kata kawan-kawan kerja Melati, ketika ia menceritakan pengalaman kencannya, Frans adalah seorang gentleman. Kata mereka, Melati sungguh beruntung dicintai tentara yang kini sudah berbintang empat dalam usia begitu muda. Melati tersenyum geli. Mereka tidak tahu, iblis keji apa yang bersemayam dalam diri Frans.

Ia memang telah menjadi perempuan yang dimaui Frans. Frans suka perempuan penurut ketika ia menuntut, suka perempuan yang cerdas saat ia menceritakan kejadian-kejadian politik yang dijalankan sekarang ini, suka perempuan yang merawat dirinya dengan lembut dan penuh perhatian, dan suka pada perempuan yang binal di tempat tidur. Melati merasa, dengan caranya, Frans memang orang yang sangat rakus terhadap hal-hal yang bagus. Bagi Melati, sungguh tak sulit menjadi perempuan yang digandrungi Frans. Ia punya semuanya.

Frans memang tergila-gila padanya. Waktu akhir pekan selalu dihabiskan bersamanya. Ketika urusan istri dan anaknya dibahas, Frans bilang, mereka sudah mendapatkan jatahnya. Semenjak ia bekerja di Papua, semenjak jabatan dan penghasilan meningkat drastis, istrinya nyaris tak peduli dengan kehadirannya. Bahkan ketika Frans pulang cuti, hampir setiap hari istrinya bepergian bersama teman arisannya ke berbagai tempat di luar negeri. Anaknya lain lagi. Sibuk berpesta ke sana sini. 

Frans bilang, mereka membutuhkannya sebagai pendulang uang. Itu makanya, ia tumbuh hati pada Melati. Katanya, Melati mengisi rongga kosong di hati. Tentu saja, sehabis berkata semanis gulali, Melati akan memberikan pelayanan terbaiknya. Memanjakannya, mendengarkan cerita-ceritanya, menimpali sesuai kemauannya, dan mengikuti apa pun yang dimaui Frans.

Perkara permainan di tempat tidur telah dicatat Melati baik-baik. Frans sangat suka bereksperimen. Ia sama sekali bukan lelaki santun. Ia senang berfantasi dalam kubangan iblis dominasi. Setelah lima bulan mereka menjalin hubungan, Frans semakin berani. Melati sebenarnya ngeri. Cambukan yang mulanya seperti mainan kanak-kanak, berubah menjadi sungguhan. Cekikan tangan ke leher yang mulanya lembut, semakin mencengkeram sampai Melati nyaris kehabisan nafas. Tapi, ia harus terlihat menikmati. Ia harus bertahan demi melakukan hal yang telah ia sembunyikan sedemikian rapat. Frans harus benar-benar lupa diri. Frans harus memercayainya. Jika tidak, segalanya akan sangat berantakan.

Luka-luka yang ditimpakan Frans pada tubuhnya, ia rawat sendiri. Ketika luka-luka itu terlalu parah, ia seringkali mengambil cuti. Tak ada yang mempertanyakan kebiasaan barunya bolos kerja. Toh, Frans sudah mengurus segalanya. Frans menjadi donor besar bagi rumah sakit tempatnya bekerja, ketika mereka bersepakat menjadi kekasih. Atasannya, memberikan toleransi tak terbatas. 

Melati tak peduli bagaimana pujian dari kawannya, berubah fitnah. Fakta bahwa Frans telah beristri, yang dulu tak diketahui mereka, lambat laun telah tiba dari satu telinga ke telinga lain, mengalir dari satu lidah ke lidah lainnya. Melati telah melacurkan diri, katanya. Mendengar semua itu, Melati membalas dengan senyuman tenang.

