Lelaki dengan wajah mirip orang India dengan luka tembak di keningnya itu, kini muncul lagi setelah tahun-tahun berlalu. Seperti dulu, lelaki yang mengaku bernama Mustafa, mengawali dengan memberikan senyuman manis. Ia berjalan mendekat, dengan kakinya yang telanjang, dilatari remang ruang kamar.
Baju dan celananya yang berwarna hijau tentara, tanpa bintang dan lencana, terlihat lusuh dan kotor oleh bekas darah dan cipratan cairan aspal. Bekas lubang peluru di keningnya, merongga hitam. Benar-benar masih persis sama dengan kali pertama ia melihatnya.
"Aku ingin mengingatkanmu"
"Tentang?"
Melati sesaat bingung dan Mustafa hanya menatapnya lekat, lalu tersenyum lagi sambil duduk di tepi kasur. Lalu, ingatan masa lalu yang telah pecah berserak berulang kali, bersambungan satu persatu.
***
Ia masih ingat bagaimana ia begitu enggan menemani kawan bidannya yang terlanjur mengiyakan permintaan dari orang asing, yang mengetuk pintu rumah sewa mereka pada jam satu malam. Baginya, Nurmala, sang bidan muda yang seangkatan dengannya, terlalu naif dan tak tegaan. Jika saja, orang asing itu mengetuk kamarnya, bukan kamar Nurmala, Melati akan sangat tegas menolak. Sayang, Nurmala lah yang dibangunkan dan ia harus turut serta dalam cerita suram di malam itu, yang menjadi muara dari segala perkara.
Mereka bekerja di Woyla baru tiga bulan semenjak tsunami terjadi tujuh bulan sebelumnya, masih tahun 2005. Melati nekad memilih bekerja di sana, sebab ia ingin membuktikan bahwa ia bisa sembuh dari patah hatinya. Ia begitu patah hati oleh kekasih yang menggombalinya, menciuminya, lalu meninggalkannya begitu saja semenjak ada relawan perempuan rupawan baru bergabung.
Melati tahu persis Woyla masih dihitung sebagai daerah hitam di belantaran Aceh Barat Daya. Waktu itu, para anggota TNI dan GAM masih berperang walau perjanjian damai telah diumum-umumkan.
Melati tak pernah terlalu peduli dengan isu politik yang terjadi. Maka ia pun mengabaikan larangan hampir semua kawannya untuk menolak bekerja di Woyla. Apalagi, ada relawan asing yang mati ditembak, katanya oleh GAM, saat masuk melintasi daerah hitam dengan membawa barang bantuan. Waktu itu ia tidak tahu, ia akan mengalami berinteraksi dengan GAM langsung, gara-gara kenaifan Nurmala.
Lelaki kurus tinggi berkulit gelap yang mengetuk pintu mereka malam-malam adalah orang GAM. Melati nyaris akan melompat dari gerobak yang ditarik motor kalau Nurmala tak menahannya kuat-kuat, ketika ia tahu, Nurmala dimintai tolong membantu persalinan seorang inong baleh. Inong baleh termasuk kata yang akan diucapkan oleh para penyintas tsunami dengan nada berbisik. Kata mereka, inong baleh adalah janda komandan GAM.
"Kau sudah gila," kata Melati waktu itu menahan suaranya.
"Inong baleh juga seorang ibu, Kak. Kita akan membantu seorang ibu yang akan melahirkan anaknya. Dan dukun kampung di sana sudah mati. Tak ada yang bisa membantu mereka," Nurmala berkata begitu lembutnya.
Melati tak berkutik. Apalagi, mereka sudah bergerak begitu jauh dari rumah sewa. Dalam hati ia bersumpah, ia akan bela diri jika esok hari, kepala misi di kantornya menegur atau bahkan akan memecat mereka. Ia tak akan membantu Nurmala dan akan mengatakan bahwa ia diajak secara paksa, tanpa persetujuan sama sekali. Ia mengutuki nasib Nurmala yang harus kenal dengan orang GAM ini gara-gara ia dibantu menemukan jalan, saat Nurmala tersesat menuju barak pengungsian di desa paling ujung, dekat ke hutan.
Namun, kata-kata itu lantas menguap setelah mereka tiba di kampung kecil yang ada di pinggiran hutan. Melati nyaris tak percaya melihat betapa menyedihkan kondisi orang-orang di sana. Dalam timpaan cahaya purnama, jelas sekali ia melihat ada rumah-rumah kecil yang mirip kandang kambing. Awalnya, ia memang berpikir pondok-pondok kecil itu kandang kambing, saking kecilnya.
Lelaki kurus tinggi yang bahkan ia tidak tahu namanya siapa, menjawab, pondok-pondok di sana adalah rumah. Katanya, memang mereka dulu hidup mengandalkan ransum dari sang komandan GAM yang sudah meninggal ditembak mati tentara, 8 tahun lalu. Rogaya, yang disebut Nurmala sebagai inong baleh, telah menikah dengan si lelaki kurus tinggi ini sebagai wasiat dari sang komandan.
Kini, mereka hidup lebih susah lagi. Hanya mengandalkan hasil kebun singkong atau apa pun yang bisa ditanam dan menernak sapi orang-orang kampung lain, juga ayam. Kadang-kadang, beberapa saudara mereka mengirimi mereka beras yang mereka dapatkan dari bantuan bencana tsunami.
"Lalu mengapa kalian tidak menyerah saja?" begitu pertanyaan spontan Melati yang tak dapat ditahan.
"Menyerah? Mengapa harus menyerah pada negara yang tidak adil memperhatikan kami? Mengapa harus menyerah pada mereka yang membunuhi orang-orang tua dan saudara kami dengan amat keji, memerkosa para perempuan yang bahkan tak pernah berani mengangkat senjata? Hanya karena para lelakinya memperjuangkan kata merdeka," lelaki kurus tinggi itu menjawab kecut.
Nurmala mencubit pahanya keras-keras dan Melati pun diam. Ia bersumpah, ia tak akan bertanya apa pun lagi.
***
Sampai sini dulu ah. Bagaimana menurut kalian?
YOU ARE READING
Sang Komandan
Terror21+ (graphic content) Ceritanya pendek, tetapi kamu mesti siap mental. Horor? Tentunya. Jadi, itu mengapa saya tulis 21+. Bukan kisah ahuhahuh yang 'itu', ya ^_^ Kisah ini didedikasikan untuk para perempuan korban kekerasan para bajingan. Apakah ki...