Izhar Syafawi

42.9K 2.2K 42
                                    

Tak apa aku ditinggalkan olehnya, yang penting tidak ditinggalkan oleh-Nya.
💐💐💐

Sudah dua jam aku duduk di depan laptop yang dibelikan dia tepat di hari ulang tahunku beberapa tahun lalu. Sejak menikah dengannya aku memutuskan untuk berhenti bekerja, dan hanya fokus mengurus suami serta anak-anakku saja. Sesekali aku datang ke toko laundry yang dengan susah payah aku dirikan. Tugasku tak berat, hanya mengontrol saja, karena sudah ada yang mengurus segalanya.

Aku melihat ke arah samping, tepat di mana ia berada. Ia baru saja pulang jam 12 malam tadi, karena ada tugas mendadak di rumah sakit. Sebagai istri dokter, aku harus siap kapan pun di tinggalkannya ke luar kota untuk mengisi seminar ataupun ditinggal saat ada kondisi kritis pasiennya seperti saat ini. Dengkurannya terdengar keras, pertanda bahwa ia sangat kelelahan. Namun bagiku tak masalah, aku lebih suka suara dengkurannya yang berisik itu, dari pada suasana sepi, karena itu artinya ia sedang tidak berada di dekatku.

Ah aneh, padahal saat ini usiaku sudah tidak muda lagi. Sama sepertinya. Tapi kami masih merasa seperti anak muda zaman sekarang. Kalau tidak ada kerjaan ia sering mengajak aku pergi ke taman untuk sekedar melepas penat, atau pun pergi ke restoran favorit kami, atau pun pergi ke kajian. Iya, kami berdua masih haus ilmu. Terutama ilmu agama. Terlebih ia yang seorang mualaf.

Aku sangat beruntung memilikinya sebagai suami. Dia mau memanjangkan sabar ketika menghadapi sifat childish-ku. Atau setiap bulannya aku melewati masa periodeku. Ia rela memijat kakiku ketika keduanya membengkak saat aku hamil anak-anaknya.

Dari awal aku tidak pernah meminta seseorang yang sempurna sebagai suamiku. Karena aku sadar, aku bukanlah wanita sempurna. Cukuplah ia yang mencintai Allah dan bisa berdamai dengan masa laluku, bagiku itu sudah lebih dari cukup. Namun ternyata Allah memberiku kejutan lain dengan menghadirkan sosoknya dalam hidupku. Sebenarnya sangat panjang perjalanan kami, banyak lika-liku yang kami hadapi sampai akhirnya kami bersatu hingga detik ini.

Jika kalian ingin mengetahuinya, silakan baca. Tapi kalau kalian malas membaca kisah yang teramat panjang dan mungkin akan membosankan, tinggalkan lah. Karena aku juga tidak pernah memaksa. Tapi aku minta satu hal, jangan bilang-bilang ke dia kalau aku menceritakannya pada kalian. Bisa-bisa dia besar kepala, tapi aku tetap cinta.

🌸🌸🌸

Sepuluh tahun lalu, aku sempat bekerja sebagai tukang bersih-bersih di rumah Ummi Salamah. Beliau begitu baik kepadaku. Selama bekerja dengannya aku tidak pernah mendengar bentakkannya saat akan menyuruh sesuatu. Perangainya begitu lembut, sifatnya begitu halus seperti sutra. Beliau memperlakukan aku bukan seperti asisten rumah tangganya, melainkan anaknya sendiri.

Sampai suatu hari, Ummi menyuruhku untuk membersihkan kamar. Beliau bilang kalau pemilik kamar itu akan datang. Tanpa menolak, aku langsung mengiyakan perkatakan Ummi.

Ummi pernah cerita kalau anak semata wayangnya sedang kuliah di luar Negeri. Tepatnya di Al-Azhar, Kairo. Aku masih ingat saat itu, aku hanya bisa mengangguk sambil terperangah mendengar cerita Ummi. Sungguh hebat anaknya Ummi itu. Setahu aku kalau lulus dari universitas itu harus hafal Al-Qur'an 30 juz.

Tinggal bersama Ummi memberikan aku banyak pelajaran, terutama mengenai agamaku. Islam. Ummi tidak pernah mengguruiku secara langsung, namun Ummi mencontohkannya sendiri. Misalkan seperti kewajiban salat lima waktu, Ummi tidak memberikan aku ayat atau hadis mengenai keutamaan salat, tetapi Ummi langsung mengajakku salat berjamaah di rumah. Atau kewajiban menutup aurat, Ummi sering memberikan aku jilbab-jilbab panjang yang menjulur sampai ke dada, beserta gamisnya juga. Aku jadi sering menggunakannya hingga aku terbiasa. Sampai ketika aku lupa untuk mengenakannya, aku merasa tidak nyaman ketika keluar rumah. Saat itu aku memang belum mengenai jilbab.

Imam Kedua (Tersedia di Dreame)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang