Bagian 5

427 33 7
                                    

Tepat pukul satu malam, lelaki itu datang. Ia mengenakan baju tentaranya sesuai permintaan Melati. Ia tampil begitu gagah, dengan senyum mengembang menatap Melati dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Melati berdiri di ambang pintu kamar tidur dan telah membuka jubah sutranya yang berwarna merah berkilat. Di balik jubahnya, ia mengenakan lingerie berwarna hitam. Stoking jaring membalut kedua kakinya yang jenjang. Ia memegang cambuk di tangan kanan, borgol di tangan kiri. Pemandangan itu membuat Frans naik berahi dan memacu langkah kakinya untuk mendekat.

Melati mundur pelan sambil tersenyum menggoda. Frans mengejarnya dan menubruk memeluk Melati, menciuminya dengan rakus. Dengan gerakan yang sudah sangat terlatih, Melati mengikatkan borgol di sebelah tangan Frans. Lelaki itu makin menggebu. Dengan kasar, ia hempaskan badan Melati ke atas kasur. Tak seperti biasanya, kali ini, Melati bergerak bangkit dan menarik tubuh Frans dengan kuat.

"Kau memainkan permainan baru?" Frans tertawa.

"Kali ini, kau yang harus aku ikatkan ke ujung ranjang," jawab Melati sambil tersenyum dan menyapukan ujung jemarinya ke pipi Frans.

Lelaki itu sudah sangat memercayainya. Ia begitu penurut dan membiarkan Melati memborgol kedua tangannya di lintangan logam yang menjadi kepala ranjang. Tak hanya itu, Melati mengikat kedua kakinya dengan tali tambang yang sudah disiapkan. Frans tentu saja tertawa makin kencang. Kelaminnya benar-benar menegak menusuk kain celana. Di mata Melati, posisi Frans yang mirip suike digoreng, terlentang terbentang, dengan berahi meninggi, sungguh manis sekali.

Tawa Frans mendadak senyap ketika Melati mengambil sesuatu dari laci di sebelah ranjang. Sebuah jarum suntik dipegang Melati. Ia melengkungkan senyuman tercantiknya.

"A-apa yang akan kau lakukan?" Nafas Frans terdengar tersengal.

"Menyuntikmu, Sayang. Biar tubuhmu melemas, seperti Gilang dan Herman," jawab Melati dengan lembut sambil membelai rambut Frans.

"K-Kau?! Ba-bagaimana bisa?! K-kau?" Frans berteriak sembari memelotot, meronta hingga ranjang itu berderak dan bergoyang kencang.

Tapi, sudah terlalu terlambat bagi tentara berbintang empat itu. Dengan santai, Melati menyuntikkan cairan ke nadi tangan Frans. Tak butuh waktu lama, badan Frans melemas. Ia hanya bisa memaki-maki pelan, sebab kesadarannya ada dalam ambang. Tepat, di antara sadar dan tidak sadar. Melati menatapnya begitu lembut, begitu syahdu, lalu ia mengecup keningnya.

"Ingatlah mengapa ini semua terjadi, Sayang. Aku menanti begitu lama. Menyiapkan begitu banyak hal. Kalian telah memerkosa Rogaya, istri Mustafa sang komandan GAM yang telah kalian semayamkan dalam drum aspal. Kata Herman, kau lah yang merencanakan begitu sungguh-sungguh, sebab Rogaya membuatmu ingin menyetubuhinya. Jadi kurasa, layak betul, jika... yah, kalian merasakan apa yang dirasakan perempuan saleh itu," kata Melati sambil mengambil pisau bedah dan menatap kilau cahaya yang memantul di dua sisinya.

Frans hanya bisa megap-megap dengan mata melotot dan wajah pun leher yang dihiasi tonjolan urat, ketika perlahan, Melati membuat sayatan-sayatan di dada dan perutnya yang rata. Di mata Melati, badan telanjang Frans seolah ikan yang menggelepar, yang beberapa bagian dagingnya diiris sedikit demi sedikit, sebelum dicuci dan ditaburi garam.

Kesadaran Frans masih dalam ambang ketika Melati menghentikan sayatan rapi di depannya. Telunjuk kanannya menelusuri lelehan darah yang mengalir merembesi kasur berseprai putih. Lalu, Melati menghisap ujung telunjuknya, menghirup nafas panjang, dan memejamkan mata. Rasa nikmat kentara terpancar dari wajahnya. Mata Frans memicing lemah ke arahnya.

"Dan Sayang, Rogaya pastilah sangat kesakitan dihunjam berkali-kali. Kupikir, kelamin-kelamin kalian sungguh sudah sangat berdosa dan perlu dikirim ke neraka. Seperti dua temanmu, kau perlu...dikebiri," Melati menatap lekat ke arah Frans yang wajahnya sudah sangat pucat.