Frans makin tergila-gila padanya. Pertanyaan Melati yang dulu dicurigai tentang penyebab depresi di Aceh, dengan ringan dijawab Frans kemudian. Katanya, dua orang sahabat dekatnya mati bunuh diri, hanya berjangka dua bulan dari satu kejadian ke kejadian lainnya. Ia tak percaya mereka bunuh diri. Sebab, mana bisa orang bunuh diri mengebiri kelaminnya sendiri, katanya. Ia tahu betul kedua sahabatnya sangat pengecut. Mereka terlalu menyukai hidup dan bisa dikatakan, jatuh cinta pada kekuatan kelamin mereka sendiri. Frans mengakui, ia pun begitu.

"Apa tak ada bukti sama sekali untuk mendukung pendapatmu, Sayang?" Melati penasaran.

"Waktu itu, tidak ada. Entah pembunuhnya yang sangat rapi, entah polisinya yang terlalu goblok. Gilang mati di Swissbell yang baru saja dibuka waktu itu. Kau tahu kan siapa pemiliknya?" Frans menarik nafas panjang, sebelum melanjutkan.

"Sisa potongan kelamin Gilang sedang dikunyah anjing kampung, saat polisi datang. Bayangkan! Bagaimana orang hotel tak mencurigai tamu yang membawa anjing kampung kudisan dan tak ingat dengan wajahnya? Gila kan?! Aku berusaha mencari jejak dari kamera hotel, masa katanya tepat di malam itu, sistem keamanan mengalami kerusakan? Bohong besar! Aku tahu manajemen hotel telah bersekongkol dengan si pembunuh! Aku yakin seyakinnya, ini menyangkut dendam begundal GAM!" Frans mengepalkan tangannya. Melati mengusap-usap bahu bidang Frans, menahan diri dari gelegak emosinya sendiri.

Melati masih mampu menahan dirinya mendengarkan cerita tentang Herman, sahabat Frans yang satu lagi. Kata Frans, semenjak Gilang mati, Herman menjadi lebih pengecut dari sebelumnya. Kecanduannya pada alkohol dan shabu makin menjadi. Frans menjadi sangat kerepotan menutupi segala kekacauan yang dilakukan Herman. 

Kematian Herman jauh lebih tragis. Ia mati dengan badan tergelantung di sebuah rumah tua yang sudah lama tak dihuni orang, di perbatasan antara Sigli dan Pidie. Kedua kakinya buntung, kelaminnya dikebiri, dan lima ekor anjing mengunyah daging-daging dengan rakus saat polisi datang ditelepon oleh orang yang terganggu oleh nyalak dan gonggong anjing. Orang itu menemukan mayatnya.

Dari kematian Herman lah, Frans semakin yakin, keduanya mati dibunuh.

"Apa yang membuatmu yakin?" tanya Melati menatap lekat, bercampur khawatir, pada Frans.

"Diam-diam, aku meminta hasil autopsi dari dokter yang begitu sulit ditemui setelah kematian keduanya. Aku mendapatkan hasilnya setelah sebulan kematian Herman. Nyaris saja aku ingin menembak dokter tua pikun itu, kalau tak ditahan komandanku. Keduanya disuntik semacam obat bius. Entah orang sinting macam apa yang membunuhi kedua kawanku."

Dari penemuannya yang sudah sangat terlambat, sebab komandannya memutuskan menutup kasus itu begitu saja, Frans merasa ada orang yang mengintai kematiannya juga. Ia kehilangan selera makan, tak mau bertemu orang, mencurigai wajah-wajah asing yang berlalu lalang, berhari-hari. Psikiatris mendiagnosanya mengalami depresi.

 Itulah yang membuat Frans dicutikan selama sebulan di Jakarta. Ia kemudian dipindahkan ke Papua dan berhasil bekerja lebih giat dari sebelumnya. Ia berhasil menemukan markas besar para pemberontak di tanah timur itu. Prestasinya membuahkan pangkat yang melesat pesat.

Melati tersenyum tipis mengenang cerita-cerita Frans. Ia sungguh tak sabar, menanti Frans datang memenuhi janjinya. 

***

Sang KomandanWhere stories live. Discover now