Melati membuka ritsleting celana Frans pelan-pelan. Kelamin lelaki itu sudah sangat lunglai sedari tadi.

Frans hanya bisa menatap ngeri tanpa daya sama sekali, ketika begitu pelan, Melati memotong kelaminnya dengan pisau bedah kecil yang sangat tajam. Darah mengalir deras dari kelaminnya. Frans masih merasa kebas. Matanya bergetar hebat.

Melati mendekatkan gumpalan daging berwarna kehitaman di depan wajah Frans. Darah menetesi paras pemiliknya. Air mata lelaki itu mengalir deras dari kedua pipinya. Melati menelusuri darah di pipi Frans dan mengecup keningnya begitu lembut.

"Bu-bunuh sa-ja...aku," kata Frans dengan suara amat parau.

"Apa? Membunuhmu? Tentu tidak, Sayang." Melati menjawab sambil tetap tersenyum manis.

Mata Frans menatap nanar. Rasa kalut dan kaget memendar lemah dari matanya. Mata itu mengikuti langkah Melati yang menjauh ke luar kamar. Frans menutup matanya. Nafasnya begitu tak beraturan. 

Selang lima menit, Melati kembali dengan sebuah tabung logam tertutup menghampirinya. Mata Frans terbuka lagi, menatap bingung.

"Dan ini, untuk arwah Mustafa, Sayang," kata Melati sambil tersenyum.

Perempuan berbadan sintal itu, menatap ke arah bekas potongan kelamin Frans yang darahnya tak juga berhenti. Kesadaran Frans mulai merayap merambat, perlahan menguat. Pengaruh obat mulai menghilang. Rontaan tangan dan kakinya mengencang.

"Apa yang akan kau lakukan?!" teriaknya berusaha keluar dari ambang kesadaran.

"Menghentikan darahnya, tentu saja," jawab Melati tenang sambil membuka tutup tabung logam yang darinya mengepulkan asap.

Bau aspal tercium memenuhi ruangan. Cairan hitam panas itu mendarat tepat di atas bekas potongan kelamin Frans. Frans berteriak keras melolong. Serapah dan makian mengiringi teriakannya. Wajahnya begitu merah padam dengan urat-urat di dahi yang bertonjolan.

Darah berhenti mengalir tertutup gumpalan hitam. Gelembung cairan meletup-letup di sana. Melati memejamkan mata dan menarik nafas panjang. Ia tak berhenti walau ranjang sudah bergoyang demikian hebat oleh rontaan badan Frans. Seiring meleburnya aspal dalam daging bersimbah darah, lolongan Frans berubah pekikan. Ia meronta sedemikian hebat sampai pergelangan tangannya memerah.

"Kau! Kau jangan harap hidup setelah ini! Perempuan jalang! Biadab!" Frans memuntahkan sisa amarahnya yang dari tadi bergolak tak berhenti.

Melati tersenyum tenang. Ia duduk di samping Frans yang masih terbaring. Tangan ramping perempuan ini menggapai laci di sebelah ranjang yang masih terbuka. Ia mengambil sebuah suntikan dan sebotol kecil cairan. Ia menusukkan ujung jarum dan menyedot cairan di dalam botol.

Frans terdiam, lantas tertawa.

"Ya. Betul! Bunuh saja aku!" katanya dengan sorot mata nyaris lega. Wajahnya memerah sebab tawanya tak bisa berhenti.

Melati menoleh ke arahnya dan tersenyum dengan masih sangat manis. Perlahan, sorot matanya mulai mengambang.

"Semua gara-gara kebiadaban pertarungan kalian, aku terjerat kesumat Mustafa. Sungguh Sayang, semua perkara laknat ini, sudah melewati batasku. Aku tak dapat menanggungnya. Hiduplah dengan tenang, Sayang," kata Melati sambil menggerakkan tangan.

Tangan ramping perempuan yang gincu merahnya sudah melebar melewati garis bibir, bergerak menuju nadi tangannya sendiri. Dengan tatapan menerawang, tersenyum getir, ia menyuntikkan jarum pada tangannya.

"K-kau! Jangan mati! Persetan! Mustafa! Bunuh aku, bajingan!" Frans melolong meronta dengan tenaganya yang tersisa.

Tubuh Melati melemas menimpa dada Frans yang dipenuhi sayatan pisau bedah.

Lamat-lamat, Melati melihat cahaya keabuan meliuk dari arah badannya, mengambang beberapa saat di atas Frans. Desisan bisikan yang pernah diucapkan Mustafa sepenuh hati, jiwa, darah, dan tulangnya, terdengar samar.

"Walau nyawaku telah melayang, kesumatku akan menghabisi kalian!"

Lalu, cahaya keabuan itu menguap menghilang. 

Meninggalkan Melati yang telah mati. 

Meninggalkan Frans yang tergolek tak berdaya dan menatap kosong entah ke mana.

*** 

Sang KomandanWhere stories live. Discover now